Sudah Tiga Kali Mangkir, KPK Akan Tetapkan Sjamsul Nursalim dan Istrinya Buron
Sjamsul dan Itjih telah dua kali mangkir dari panggilan KPK sebagai tersangka dalam perkara yang merugikan keuangan negara sebanyak Rp 4,58 triliun
TRIBUNBATAM.ID, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mempertimbangkan sejumlah langkah hukum atas sikap tidak kooperatifnya Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim.
Salah satu langkah hukum yang sedang dipertimbangkan KPK yakni memasukan nama Sjamsul dan Itjih dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) atau buronan. “Akan kami pertimbangkan,” ujar Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, kepada wartawan, Senin (22/7/2019).
Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim adalah tersangka kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim.
Sjamsul dan Itjih diketahui telah dua kali mangkir dari panggilan KPK sebagai tersangka dalam perkara yang merugikan keuangan negara sebanyak Rp 4,58 miliar ini, yakni pada 28 Juni 2019 dan 19 Juli 2019.
• Syafruddin Tumenggung Bebas jeratan Korupsi, Sjamsul Nursalim Bisa melenggang Bebas?
• GIIAS 2019 - Ada Mobil Konsep Lexus LF-1 Limitless Concept, Pertama di Asia Tenggara
• Minggu Ini Kontainer Berisi Limbah B3 Akan Segera di Re-Ekspor Dari Batam ke Negara Asal
Padahal, KPK telah melayangkan surat panggilan ke lima alamat di Indonesia dan Singapura yang terafiliasi dengan pasangan suami istri itu. Di Indonesia, KPK mengirimkan surat panggilan pemeriksaan ke rumah kedua tersangka di Simprug, Grogol Selatan, Jakarta Selatan.
Untuk alamat di Singapura, KPK mengirimkan surat panggilan pemeriksaan melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia, ke empat alamat, yaitu, 20 Cluny Road; Giti Tire Plt. Ltd. (Head Office) 150 Beach Road, Gateway West; 9 Oxley Rise, The Oaxley dan 18C Chatsworth Rd.
Tidak hanya melayangkan surat panggilan, tim KPK juga meminta Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura mengumumkan pemanggilan pemeriksaan Sjamsul dan Itjih di papan pengumuman Kantor KBRI Singapura.
Upaya pemanggilan tersangka juga dilakukan dengan meminta bantuan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), Singapura. Namun Sjamsul dan Itjih selalu mangkir untuk dimintai keterangan sejak proses penyelidikan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan taipan Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, sebagai tersangka skandal BLBI atau Bantuan Likuiditas Bank Indonesia pada 10 Juni 2019 lalu.
Sjamsul Nursalim adalah pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang mendapat kucuran BLBI tahun 2004 setelah kredit macet Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI yang dikucurkan kepada perusahaannya sendiri, Dipasena Group.
Selain penetapan sebagai tersangka, Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif juga menyebutkan akan menyita aset Sjamsul Nursalim untuk memaksimalkan upaya asset recovery terhadap kerugian negara senilai Rp 4,58 triliun tersebut.
• KPK Bongkar Megakorupsi BLBI, Sjamsul Nursalim dan Istri Jadi Tersangka
• Ditetapkan Sebagai Tersangka Kasus BLBI, KPK Ingin Suami-Istri Sjamsul dan Itjih Nursalim Kooperatif
• Dari 447 Terduga Perusuh dalam Aksi 22 Mei, Ada 67 Anak di Bawah Umur
Sjamsul sendiri saat ini menetap di Singapura, namun kerajaan bisnisnya masih cukup besar di Indonesia melalui Gajah Tunggal Group.
Penetapan Sjamsul dan Itjih sebagai tersangka diawali dengan SPDP yang dikirim KPK kepada mereka berdua pada 17 Mei 2019 ke tiga alamatnya di Singapura dan satu lokasi di Jakarta, Indonesia.
Lokasi tersebut yaitu The Oxley, Cluny Road, Head Office of Giti Tire Pte.Ltd di Singapura dan Rumah di Simprug, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta.

Sjamsul dan Itjih sudah dipanggil KPK sebanyak tiga kali, yakni pada Oktober 2018 sebanyak dua kali, dan Desember 2018 satu kali.
Ketidakhadiran mereka di muka hukum memungkinkan KPK untuk menyidangkan Sjamsul dan Itjih secara in absentia atau tanpa kehadiran terdakwa di pengadilan.
"Kalau yang bersangkutan dipanggil tidak hadir entah karena kesehatan, usia atau alasan lain, dimungkinkan dalam hukum acara pidana disidangkan dengan cara in absentia," kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, beberapa weaktu lalu.
Berdasarkan audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dikuatkan dalam vonis terhadap mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung, penerbitan SKL BLBI kepada BDNI menguntungkan Sjamsul Nursalim dan merugikan keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun.
PT Gajah Tunggal Tbk milik keluarga Nursalim melantai di bursa dengan kode emiten GJTL.
Usahanya meliputi pengembangan, pembuatan dan penjualan barang-barang dari karet, termasuk ban dalam dan luar segala jenis kendaraan, flap dan rim tape serta juga produsen kain ban serta karet sintesis.
GJTL memproduksi ban dengan merek Zeneos dan GT Radial.
Gajah Tunggal memiliki sejumlah anak usaha, di antaranya PT Softex Indonesia yang memproduksi pembalut wanita, PT Filamendo Sakti, pabrik benang serta PT Dipasena Citra Darmadja, usdaha tambak udang yang mkendapat kucuran BLBI di Lampung.
Nursalim juga pemilik saham perusahaan petrokimia Polychem Indonesia Tbk --dulu GT Petrochem-- yangt pemproduksi poliester dan zat kimia, etilena glikol.
Perusahaan ini juga melantai di bursa dengan kode ADMG.
Nursalim juga pemegang merek sejumlah ritel dan gerai merek ternama untuk Indonesia, seperti Starbuck, Burger King, Sogo, Zara dan Sport Station.
Vonis Syafruddin

Majelis Hakim PT DKI dalam putusan bandingnya menjatuhkan hukuman 15 tahun pidana penjara dan denda Rp1 miliar subsider 3 bulan kurungan terhadap mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung.
BPPN adalah lembaga task force yang dibentuk pemerintah dalam menangani masalah kredit macet dan bangkrutnya sejumlah bank di Indonesia setelah terjadi krisis ekonomi di tahun 1997.
Di Pengadilan Tipikor Jakarta, Syafruddin divonis 13 tahun penjara dan denda sebesar Rp700 juta subsidair tiga bulan kurungan.
Namun Syafruddin kemudian banding.
Di Pengadilan Tinggi Jakarta, Syafruddin malah mendapat bonus tambahan menjadi 15 tahun penjara oleh hakim.
Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan Syafruddin telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama terkait penerbitan SKL BLBI kepada Sjamsul selaku pemegang saham pengendali BDNI.
Syafruddin telah melakukan penghapusbukuan secara sepihak terhadap utang pemilik saham BDNI tahun 2004.
Majelis Hakim menyatakan, Syafruddin telah menandatangani surat pemenuhan kewajiban membayar utang terhadap obligor BDNI, Sjamsul Nursalim.
Padahal, Sjamsul belum membayar kekurangan aset para petambak udang Dipasena di Lampung.
Syafruddin juga terbukti telah menerbitkan SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim yang menyebabkan negara kehilangan hak untuk menagih utang Sjamsul sebesar Rp 4,58 triliun.
Sengketa dengan Petambak
Dalam persidangan, Juli 2018, para petambak udang yang bekerja sama dengan PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM) milik Dipasena Group juga dihadirkan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor sebagai saksi.
Lima petambak bersaksi untuk terdakwa Syafruddin.
Dalam persidangan, para petambak mengaku diperas oleh PT DCD dan PT WM milik Sjamsul Nursalim itu.
"Kami dijadikan seperti sapi perah dan bebek petelur," ujar Towilun, seorang petambak.
Menurut Towilun, awalnya pada 1995 dia ditawari kerja sama oleh PT DCD. Saat perjanjian kerja sama dilakukan, para petambak dikumpulkan dalam suatu ruangan.
Para petambak diminta menandatangani perjanjian kerja sama tanpa diperbolehkan membaca surat perjanjian oleh pihak DCD.
Hal serupa juga terjadi saat petambak diminta menandatangani akta kredit.
Menurut Towilun, petambak dijanjikan kredit Rp 135 juta. Dalam pengarahan, petambak diberi tahu bahwa petambak dapat melunasi utang setelah bekerja selama 6-8 tahun dan setelah itu tambak menjadi hak milik petani.
"Yang Rp 90 juta investasi perlengkapan budidaya. Yang Rp 45 juta buat modal kerja, beli pakan, beli telur dan kebutuhan hidup," kata Towilun.
Faktanya, setiap petambak tidak diberikan uang tunai Rp 135 juta. Dipasena memberikan secara bertahap berupa modal kerja dan investasi perlengkapan.
Setelah itu, menurut Towilun, petambak tidak pernah diberi tahu sampai kapan utangnya akan lunas. Petambak hanya diminta menyerahkan seluruh hasil tambak udang untuk dijual oleh PT DCD.
"Setelah udang panen, harus diserahkan pada perusahaan. Kami tidak menerima duit, hanya laporan dalam bentuk kertas," kata Towilun.
Menurut Towilun, harga penjualan udang oleh PT DCD paling rendah mencapai Rp 181 juta dalam sekali panen, namun harga beli dari petambak jauh lebih murah.
Selain itu, perusahaan tidak pernah menjelaskan posisi utang para petambak.
Menurut Towilun, apabila hal itu ditanyakan, petambak justru akan mendapat intimidasi dari pihak perusahaan.
Belakangan, kredit petani ke BDNI macet, namun oleh BPPN, pembayarannya tidak dibvebankan kepada DCD sebagai penjamin.
Auditor dari kantor akuntan publik Prasetio Utomo and Co, Rukyat Kosasih dalam kesaksiannya menyebutkan bahwa kredit dari PT DCD dan WM kepada plasma, atau para petambak udang macet.
Begitu juga utang PT Dipasena kepada BDNI juga macet dan melampui plafon yang disepakati.