Kemenkeu dan DPR Targetkan Pengesahan Kenaikan Meterai Jadi Rp 10.000 Selesai September
Pengaturan tentang bea meterai selama ini mengacu pada UU Nomor 13 Tahun 1985 yang belum pernah berubah sejak diberlakukan pada 1 Januari 1986
TRIBUNBATAM.ID, JAKARTA - Pemerintah akan menaikkan bea meterai yang saat ini Rp 6.000 menjadi Rp 10.000.
Kementerian Keuangan (Kemkeu) dan Komisi XI DPR RI sepakat untuk mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Bea Meterai tersebut.
Beleid ini targetnya disahkan sebelum masa jabatan anggota legislatif periode 2014-2019 berakhir di September mendatang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, perubahan terhadap UU Bea Meterai cukup mendesak.
• Rayakan Ulang Tahun ke-90 Imelda Marcos, 261 Orang Masuk Rumah Sakit. Benarkan Sengaja Diracun?
• Warning Kemendagri Terkait Pemecatan PNS Korupsi, BKD Bintan Sebut Belum Dapat Informasi
• Whatsapp, Facebook, dan Instagram Down Jadi Trending Topic di Twitter, Tak Bisa Kirim Gambar?
• Kementerian Keuangan Akan Terapkan Cukai Plastik. Kantong Plastik Bisa Rp 450 per Lembar
Pasalnya, pengaturan tentang bea meterai selama ini mengacu pada UU Nomor 13 Tahun 1985 yang belum pernah berubah sejak diberlakukan pada 1 Januari 1986.
“Sementara situasi dan kondisi yang ada di masyarakat dan perekonomian sudah banyak mengalami perubahan dalam tiga dekade terakhir, baik itu di bidang ekonomi, hukum, sosial, dan di bidang teknologi informasi,” ujar Menkeu, Rabu (3/7/2019).
Selain aturan bea meterai yang sudah tidak relevan dengan perkembangan, Sri Mulyani mengatakan, perubahan UU diperlukan lantaran tarif bea meterai sudah tidak dapat dinaikkan lagi jika mengacu pada aturan yang ada sekarang.
Pasal 3 UU 13/1985 mengatur, peningkatan tarif bea meterai maksimal hanya enam kali dari tarif awal pada tahun 1985 yang saat itu sebesar Rp 1.000 dan Rp 500.
Alhasi, bea meterai itu terkunci di angka Rp 6.000.
“Penetapan tarif tertinggi bea meterai telah ditetapkan pada tahun 2000 yaitu menjadi Rp 6.000 dan Rp 3.000 serta tidak dapat ditingkatkan lagi karena batasan UU tersebut,” lanjut dia.
Sri Mulyani juga menyampaikan, perubahan aturan bea meterai sejalan dengan upaya pemerintah meningkatkan potensi penerimaan negara dari perpajakan, khususnya bea meterai.
Sebab, penerimaan dari bea meterai tumbuh sangat lambat.
Sebagai perbandingan, dalam kurun 2000-2017, PDB per kapita tumbuh 8 kali lipat dari Rp 6,7 juta menjadi Rp 59,1 juta.
Sementara, pendapatan bea meterai di periode yang sama hanya tumbuh 3,6 kali dari Rp 1,4 triliun pada 2001 menjadi Rp 5,08 triliun pada 2017 lalu.
“Hal ini menunjukkan bahwa masih ada potensi meningkatkan penerimaan bea meterai yang bisa dilakukan, tanpa memberatkan masyarakat,” kata Menkeu.
Anggota Komisi XI Misbakhun sepakat agar pembahasan RUU Bea Meterai dipercepat.
“Sebelum masa jabatan DPR 2014-2019 berakhir di September 2019 targetnya RUU ini selesai. Walaupun ini hanya meterai, tapi penerimaan negaranya triliun dan bisa menambah anggaran pemerintah,” kata dia.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Achmad Hafisz Tohir selaku pemimpin rapat kerja menyimpulkan persetujuan anggota Komisi XI untuk melanjutkan usulan awal pemerintah ini ke dalam pembahasan tingkat I.
Empat Usulan Sri Mulyani
Dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI, Rabu (3/7/2019), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan sejumlah usulan penting kepada DPR terkait RUU tentang meterai ini.
Berikut rinciannya seperti dilansir dari KONTAN:
1. Meningkatkan dan mengubah tarif bea meterai menjadi hanya satu tarif sebesar Rp 10.000 per lembar.
Tarif tersebut mempertimbangkan kondisi pendapatan per kapita masyarakat Indonesia yang sudah jauh meningkat dibandingkan tahun 2000 lalu saat terakhir kali tarif bea meterai dinaikkan.
“Masih ada potensi penerimaan bea meterai tanpa memberatkan masyarakat dengan menggunakan pendekatan rasio beban bea meterai terhadap pendapatan per kapita,” ujar Menkeu.
2. Pemerintah mengusulkan untuk menyederhanakan batasan pengenaan bea meterai. Sebelumnya, dokumen yang menyatakan penerimaan uang dengan nominal di bawah Rp 250.000 tidak dikenakan bea meterai.
Dokumen penerimaan uang dengan nominal antara Rp 250.000 sampai Rp 1 juta dikenakan bea meterai Rp 3.000, sedangkan dokumen dengan nominal di atas Rp 1 juta dikenakan bea meterai Rp 6.000.
Usulan pemerintah yang baru, batasan tersebut disederhanakan menjadi hanya satu batasan saja dan nilainya ditingkatkan menjadi Rp 5 juta sebagai batas minimal nominal dokumen.
Jadi, dokumen dengan nilai nominal di bawah Rp 5 juta bebas dari bea meterai, sedangkan dokumen dengan nominal di atas Rp 5 juta dikenakan bea meterai tunggal Rp 10.000.
“Jadi, meski tarif diusulkan meningkat, RUU juga menegaskan keberpihakan pemerintah pada UMKM karena batasan nilai nominal dokumen dinaikkan (menjadi Rp 5 juta),” tutur Sri Mulyani.
3. Pemerintah juga mengusulkan agar dokumen yang menjadi obyek bea meterai tidak hanya terbatas pada dokumen kertas.
Pasalnya, seiring perkembangan teknologi dan informasi, kebiasaan masyarakat bertransaksi semakin banyak menggunakan jaringan internet dan dokumen digital.
“Banyak dokumen yang diproduksi dalam bentuk digital dan belum bisa dikenakan bea meterai. Dalam RUU diusulkan perluasan definisi dokumen, menjadi termasuk dokumen digital selain kertas,” lanjutnya.
Ini sejalan dengan UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur transaksi bersifat elektronik, termasuk pengaturan dokumen dan tanda tangan elektronik.
4. Pemerintah mengusulkan untuk mempertegas pihak yang terutang bea meterai yang dirinci berdasarkan jenis dokumen.
Usulannya, pemungut bea meterai ditetapkan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pelunasan bea meterai.
“Jadi sekarang pihak yang menerbitkan dokumenlah yang harus melunasi bea meterai,” kata Sri Mulyani.
Hal ini bertujuan memberikan kepastian hukum bagi administrasi perpajakan maupun masyarakat atas pemenuhan kewajiban bea meterai untuk setiap jenis dokumen yang menjadi objek bea meterai.