Revisi UU KPK Jadi Bahasan Panas di ILC sampai Fahri Hamzah Marah, Jokowi Tentukan Sikap
Revisi UU KPK jadi pembahasan panas ILC TV One terbaru, Presiden Jokowi tentukan sikap.
TRIBUNBATAM.id - Revisi UU KPK jadi pembahasan panas ILC TV One terbaru, Presiden Jokowi tentukan sikap.
ILC TV One dipandu Karni Ilyas mengambil topik "KPK Mau Dilemahkan atau Dikuatkan".
ILC TV One tadi malam Selasa (11/9/20190 berlangsung seru, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang ancam Karni Ilyas, ada juga momen Fahri Hamzah marah-marah kritik KPK.
Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah mengupas tuntas kondisi pemberantasan korupsi.
Dilansir TribunWow.com dari tayangan channel YouTube 'Indonesia Lawyer Channel' pada Selasa (10/9/2019), Fahri Hamzah menilai bahwa sekarang tokoh publik takut untuk merevisi UU KPK.
Fahri Hamzah mengatakan, hal itu juga pernah ia ceritakan pada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Pertemuan kedua dengan Pak Jokowi, saya mengatakan baru pulang dari Korea Selatan."
"Saya dah ketemu ICRC, saya ketemu dengan masyarakat transparansi Internasional, saya buat report pada beliau, 'Pak be careful about the economy' (berhati-hatilah soal ekonomi)," jelas Fahri Hamzah.
Fahri Hamzah menceritakan bahwa dahulu Korea Selatan memiliki lembaga anti korupsi yang dianggap mirip dengan KPK.
"CICAC berdiri pada tahun 2002 itu saudara kembarannya KPK, Corruption Independent Commussion Against Corruption (Komisi Perlawanan Korupsi) ," terangnya.
Namun, lembaga di Korea Selatan itu banyak diprotes oleh masyarakatnya sendiri.
"Tapi tahun 2008 masyarakat sipil datang ke parlemen terutama para pengusaha, mengatakan 'This is will kill economy', ini akan membunuh ekonomi," ujar Fahri Hamzah.
Sehingga, lembaga tersebut akhirnya diperbaiki.
"Lalu pada 2008 diubah menjadi ACRC (Anti Corruption and Human Right Commision )," ucapnya.
Kemudian Fahri Hamzah kembali menceritakan bagaimana pesan dari orang-orang Korea Selatan tersebut.
"Saya ketemu berapa kali, bahwa pas mereka ke sini, saya ketemu juga, yang luar biasa dari mereka adalah dia mengatakan begini 'Pemberantasan korupsi itu jika tidak untuk mempersiapkan secara cepat seluruh institusi penegak hukum untuk bekerja menegakkan hukum dan kita mundur sebagai lembaga complain, ban dibilang itu akan menjadi disaster itu menjadi problem'," papar Fahri Hamzah.
Sedangkan di Indonesia sekarang, pejabat-pejabat sudah takut untuk merevisi KPK.
"Sekarang 17 tahun sudah karena kita ini takut semua kan, mulai dari Hakim Mahkamah Konstitusi, Judicial Review," tutur dia.
Apalagi media juga dianggap telah menyudutkan para perevisi undang-undang KPK.
"Langsung itu headline-nya, media-media ini juga kelakuannya, Corruptor Fight Back, setiap ada kita mau upaya merevisi Corruptor Fight Back (Koruptor Bangkit Kembali) kayak kita maling semua mau berkomplot, enggak berani kita pakai otak dan akal kita untuk menalar suatu perkara," jelas Fahri Hamzah.
Dengan berapi-api dan tampak emosi, Fahri Hamzah membentak pejabat-pejabat yang tidak berani merevisi UU KPK demi kepentingan bangsa.
"Akhirnya orang takut, kalau ada orang yang bilang pejabat enggak takut, pengecut ulangi dari atas sampai bawah pengecut semua."
"Penakut, tidak mau menegakkan sistem, tidak berani terus terang, saya menggugat ini pejabat-pejabat main belakang, terus teranglah sehingga KPK jangan dijadikan public hero," bentak Fahri Hamzah.
Lihat videonya mulai 14:00:
Pada kesempatan itu, Fahri Hamzah juga menilai bahwa presiden merupakan sosok yang paling bertanggung jawab atas pemberantasan korupsi di negara ini.
Hal itu diungkapkan Fahri Hamzah saat menjadi bintang tamu di acara 'Indonesia Lawyers Club' pada Selasa (10/9/2019).
Fahri Hamzah menegaskan pendapatnya tersebut tak pernah berubah dalam lima tahun terakhir.
"Dan saya merasa karena lima tahun ini saya enggak pernah berubah pendapatnya, saya sudah berpendapat 10 tahun," kata Fahri Hamzah dikutip TribunWow.com dari channel YouTube Indonesia Lawyers Club pada Rabu (11/9/2019).
"Tapi lima tahun saya enggak pernah berubah pendapatnya yang bertanggung jawab memberantas korupsi bukan lembaga lain," sambung Fahri Hamzah.
Sehingga, jika nantinya presiden menandatangani revisi UU KPK dari DPR maka presiden nantinya akan bertanggung jawab dengan cara kerja pemberantasan KPK.
"Jadi apa yang dilakukan kalau presiden besok menandatangani Supres, itu presiden mengambil alih dan bertanggung jawab atas pemberantasan korupsi," tegas Fahri Hamzah.
Apalagi, presiden dianggap mendapat 'ongkos' yang cukup banyak.
"Karena dia yang dipilih oleh rakyat, ongkos milik presiden itu Rp 25 triliun, ongkos milik KPK ini cuma 1 miliar kurang," jelasnya.
Presiden, kata Fahri Hamzah, dianggap sosok yang dipercaya masyarakat untuk memberantas korupsi.
"Siapa yang diberikan oleh mandat oleh rakyat untuk ngurus negara ini termasuk memberantas korupsi di dalamnya adalah presiden," lanjut pria 47 tahun itu.
Kendati demikian, Fahri Hamzah menilai selama ini presiden kurang tanggap dengan masalah-masalah pemberantasan korupsi di negara ini.
"Dan presiden merasa away (jauh) from controlling from process (dari mengontrol proses) apa memberantas korupsi ini."
"Bahkan, berulang-ulang kan perseteruan antar lembaga kita enggak usah apa namanya kita ulang tuh katanya, kita sudah cicak buaya 4 katanya sekarang," ungkapnya.
Lihat videonya mulai 7:12:
Sikap Jokowi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu melakukan pembatasan terhadap lembaga antirasuah tersebut.
"Jangan sampai ada pembatasan-pembatasan yang tidak perlu. Sehingga independensi KPK menjadi terganggu, intinya ke sana," ujar Jokowi di Kemayoran, Jakarta, Rabu (11/9/2019).
Menurut Jokowi, dirinya baru saja menerima daftar inventaris malasah (DIM) draf revisi UU KPK.
Meski demikian dia akan mempelajari draf itu terlebih dahulu secara detail baru diputuskan.
"Saya mau lihat dulu, nanti satu per satu kita pelajari, putusin, dan saya sampaikan kenapa ini iya, kenapa ini tidak karena tentu saja ada yang setuju, ada yang tidak setuju dalam DIM-nya," tuturnya.
Dalam mengambil keputusan yang tepat terkait revisi UU KPK, Jokowi melakukan diskusi dengan sejumlah menteri dan akademisi sejak awal pekan ini.
" Sudah mulai sejak hari Senin, sudah kami maraton minta pendapat para pakar, kementerian, semuanya secara detail, sehingga begitu DIM nanti nanti kami lihat, saya sudah punya gambaran," tuturnya.
Sementara terkait Surat Presiden (Supres), kata Jokowi, akan disampaikan kepada publik jika telah dikirim ke DPR.
"Kami baru melihat DIM-nya dulu, nanti kalau Supres (Surat Presiden) kami kirim, besok saya sampaikan. Nanti materi-materi apa yang perlu direvisi," tuturnya.
Wakil Ketua KPK
Tak biasanya, Karni Ilyas mendapat ancaman ini di acara Talkshownya ILC TV One, Selasa (10/9/2019).
Sosok presenter yang dikenal tegas dan mampu menghadapi semua narasumbernya ini malah mendapat 'ancaman' ini jika tak memenuhi permintaan narasumber yang satu ini.
Saut Situmoraang meminta agar ucapannya disetujui terlebih dahulu sebelum mengomentari tentang Revisi Undang Undang ( RUU) No.32/2002 KPK.
Dalam diskusi yang mengangkat tema 'KPK Mau Diperkuat atau Diperlemah?, dikutip TribunWow.com dari tv One live, Selasa (10/9/2019), dia mengancam bisa saja memutuskan teleconfrence yang tesambung.
Kok bisa? Cek selengkapnya di sini:
Mulanya, presenter ILC, Karni Ilyas menyapa Saut Situmorang dan menyebutnya tiba-tiba tampil dengan suara lantang di tv.
Karni Ilyas lantas bertanya mengenai alasan KPK menolak rencana RUU KPK dan menyebutnya melemahkan KPK itu sendiri.
"Pro dan kontra bahwa ini melemahkan KPK, tapi di DPR ini justru menguatkan KPK, lha sebagai pimpinan KPK yang ikut memprotes RUU tersebut, saya ingin tahu apa alasannya bahwa ini akan melemahkan KPK di masa depan?," tanya Karni Ilyas.
Saut Situmorang yang dihubungi via video call, sebelum memberitahukan alasannya, tiba-tiba meminta terlebih dahulu agar ucapannya disetujui oleh seluruh yang hadir di studio dan termasuk Karni Ilyas.
Bahkan ia juga mengancam akan menutup komunikasi jika ucapannya tak disetujui.
"Ya sebelum saya mulai, kita semua harus sepakat dulu ya, kalau enggak sepakat, saya matiin, pertama kita harus sepakat dulu. Pak Karni harus bilang sepakat nih kalau saya selesai ngomong," ungkap Saut Situmorang.
"Bahwa kita harus sepakat dulu, seluruh Indonesia, stakeholder, penegak hukum, masyarakat, swasta bahwa korupsi adalah extraordinary crime (kejahatan luar biasa)," paparnya.
"Sepakat enggak nih? Kalau enggak gue tutup nih?," ujarnya.
Karni Ilyas yang mendengar ucapan itu pun tertawa.
"Kalau itu sepakat lah," jawab Karni Ilyas tertawa.
"Sepakat, keren," kata Saut Situmorang kembali.

Saut Situmorang lantas menyinggung perihal prolegnas (Program Legislasi Nasional) di tahun 2015-2019 yang di dalamnya juga memuat RUU KPK.
Diketahui Prolegnas merupakan instrumen perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan, tingkat pusat yang memuat skala prioritas Program Legislasi Jangka Menengah dan Tahunan.
"Ada Prolegnas, itu tahun 2015-2019 ada sekitar 63 undang-undang itu, di nomor urut 63 itu rencana undang-undang KPK yang isinya sama lah, yang dewan pengawas dan seterusnya itu ya, penyadapan penyidik dari polisi dan sebagainya, itu diprolegnas itu ada naskah akademik di depannya," jelasnya.
"Karena kemarin juga ada sebutan orang meninggal diadili segala macam, itu baru satu kasus. Enggak karena satu kasus itu secara keseluruhan KPK rusak," ungkapnya.
Saut Situmorang kemudian membahas perihal visi Prolegnas.
"Kedua, di dalam prolegnas 2015-2019 itu disebutkan itu visinya adalah pembangunan penegakan hukum, dengan kualitas penegakan hukum untuk mendukung daya saing perekonomian nasional. Lantas di dalamnya ada salah satu undang-undang KPK," jelas Saut Situmorang.
Ia menyoroti mengenai komitmen visi misi Prolegnas dengan kondisi Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perceptions Index (CPI) Indonesia.
"Apakah kalau kita bicara daya saing perekonomian nasional dan seterusnya seterusnya, dengan tingkat indeks persepsi korupsi yang 38 persen itu, di 9 lembaga yang menilainya, di sana perilaku kita diukur. Apakah kita komit dengan visi misi itu?," tanyanya.
Saut Situmorang kemudian menuturkan KPK pada Februari 2016 pernah dikirim draf oleh DPR tentang Prolegnas tersebut.
"Sekitar Febuari 2016, DPR kirim surat ke KPK, kami juga mendapat bahan itu, apa yang harus di revisi."
"Kami ngirim surat resmi ke DPR sekitar Febuari 2016 itu juga, bahwa kami berkesimpulan, draf yang diberikan itu tidak bisa kami terima dengan catatan bahwa undang-undang ini, sudah cukup kalau kita bicara visi misi, prolegnas 2015-2019 itu," pungkasnya.
Lihat videonya dari awal: