Keturunan Tionghoa & India Dilarang Punya Tanah di Yogyakarta, Begini Kisah 5 Warga Ini Menyikapinya

Warga keturunan, terutama dari etnis Cina dan India, tetap tidak berhak memiliki tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan
Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwono X di Bangsal Kencana, Jumat (6/3/2015) mengeluarkan sabdatama. 

Willie, warga biasa

Willie. Foto: BBC Indonesia

Kondisi sosial dan finansial Willie berbeda dengan Siput.

Rumahnya lawas meski terletak di pinggir jalan raya yang menghubungkan Jogja dengan Klaten.

Wille tak mengenal apalagi bermain golf dengan Sultan HB X.

Toko yang ditempatinya pasca penggusuran tahun 2002 berada kurang dari satu kilometer dari Candi Prambanan, dengan sertifikat HGB.

Toko itu, kata Willie, berada di atas tanah ganti rugi yang diberikan Pemkab Sleman.

Saat proses pengurusan sertifikat, Willie baru mafhum soal larangan warga keturunan memiliki SHM.

"Saya dipanggil petugas BPN Sleman, dia katakan, 'Maaf, Pak Willie warga nonpribumi, jadi tidak bisa punya hak milik atas tanah.' Saya sempat membantah. Menurut konstitusi, kita hanya mengenal WNI dan WNA," ujarnya.

"Kalau bapak tidak terima, silakan gugat di pengadilan," kata Wille mengulang jawaban yang ia terima kala itu.

"Saya tidak punya daya dan akhirnya saya melepas hak milik itu. Saya tidak tandatangan dokumen, dicabut begitu saja," ucapnya.

Tiga tahun sebelumnya, Willie mendapatkan SHM atas rumah yang ditempatinya dengan istri dan tiga anaknya.

Ia tak pernah mendapatkan jawaban persis mengapa aturan itu berbalik 180 derajat setelahnya.

"Di surat pelepasan hak milik, saya disuruh menandatangani pernyataan sukarela mengembalikan tanah ke negara. Lalu kami harus memohon pinjaman tanah dari negara dan membayar uang sewa," tuturnya.

Willie berspekulasi, petugas BPN menentukan seseorang sebagai keturunan berdasarkan wajah semata.

Ia berkata, tak ada satupun istilah Tionghoa dalam akta kependudukannya.

Faktanya, sebelum pengesahan UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, setiap akta kelahiran anak dari keluarga Tionghoa tercantum tulisan Staatsblad 1917.

Siapa pun yang pada akta kelahirannya tercantum beleid era Hindia Belanda itu akan dianggap sebagai warga Tionghoa.

Sia-sia?

Apakah suara Handoko, Siput, dan Willie cukup nyaring di tengah mayoritas warga Tionghoa Jogja yang memilih bungkam?

Budi Dharmawan, fotografer sekaligus penulis lepas keturunan Tionghoa di Jogja, menyebut sebagian anggota komunitasnya memilih mengakali situasi dibandingkan berpolemik.

"Banyak yang mencari cara memainkan peraturan, pakai tipu-tipu sedikit. Itu jamak. Ada yang mengaku bukan WNI keturunan," ujarnya.

Opsi itu menurut Budi wajar. Ia berkata, hak kepemilikan atas tanah vital karena menyangkut kebutuhan dasar.

Lebih dari itu, Budi mengaku sangat jarang mendengar warga Tionghoa Jogja memperbincangkan larangan itu.

"Komunitas ini memang tertutup," kata dia.

Willie Sebastian menyebut sebagian koleganya menganggap sikap kritis terhadap larangan tersebut akan bertepuk sebelah tangan. "Itu adalah suara terbesar."

"Mbok wes terima wae, angger ijih iso urip nang Jogja (Sudahlah terima saja, yang penting masih bisa hidup di Jogja). Bisa dagang. Mereka selalu berkata seperti itu," ujar Willie.

Handoko pun menyadari pesimisme yang sama.

Ia berkata, beberapa kawannya khawatir konflik rasial yang menarget warga Tionghoa dapat kembali muncul seiring gugatannya.

Namun Handoko berkeras. "Yang penting saya sudah berusaha, tidak seperti orang yang ngedumel tapi tidak berbuat apa-apa."

"Kalau tidak mau berjuang, silakan. Kepalamu akan diinjak selamanya. Saya bukan model orang seperti itu," ucapnya.

Keturunan India tak melawan

Kronik Handoko, Siput, dan Willie berbanding terbalik dengan komunitas India di Jogja.

Meski menyadari diskriminasi yang mereka terima, mereka memilih untuk diam.

BBC Indonesia bertemu Nari di rumahnya di kawasan Mangkubumi yang berdiri di atas tanah kraton.

Dalam istiliah lokal, ia tinggal di atas tanah magersari, yang menandakan kraton memberinya hak dalam periode waktu tertentu untuk tinggal di tanah tersebut.

"Kami ini tinggal di Jogja yang aturannya seperti itu, ya sudah kami jalani, kan kami tidak dirugikan. Untuk apa kami beli tanah kalau segala fasilitas diberikan kepada kami?" ujarnya.

Nari, dianggap tokoh senior dalam komunitas keturunan India di Jogja menyebut mereka tidak akan mempersoalkan larangan kepemilikan tanah. Foto: BBC Indonesia.

Nari adalah generasi kedua dari keluarganya yang hidup dan menetap di Jogja.

Mereka datang ke kota itu tahun 1963 ketika masih berstatus warga negara India.

Pada 1965 keluarga Nari membeli rumah yang hingga kini ditempatinya.

Di komunitas keturunan India Jogja yang hanya terdiri dari 17 keluarga atau sekitar 50 orang, Nari merupakan sosok yang paling disegani.

"Kami adalah komunitas kecil. Rata-rata kami punya rumah sendiri, rata-rata mereka HGB. Tidak pernah ada masalah," ujarnya.

Karena tinggal di atas tanah Kraton, Nari mengaku harus memperbarui surat izin atau sewa-menyewa ke Kraton, sekali dalam 10 hingga 15 tahun.

Ia tidak merasa rugi atas situasi tersebut.

"Saya hidup di tengah kota, mengapa saya harus mempermasalahkannya?" tutur Nari.

Sementara Dev Anand, seorang keturunan India pemilik toko tekstil besar di kawasan Jalan Solo, Jogja, menganggap pembatasan hak agraria itu setimpal dengan kenyamanannya menetap di kota itu.

Dev Anand menilai sikap 'nrimo' komunitas keturunan India merupakan kunci hubungan mereka dengan masyarakat Jogja. Foto: BBC Indonesia

Dev bermigrasi ke Jogja saat berusia 24 tahun pada 1989.

Sejak 12 tahun lalu ia resmi menjadi warga Indonesia.

Dev mengatakan, sebagai pendatang ia tak sepatutnya mempersoalkan peraturan yang telah berlaku sejak lama.

"KTP saya sama dengan penduduk lainnya. Di kota lain memang tidak ada aturan seperti ini, di mana pun anda beli tanah, itu bisa menjadi hak milik."

"Tapi Jogja itu istimewa, kami harus tahu itu. Di sini lebih nyaman dibandingkan kota lain. Kami sedikit berkorban, saya kira tidak masalah," kata Dev.

Lebih dari itu, Dev menilai tak ada perbedaan signifikan antara hak milik dan HGB.

Menurutnya ia tak merasakan kerugian materi walau harus membayar permohonan pembaruan HGB setiap 20 hingga 25 tahun sekali, yang nominalnya mencapai 5 persen dari nilai tanah.

"Kami semua pedagang, masing-masing sibuk di dagang. Kami tidak merasa biaya itu berat."

BBC lantas mengajukan pertanyaan serupa kepada Nari dan Dev soal komunitas keturunan India yang sama sekali tidak bersuara tentang larangan memiliki tanah di Jogja.

"Orang India tidak pernah ikut politik. Mau buat apa? Yang terjadi biasanya ribut, panas-panasan, lalu sakit stroke. Untuk apa kami menjalani hidup seperti itu?" tutur Nari.

Adapun Dev, menyebut komunitas mereka memegang kesepakatan tak tertulis bahwa setiap persoalan, baik hukum maupun sosial, harus diselesaikan melalui asosiasi keturunan India di Jakarta.

"Orang India jarang menyuarakan 'ini bagus atau itu jelek'. Semuanya bagus. Itulah mengapa orang India dihargai masyarakat, ke mana saja, pasti diterima dengan ramah, tidak ada kebencian, karena kami tidak pernah protes," ujarnya. (bbc indonesia)

Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved