Begini Gambaran Kehidupan Kota di Pulau Jawa di Awal Abad 20, Tetangga Rumah Orang Eropa

Kita ikuti saja kesan-kesan Augusta de Wit, seorang wanita Eropa yang mendarat di Tanjungpriok pada awal abad ini dari bukunya Java, Facts and Fancies

TRIBUN BATAM/DIPA
Kehidupan kota di jawa tahun 20an 

Orang-orang Eropa sesama penghuni hotel saat itu berada di beranda-beranda yang teduh, bermalas-malasan sambil minum limun dingin dilayani pelayan-pelayan pribumi. Sebagai pendatang baru, saya terkejut  melihat pakaian mereka. Kaum wanitanya mengenakan pakaian yang tampaknya seperti pakaian penduduk asli, yaitu sarung dan kebaya!

Mereka tidak memakai kaus kaki, cuma memakai sandal berhak tinggi. Rambutnya meniru gaya penduduk asli, yaitu ditarik ke belakang dan disanggul di belakang kepala. Menurut saya kurang pantas walaupun orisinal.

Lebih mencengangkan lagi ialah pakaian kaum prianya. Di saat santai mereka  memakai baju tidak berkerah. Celananya dari kain sarung yang tipis, dihiasi bunga-bunga merah dan biru, ada yang kupu-kupu dan naga!

Tapi yang paling di luar dugaan adalah yang disebut rijstafel. Nasi dengan lauk-pauknya itu bukan disajikan di kamar makan biasa, tapi di beranda belakang. Beranda belakang bentuknya memanjang. Atapnya tinggi disangga tiang-tiang putih. Beranda itu menghadap ke kebun yang ditumbuhi tanaman bunga dan pepohonan.

Makanan disajikan oleh pelayan-pelayan pribumi yang bergerak tanpa suara karena bertelanjang kaki. Potongan pakaian mereka setengah Eropa, dipadukan dengan sarung Jawa dan ikat kepala dari kain.

Saya belum pernah mencicipi makanan seperti itu di darat maupun di laut. Makanan utamanya nasi dengan ayam. Tapi di samping itu masih ada ikan, daging, potongan-potongan daging dalam pelbagai saus, pelbagai kari, acar, hati ayam, telur ikan, rebung, dan entah apa lagi.

Semua diberi bumbu yang baunya menyengat dan semua diberi cabai. Pokoknya, setiap hari koki mesti menyediakan sekitar 20 macam masakan. Mengherankan, perut pemakannya bisa tahan.

Anehnya lagi, semua itu dimakan dengan memakai sendok di tangan kanan dan garpu di tangan kiri! Masih ada lagi tumpukan pisang, manggis, nanas, rambutan, duku.

Nasi dan lauk-pauk ditumpukkan di piring saya. Langsung bibir saya gemetar kepedasan. Leher saya kebakaran sehingga mesti diguyur air. Sementara itu air mata saya bercucuran. Salah seorang yang merasa kasihan kepada saya menyarankan agar menaruh sedikit garam di lidah.

Saya menurut dan tak lama kemudian siksaan itu pun berakhir. Sambil terengah-engah, saya bersyukur karena saya masih hidup. Saya bersumpah tidak mau mencoba rijstafel lagi.

Namun, saya melanggar sumpah itu. Pengakuan ini saya nyatakan dengan bangga. Sekarang saya bisa makan nasi dan menyukainya.

Lain siang, lain malam

Selesai makan siang, saya diberi tahu bahwa sekarang saatnya untuk tidur siang. Mungkinkah makanan yang bermacam ragam dan  pedas itu membuat orang jadi mengantuk? Ataukah suhu yang panas dan cahaya yang menyilaukan membuat orang ingin tidur? Apa pun alasannya, saya merasa senang bisa masuk ke kamar saya yang teduh dan sunyi.

Dinding kamar itu temboknya putih saja, tidak dilapisi kertas dinding. Langit-langitnya juga demikian. Lantainya ubin merah. Di tengah ada kursi-kursi dari anyaman rotan dan di bawahnya ada sebidang tikar anyaman.

Baca Juga : Ulang Tahun Jakarta ke-490: Mengenang Si Pitung, Jagoan Betawi yang Bisa Menghilang

Sumber: Grid.ID
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved