Demo Hong Kong Membuat Liburan Musim Panas Menjadi Beku, Para Turis Terjebak Kerusuhan
Pukulan terhadap pariwisata Hong Kong menurut sebuah survei lebih buruk dari pecahnya kasus virus SARS tahun 2003 yang membawa korban jiwa
Dengan kondisi Hong Kong yang kacau-balau saat ini, banyak yang membatalkan perjalanan.
Mereka yang terlanjur datang --setelah melihat para pendemo tidak mengganggu Juni lalu-- kini terjebak di negara semiotonom itu.
Tidak bisa kemana-mana, bahkan untuk pulang pun sulit.

Selain itu, warga China daratan yang selama ini paling banyak menghabiskan uang di Hong Kong,. terutama para wanita pemburu produk fesyen, tidak datang ke Hong karena sentimen buruk yang diperlihatkan demonstran.
Aksi para pendemo telah menimbulkan kebencian massal di China daratan terhadap mereka.
Kepala Eksekutif Carrie Lam Cheng Yuet-ngor pekan lalu memperingatkan kemerosotan ekonomi yang membayangi jika krisis berlanjut, bahkan bisa "lebih buruk daripada yang disebabkan oleh Sars atau badai ekonomi masa lalu".
Seperti diketahui, wabah SARS tahun 2003 menewaskan 299 orang di Hong Kong dan mengakibatkan kemerosotan ekonomi.
Kedatangan pengunjung dari Januari hingga Mei 2003 turun 17,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Pariwisata, salah satu dari empat industri pilar Hong Kong yang mempekerjakan lebih dari 270.000 orang, menyumbang 4,5 persen dari PDB pada 2017.
Tiga industri lainnya adalah jasa keuangan, perdagangan dan logistik, serta layanan profesional dan produsen.
Pekan lalu, kepala perdagangan Edward Yau Tang-wah mengatakan penurunan kedatangan wisatawan yang awalnya diperkirakan 1,5 persen dibanding tahun lalu, menurun 26 persen pada pertengahan Juni dan awal Agustus meningkat tajam hingga 31 persen.
Survei terhadap 1.012 pekerja industri dari 1 hingga 10 Agustus dilakukan oleh empat kelompok buruh, termasuk Federasi Hong Kong dan Serikat Buruh Kowloon dan Serikat Jenderal Pemandu Tur Hong Kong.
Ditemukan 103 orang, atau 10 persen responden tidak bekerja pada bulan Juni dan Juli, sementara 118 orang, atau 12 persen, melaporkan tidak ada pendapatan dalam dua bulan terakhir.
Jajak pendapat menunjukkan 82 persen responden harus memotong pengeluaran untuk makanan dan minuman dan 79 persen mengalami tekanan mental yang lebih besar akibat berkurangnya pendapatan.
"Ada masalah arus kas langsung dengan beberapa anggota kami harus meminjam uang untuk memberi makan keluarga mereka," katanya.