Komnas Perempuan Soroti Kasus Baiq Nuril: Apa MA Tidak Baca Aturan yang Dibuatnya Sendiri?

Apa, ya, tidak cukup jeli atau barangkali memang tidak dibaca, ya, permanya sendiri. Kan peraturan mereka sendiri (yang buat), harusnya sudah dibaca.

Kompas.com
Baiq Nuril bertemu Menkumham Yassona Laoly, Senin (8/7/2019), berharap mendapat amnesti dari Presiden Joko Widodo setelah upaya hukumnya ditolak Mahkamah Agung 

TRIBUNBATAM.ID, JAKARTA - Kasus Baiq Nuril kembali menjadi sorotan setelah Peninjauan Kembali (PK) ditolak oleh Mahkamah Agung.

Alhasil, Presiden Joko Widodo berencana akan mengeluarkan kewenangannya untuk memberikan amnesti atau pengampunan kepada Baiq Nuril.

Namun, Komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati menyayangkan Mahkamah Agung ( MA) yang dinilainya tidak arif dalam membuat keputusan.

Semestinya, kata Komnas Perempuan, MA menggunakan Peraturan Mahkamah Agung ( Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, dalam mengadili kasus Baiq Nuril.

PK Ditolak Mahkamah Agung, Jokowi Akui Perhatiannya Sejak Awal Terhadap Kasus Baiq Nuril

PK Ditolak Mahkamah Agung, Jokowi Segera Bahas Amnesti Untuk Baiq Nuril

PK Baiq Nuril Ditolak Mahkamah Agung, Ini Satu-satu Jalan Baginya Agar Bebas dari Hukuman

Trauma Lihat Ruang Tahanan, Baiq Nuril Menangis Saat Jalani Sidang PK

Menurut dia, seharusnya MA menggunakan peraturan tersebut terhadap perempuan dalam segala situasi, bukan hanya sebagai korban karena dalam aturan tersebut jelas tertulis, untuk perempuan yang berhadapan dengan hukum.

"Perma ini harus digunakan baik sebagai saksi, korban, dan ketika dia duduk sebagai terdakwa. Artinya, perma ini seharusnya dilakukan untuk segala situasi bukan hanya sebagai korban," kata Sri saat ditemui di Gedung Komnas Perempuan, Jakarta, Senin (8/7/2019).

Ke depan, kata dia, perlu adanya peraturan turunan agar Perma itu dapat diimplementasikan.

"Di dalam permanya cukup jelas, jadi harus ada turunan di dalam SOP-nya supaya terimplementasi peraturan itu," ujarnya.

Sri juga mempertanyakan, apakah MA membaca dan memahami peraturan yang telah dibuat sendiri.

"Apa, ya, tidak cukup jeli atau barangkali memang tidak dibaca, ya, permanya sendiri. Kan peraturan mereka sendiri (yang buat), harusnya sudah dibaca. Kita berasumsi harus seperti UU, ketika diundangkan semua orang harus tahu," kata Sri.

Sebelumnya, Juru Bicara Mahkamah Agung ( MA) Andi Samsan Nganro membantah tuduhan bahwa MA mengesampingkan Perma No 3 tahun 2017.

Menurut dia, dalam peraturan MA tersebut, perempuan yang sedang berhadapan dengan hukum adalah mereka yang berstatus sebagai korban, saksi, dan pihak terkait.

Sementara itu, dalam kasus ini, menurut Andi, Baiq dalam posisi terdakwa, bukan sebagai korban atau sksi.

"Dalam peraturan MA yang dimaksud dengan perempuan berhadapan dengan hukum adalah perempuan yang berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi, atau perempuan sebagai pihak," ujar dia.

"Nah, di dalam perkara yang kita sebutkan tadi, ini berproses yang sampai PK ditolak itu, terdakwa disini (Baiq Nuril) perempuan sebagai terdakwa bukan sebagai korban," kata Andi lagi.

Menkumham: Keadilan Bagi Wanita

Baiq Nuril saat bertemu Menkumham Yaqsonna Laoli dan anggota DPR Rieke Diah Pitaloka (Antara)

Ditolaknya PK Baiq Nuril, guru yang dilaporkan kepala sekolah karena merekam ungkapan cabul sang kepsek memang memantik perhatian luas sejak kasus itu bergulir.

Setelah semua upaya hukumnya habis, Baiq akhirnya bertemu dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ( Menkumham) Yasonna Laoly, berharap Presiden membantunya.

Yasonna usai pertemuan itu, Senin (8/7/2019) mengatakan, kasus yang dialami guru honorer asal Nusa Tenggara Barat ini bukan kasus kecil.

Yasonna mengatakan, kasus yang dialami Nuril merupakan kasus yang erat kaitannya dengan keadilan para perempuan di Indonesia.

"Ini adalah menyangkut rasa keadilan yang dirasakan oleh Ibu Baiq Nuril dan banyak wanita-wanita lainnya. Rasa ketidakadilan orang yang merasa korban dikorbankan, yang seharusnya korban tapi dipidanakan," kata Yasonna usai bertemu Baiq Nuril di Kantor Kemenkumham, Senin (8/7/2019) sore.

Yasonna berpendapat, amnesti mesti diberikan kepada Nuril supaya tidak terdapat Nuril-Nuril lainnya yang justru kena pidana saat melaporkan pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan.

"Kalau ini tidak diberikan kesempatan untuk kewenangan konstitusional amnesti kepada beliau, ada banyak mungkin ribuan wanita-wanita yang korban kekerasan seksual atau pelecehan tidak akan berani bersuara," ujar Yasonna.

Menurut Yasonna, masih banyak perempuan di Indonesia yang belum berani bersuara apabila menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual karena takut dipidana selayaknya yang dialami oleh Nuril.

Yasonna menilai, hal itu juga disebabkan oleh adanya relasi kuasa yang membuat perempuan sebagai berada di posisi yang lebih rendah dari sang pelaku baik dari segi sosial maupun ekonomi.

"Biasanya orang-orang yang berada kekerasan seksual itu kan orang orang yang dimanfaatkan relasi kuasanya. Contoh, Bu Nuril guru honorer lawannya kepala sekolah," kata Yasonna.

Kemenkumham melibatkan sejumlah pakar hukum dalam menyusun pendapat hukum terkait wacana pemberian amnesti kepada Nuril.

Nuril berencana mengajukan amnesti kepada Presiden Joko Widodo setelah Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali yang ia ajukan.

Kasus Nuril bermula saat ia menerima telepon dari Kepsek berinisial M pada 2012.

Dalam perbincangan itu, Kepsek M bercerita tentang hubungan badannya dengan seorang wanita yang juga dikenal Baiq. Karena merasa dilecehkan, Nuril pun merekam perbincangan tersebut.

Pada tahun 2015, rekaman itu beredar luas di masyarakat Mataram dan membuat Kepsek M geram. Kepsek lalu melaporkan Nuril ke polisi karena merekam dan menyebar rekaman tersebut.

Kepsek M menyebut, aksi Nuril membuat malu keluarganya.

Nuril pun menjalani proses hukum hingga persidangan. Hakim Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat memvonis bebas Nuril.

Namun, jaksa mengajukan banding hingga tingkat kasasi.

Mahkamah Agung kemudian memberi vonis hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta karena dianggap melanggar Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 ayat 1 UU Nomor 11/2008 tentang ITE.

Nuril kemudian mengajukan PK. Dalam sidang PK, MA memutuskan menolak permohonan PK Nuril dan memutus Nuril harus dieksekusi sesuai dengan vonis sebelumnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kasus Baiq Nuril, Komnas Perempuan Sayangkan MA Tak Gunakan Aturan Sendiri"

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved