Depresiasi Rial Iran Seret Nilai Tukar Rupiah ke Atas Rp 14.900 per Dolar AS

Mata uang rial Iran sudah melemah cukup dalam tiga hari berturut-turut dan pelemahannya sudah mencapai 70% secara year-to-date

THINKSTOCKS/FITRIYANTOANDI
Ilustrasi rupiah 

TRIBUNBATAM.id, JAKARTA - Depresiasi rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) semakin dalam.

Di pasar spot, nilai tukar rupiah hari ini, Selasa (4/9/2018), ditutup melemah 0,81% ke level Rp 14.935 per dollar AS.

Ini merupakan level terlemah rupiah sepanjang tahun ini, bahkan sejak tahun 1998.

Di Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia, kurs mata uang Garuda juga kembali melemah sebesar 0,49% ke level Rp 14.840 per dollar AS. Kemarin, kurs tengah rupiah tersebut masih tercatat pada posisi Rp 14.767 per dollar AS.

Ekonom Maybank Indonesia Juniman, menjelaskan, kurs rupiah semakin terseret pada perdagangan hari ini akibat jatuhnya mata uang rial Iran terhadap dollar AS.

Baca: Kondisi Darurat, Argentina Umumkan Penghematan Besar-besaran, Sejumlah Kementerian Ditutup

Baca: Kopi, Cokelat dan Pakaian Masuk Dalam 900 Barang Impor yang Akan Dikekang Pemerintah

"Mata uang rial Iran sudah melemah cukup dalam tiga hari berturut-turut dan pelemahannya sudah mencapai 70% secara year-to-date," kata Juniman, Selasa (4/9/2018), seperti dilansir TRIBUNBATAMid dari KONTAN.

Depresiasi rial Iran terjadi menyusul depresiasi yang dialami mata uang negara berkembang lainnya belakangan, antara lain mata uang Turki, Venezuela, dan Argentina.

Menurut Juniman, tren pelemahan mata uang di negara-negara berkembang membuat rupiah terkena imbas.

"Depresiasi mata uang ini terjadi di negara-negara dengan twin deficit alias negara dengan current account deficit (CAD) dan budget deficit. Indonesia termasuk di antaranya sehingga efek tersebut menular ke rupiah," kata Juniman.

Belum lagi, sentimen eksternal lain masih menyelimuti rupiah. Di antaranya ekpektasi pasar terhadap hasil pertemuan FOMC di bulan ini dan perang dagang yang masih bergulir antara AS dan China.

Dari dalam negeri, Juniman menilai, investor masih belum melihat dampak yang signifikan dari kebijakan-kebijakan pemerintah untuk mengurangi defisit transaksi berjalan (CAD).

"Selama ini kebijakan yang dikeluarkan lebih banyak yang bersifat medium-long term, seperti kebijakan B20, menggenjot ekspor atau menaikkan tarif pph barang konsumsi. Ini semua kebijakan yang membutuhkan waktu," ujar dia.

Bank Indonesia (BI) menyatakan nilai tukar rupiah yang saat ini merosot sudah keluar dari fundamentalnya.

“Betul bahwa rupiah ini tergantung juga dengan sentimen pasar, tetapi hitungan fundamentalnya harusnya tidak selemah ini,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Gedung DPR RI, Selasa (4/9).

Menurut Perry, pelemahan nilai tukar rupiah banyak dipengaruhi oleh sentimen negatif baik di luar negeri maupun dalam negeri.

Dari luar negeri, misalnya kenaikan Fed Fund Rate, tekanan dari Argentina dan Turki serta isu perang dagang serta krisis Iran.

Sementara dari domestik adalah pembelian valas oleh korporasi untuk impor yang masih besar.

Untuk sentimen yang datangnya dari dalam negeri, Perry mengimbau agar pelaku ekonomi dalam negeri tidak perlu menubruk dollar AS.

“Kami sampaikan ke importir dan korporasi yang butuhkan valas tidak perlu menubruk-nubruk. Kami sudah sediakan swap. Swap Jumat lalu, targetnya US$ 400 juta dan realisasinya US$ 850 juta. Kami juga di BI komitmen stabilkan rupiah dan meningkatkan intensitas intervensi kami,” jelasnya.

Asal tahu saja, untuk mencegah nilai tukar rupiah merosot lebih dalam, BI terus berada di pasar untuk menaikkan volume intervensi baik di pasar valas maupun di pasar SBN.

Perry mengatakan, sejak Kamis (30/8), BI telah masuk ke pasar sekunder SBN.

“Kamis dan Jumat lalu maupun kemarin (Senin 3 September 2018) kami beli SBN. Jumat kami beli SBN Rp 4,1 triliun yang dijual asing. Kemarin (Senin) kami beli dari pasar sekunder Rp 3 triliun,” ujar Perry di Gedung DPR RI, Selasa (4/9).

Dengan demikian, bila dihitung, BI sudah mengeluarkan Rp 7,1 triliun untuk intervensi SBN di pasar sekunder.

Selain itu, Perry mengatakan, dengan fokus jangka pendek bank sentral yang lebih kepada stabilisasi khususnya rupiah, BI juga telah menaikkan suku bunga acuan menjadi 5,5% sejak awal tahun ini. Hal ini juga merupakan upaya stabilkan nilai tukar.

“Ini agar imbal hasil aset-aset keuangan khususnya SBN tetapi menarik,” ucapnya

Dengan menaikkan suku bunga acuan, kata Perry masih terjadi masuknya aliran modal asing pada Juli-Agustus lalu.

Untuk itu, ia berpendapat, rupiah masih akan terus membentuk level-leve resisten baru. Ia memperkirakan besok rupiah masih akan terkosolidasi dan bergerak dalam rentang yang lebar karena volatilitas pasar yang tinggi.

"Proyeksinya besok rupiah masih berada di kisaran Rp 14.900 sampai Rp 15.000 per dollar AS," pungkas Juniman.

Sumber: Kontan
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved