Sewa Bilik Asmara buat "Begituan", Inilah Kisah Warga yang 4 Tahun Tinggal di Pengungsian

Sewa bilik asmara buat "begituan",inilah kisah 4 tahun warga yang tinggal di pengungsian!

Tribun Medan
Rasmita Br Ginting menggendong anak bungsunya di Aula Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Kabanjahe, Tanah Karo 

BATAM. TRIBUNNEWS.COM, KABANJAHE - Rasmita br Ginting menggendong anak bungsunya berusia 18 bulan, di Gedung Serbaguna Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Kabanjahe, Kabupaten Karo, Senin (27/3/2017) jelang sore.

Dia berada di lantai dua gedung, yang menampung ribuan orang pengungsi letusan Gunung Sinabung.

Mereka sudah empat tahun bertahan di tempat tersebut.

Lantai bangunan berukuran kurang lebih 30x30 meterpersegi tersebut, tampak dipenuhi tumpukan barang-barang, yang diletakkan di atas tikar plastik yang dihampar.

Ada gulungan selimut, tumpukan pakaian bercampur alas kaki, perabot semisal ember dan gayung.

Kasur tebal apalagi spring bed tidak ada.

Alas yang terlihat hanya berupa satu dua lembar busa, setebal kurang dari lima centimeter.

Penyekat tidak ada, apalagi bilik atau kamar.

Semua barang-barang tergeletak bergitu saja.

Kalaupun ada pembatas, itu hanya dipisahkan tumpukan barang-barang.

Satu petak ukuran kurang lebih 2x3 meterpersegi.

"Ini bukan untuk satu keluarga. Ukuran segini bisa ditempati dua keluarga," ujar Rasmita, saat berbincang dengan Tribun Medan.

Rasmita dan kawan-kawan menerima kunjungan bakti sosial para peserta Musyawarah Nasional Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA).

Di sela penyaluran bantuan, Tribun Medan berbincang dengan para pengungsi.

Rasmita dan warga lainnya merasa sudah sangat jemu tinggal di pengungsian.

"Kami sudah empat tahun begini. Kami berharap, pemerintah daerah dan presiden, membantu kami secepatnya, agar pindah dari sini.

Boleh membangun perkampungan atau boleh juga mencarikan rumah untuk kami. Kami khawatir, kalau di sini terus, pertumbuhan anak-anak terganggu. Bagaimana tidak? Mereka sudah mulai besar-besar," kata Rasmita.

Sebanyak 104 keluarga ditampung di tempat itu.

Mereka semua berasal dari Desa Sigaranggarang, Kecamatan Namantran, yang posisinya terletak di bawah lereng Gunung Sinabung, lokasi terdampak langsung letusan yang berlangsung tahun 2013.

Rasmita mengaku, ia masuk pengungsian saat putra sulungnya duduk di kelas dua SD.

Sampai kini jelang anaknya kenaikan kelas lima SD, ia masih tinggal di tempat serupa.

Di sanalah, warga mendapatkan jatah hidup berupa pasokan makanan tiga kali sehari, yang disajikan untuk makan pagi, siang, dan sore.

"Bagaimana menu makanan, enak?" tanya Tribun.

"Buat kami bukan enak atau tidak enak, yang penting bisa makan. Syukur alhamdulillah, kalau soal enak, bagaimana bapak bisa tengok nasi kami, begitulah yang kami makan saban hari, kebanyakan mi instan," katanya.

Pengharapan senada disampaikan Alfarida.

Warga yang kampungnya membutuhkan waktu tempuh kurang lebih satu jam menggunakan kendaraan ke lokasi pengungsian, merasakan kesulitan membiayai pendidikan anak.

Semula, ia hidup lumayan mencukupi dari hasil bertani di lereng Sinabung.

Tapi kini, ia lebih banyak bekerja serabut, antara lain buruh tani.

"Permintaan saya, kalau bisa, kami segera dapat hunian tetap. Kemudian, anak-anak sekolah ini, bisa terus dibantu Bapak Presiden Jokowi, biaya sekolahnya," katanya.

Rasmita maupun Alfarida sama-sama mengaku tidak nyaman tinggal di pengungsian.

Selain kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka yang berkeluarga tidak bebas laiknya di rumah sendiri.

Untuk urusan suami istri, misalnya, di tempat terbuka demikian, sangat tidak nyaman.

Lalu, sebagian suami istri terpaksa menyewa bilik asmara, meminjam istilah tempat di lembaga pemasyarakatan.

"Untuk kebutuhan suami istri, jadi masalah juga. Kalau kami mau begitu harus keluar. Kami terpaksa cari rumah, menyewa kamar di luar. Tarifnya Rp 200 ribu sewa sebulan. Habis, bagaimanapun, itu merupakan kebutuhan sehari-hari, kebutuhan bilogis," kata Rasmita.

Sementara, menurut Alfarida, dia mempunyai jurus untuk menjaga hubungan suami istri tetap tersalurkan.

"Kadang, kami kembali ke desa (Desa Sigaranggarang). Bisa tiga hari tinggal di desa, atau seminggu di sana, baru datang ke sini, melihat anak-anak," kata Alfarida.

Ketika menerima rombongan peserta dan panitia Munas ISKA, Bupati Karo Terkelin Brahmana dan staf, menjelaskan tentang dampak letusan Gunung Sinabung.

Gunung berapi aktif itu memiliki ketinggian 2.451 meter.

Sinabung yang "tidur" sejak tahun 1.600, mendadak aktif, meletus tahun 2010.

Kemudian, erupsi terjadi lagi pada September 2013, dan berlangsung hingga kini.

Meletus terus-menerus itulah yang menjadi alasan pemerintah tidak mengembalikan warga ke desa semula. (TribunMedan)

Sumber: Tribun Lampung
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved