OTT di Tanjungpinang
MERINDING: Iga Curhat Soal Penangkapan Ayahnya Slamet: Mama dan Adik-adik Hanya Bisa Nangis
Saya heran kenapa bapak saya sampai ditangkap begitu. Diborgol begitu, seperti teroris. Kami sangat terpukul. Kami tak terima semua ini.
Laporan Leo Halawa
BATAM.TRIBUNNEWS.COM, BATAM - "Saya heran kenapa bapak saya sampai ditangkap begitu. Diborgol begitu, seperti teroris. Kami sangat terpukul. Kami tak terima semua ini. Adik saya mendapat olok-olokan di sekolahnya..."
Itulah gambaran dan kata-kata yang terucap dari Iga Anjani Seha, anak sulung dari Slamet, pegawai BUMD Tanjungpinang yang ditangkap tim Saber Pungli Polda Kepri.
Remaja ini sengaja dari Kota Tanjungpinang ke kantor hukum Wirman Perta Justice sebagai kuasa hukum ayahnya, demi menyampaikan klarifikasi dan seruan hati keluarga mereka.
Sampai detik ini, Iga, begitu ia disapa, tidak percaya bapaknya melakukan seperti yang disangkakan polisi. Sebab, di matanya, ayahnya itu orang baik.
"Sejak kerja di BUMD tahun 1995, kami hidup seadanya. Tidak bermewahan. Makanya kami terpukul. Adik-adik dan mama hanya menangis setiap saat," kata Iga dengan sedih.
Rumah mereka tipe 36 saat ini pun belum rampung pembangunannya. Jendela hanya dibatasi kain.
Bapaknya tidak menggaji tukang sehingga ia mengerjakan sendiri.
"Kalau benar Bapak saya korupsi, saya sudah hidup mewah di Pinang sana. Rumah kami saja belum siap. Tukang tak mampu bayar. Ayah saya kerjakan rumah itu selepas jam kantor sore-sore," kata remaja berusia 18 tahun ini.
Pukulan moral terhadap Iga tidak hanya karena bapaknya di balik jeruji besi.
Namun, September 2017 mendatang, dirinya akan diwisuda di sebuah universitas ternama di Kota Tanjungpinang.
"Pasti Bapak nggak ikut dalam suka cita itu. Sedih, Bang. Sedih banget. Padahal, hanya itu sebenarnya yang bisa buat bangga Papa saya. Melihat ketika saya wisuda. Ini hampa semua," ujarnya.
Larut dalam sedih. Iga juga tidak habis fikir memulihkan perasaan kedua adiknya.
"Adik saya yang nomor dua laki-laki sudah tamat SMA. Nomor tiga masih kelas I MTs (setingkat SMP), umur 11 tahun. Dia mendapat olok-olok dari temannya. Robek perasaan saya. Padahal itu tidak dilakukan ayah," tambahnya sesekali menggempalkan tangannya seolah sedih dibalut kesal.
Tak hanya itu, terkadang saking tak percaya seperti yang dituduhkan kepada bapaknya, uang belanja setiap bulan juga pas-pasan. "Malah kebanyakan tidak mencukupi," imbuhnya.