AKSI 22 MEI 2019
Kejanggalan Korban Luka Tembak di Kerusuhan 22 Mei, Pengamat: Bukan Polisi, Itu Single Bullet
Kejanggalan Korban Luka Tembak di Kerusuhan 22 Mei, Pengamat: Bukan Polisi, Itu Single Bullet
"Nah siapa yang bisa nembak kepala siapa yang bisa nembak leher gitu, ini patut dipertanyakan," tandasnya.
Namun saat Hermawan ditanya oleh pembawa acara siapa di balik penembakan itu, dirinya enggan untuk menjawabnya.
Tak hanya dari sisi korban penembakan yang tewas, Hermawan juga mengungkapkan kejanggalan lain dalam kerusuhan 22 Mei.
"Pertanyaan awamnya kan gini, siapa yang bertanggung jawab, siapa dalangnya?" tanya pembawa acara.
"Orang yang pasti punya keahlian itu, yaitu contoh kalo orang dari daerah, mereka kan dari daerah, ada Jogja, Banten dari mana-mana, masuk jakarta itu gamang.
Kita orang jakarta aja ke kantor seringkali nyasar," analisis Hermawan.
"Ini bagaimana begitu terjadi kerusuhan terus nyebar, masuk ke gang gang dengan cepat, dengan aman.
Itu artinya sudah ada yang ngarahin, sudah dilatih sebelumnya untuk menyelamatkan diri, masuk ke mana mana," jelasnya.
Dalam dialog bertajuk "Mengungkap Dalang Kerusuhan 22 Mei" itu, Hermawan juga menjelaskan soal narasi atau skema adanya penumpang gelap dalam aksi 22 Mei.
• Final Liga Champions 2019 - Liverpool vs Tottenham Hotspur, Klopp: Firmino Dalam Kondisi Fit
• Ternyata Bukan Karena Kangen Nur Khamid, Ini Alasan Bule Cantik Polly Alexandria Pulang ke Indonesia
• Final Liga Europa 2019 - Chelsea vs Arsenal, Bernd Leno Kirim Sinyal Unai Emery soal Pemilihan Kiper
Menurut Hermawan, pola seperti ini telah ada di setiap kerusuhan yang sudah pernah terjadi sejak tahun 1974.
"Pola seperti ini dalam setiap kerusuhan mulai dari tahun 1974 sampai sekarang mirip mirip lah.
Ada trigger, satu peristiwa politik yang sebetulnya bisa murni peristiwa politik saja," kata Hermawan.
Hermawan lantas menjelaskan apa itu penumpang gelap yang menyebabkan aksi 22 Mei menjadi rusuh.
"Lalu ada penumpang, kalau yang lain bilang perusuh, penumpang gelap, apapun.
Itu istilah akademiknya fellow traveler atau free rider. Jadi menunggangi situasi, dan pada kasus ini disulut emosi sosialnya; solidaritas politik, solidaritas agama," jelas Hermawan.