BATAM TERKINI
Jual Lahan Hutan Lindung, PT PMB Berdalih Ingin Ikut Program Sejuta Rumah Presiden
Direktur PT PMB mengakui jika lahan yang dijual ke warga merupakan lahan hutan lindung dan berdalih ingin ikut program sejuta rumah dari Presiden.
TRIBUNBATAM.id, BATAM - Lagi-lagi perusahaan pengembang di Batam menebang hutan lindung untuk kebutuhan komersial.
Ironisnya, lahan hutan lindung itu dipasarkan dalam bentuk kaveling.
Lahan itu dijual ke warga dengan nominal yang terus bertambah mulai Rp 7 juta hingga Rp 40 juta.
Kemudian ditagih lagi untuk biaya IMB, SHGB, IMB, dan lainnya.
Tak terima, akhirnya warga mengadu ke Komisi I DPRD Batam.
Pembabatan hutan lindung itu, PT PMB terungkap dalam rapat dengar pendapat (RDP), Senin (29/7) di Komisi I DPRD Batam.
Rapat ini dipimpin oleh Ketua Komisi I DPRD Kota Batam, Budi Mardianto.
RDP dihadiri oleh Wakil Ketua Komisi I DPRD Kota Batam, Harmidi Umar Husein dan beberapa anggota dewan lainnya, Jurado Siburian dan Yudi Kurnain.
Direktur PT PMB, Ayang mengakui jika lahan yang mereka usahakan dan pasarkan ke warga, merupakan hutan lindung.
Lahan yang saat ini proses pengerjaan di Nongsa seluas 28 hektare dan di Punggur, seluas 24 hektare.
• Penyidik KPK Perpanjang Masa Penahanan Nurdin Basirun 40 Hari Lagi
• Warga Pulau Panjang Tidak Percaya Abu Bakar Terlibat Gratifikasi Gubernur Kepri
• Jalan Tanjung Piayu Gelap Gulita, Sering Terjadi Kejahatan Jalanan di Malam Hari
"Itu diperkirakan masing-masing bisa dibangun sekitar 1.900 kaveling. Nongsa luasnya 28 hektare, sekitar 1.900 kaveling. Semua hutan lindung," katanya.
Soal status hutan lindung yang mereka babat dan disiapkan jadi perumahan di Nongsa dan Punggur, sebelumnya sudah jadi kebun.
"Jadi bukan hutan lindung murni. Jadi tanah kami dibeli owner dan kami menguasai lahan sudah 20 tahun berturut-turut," ujarnya.
Diakuinya pihaknya akan membangun perumahan di atas hutan lindung, untuk diikutkan dalam program nasional (Progna/sejuta rumah) dari Presiden.
Sehingga, mereka awalnya tidak melibatkan BP Batam.
Mereka mendaftarkan program pembangunan rumah untuk warga, ke Pemko Batam, tahun 2018 untuk mengurus izin.
"Hingga Januari 2019, kami belum terima informasi dari Pemko. Namun akhirnya kami terima kabar, tidak bisa mengikuti program karena perusahaan, PT, CV tidak bisa karena badan komersil. Makanya kami membuat badan layanan," imbuhnya.
Terkait keluhan masyarakat yang diwajibkan beberapa biaya tambahan, seperti mengurus IMB, mengurus UWTO dan lainnya, Ayang mengakui tarif perdana yang dikenakan untuk pembeli, merupakan upah tebas lahan dan biaya hibah dari warga.
Yang sebelumnya mengelola lahan hutan lindung itu.
"Karena perusahaan sudah mengganti atas lahan yang kami hibahkan maka ada biaya Rp 3 juta sampai Rp 30 juta. Ditambah kita belum pernah terima sampai Rp 45 juta upah tebas lahan. Banyak warga yang kredit," katanya.
Sementara itu Perwakilan warga merasa terperdaya dengan developer itu. Mereka awalnya tidak tahu jika lahan di Nongsa dan Kabil itu masuk hutan lindung.
"Kami tidak tahu kalau itu hutan lindung. Kami ditawarkan dan kami beli. Kami merasa resah ketika muncul dari PT ini, mengeluarkan surat edaran, minta bayar UWTO. Kami sudah bayar awal, ada yang sampai Rp 45 juta. Sekarang, kami dikasih batas waktu untuk bayar UWTO," ujar Andre.
Sementara perwakilan bagian lahan Badan Pengusahaan (BP) Batam menegaskan, untuk kaveling, pihaknya tidak ada mengeluarkan izin sejak tahun 2016.
Selain itu, pihaknya tidak mengeluarkan izin untuk membangun pemukiman di atas hutan lindung.
"Disana (Kabil dan Nongsa) tidak ada izin sama sekali. BP sudah pernah mengeluarkan surat menghentikan kegiatan tahun 2017 ke Zali (pengusaha) dan kita tembuskan ke instansi terkait lain," katanya.
Perwakilan BP Batam itu menanggapi pernyataan developer yang sebelumnya mengurus izin ke Kementerian Kehutanan. Namun diarahkan ke BP Batam, kemudian mereka tolak, karena lahan di atas hutan lindung.
"Di Batam, hak pengolahan lahan diberikan pusat. Artinya, di atas hak lahan, penggunaannya harus sepengatahuan penerima hak pengolahan (BP).
Dia juga mempertanyakan langkah developer di Batam yang dinilai banyak melakukan pelanggaran. Dimana, ada developer yang melakukan pembangunan, baru meminta izin ke BP Batam.
"Harusnya, meminta izin dulu, baru dimanfaatkan. Jadi jangan dibalikkan. Tidak bisa dipakai dulu baru izin. Tidak boleh seperti itu. Jadi secara perizinan, belum ada yang kita keluarkan untuk itu," bebernya.
Menanggapi persoalan itu, pimpinan rapat, anggota Komisi I DPRD Batam, Budi Mardianto menegaskan, harusnya tidak diusahakan jadi perumahan, jika status hutan lindung.
Sementara untuk warga yang membeli, disebutkan, jika banyak yang tidak tahu status lahan itu sebagai hutan lindung.
"Status lahan itu hutan lindung. Warga tidak tahu kalau itu masih hutan lindung. Ini akan kita lebih lanjut dalam hearing lain nanti. Kita akan undang pihak lain terkait dengan ini," katanya. (tribunbatam.id/roma uly sianturi)