Kisah Desa Penari di Gunung Kidul yang Terancam Mati, Mbah Gunem Ceritakan Sejarahnya
Dusun Badongan Desa Karangsari,Kecamatan Semin merupakan desa yang berada di sebelah di Utara Kabupaten Gununugkidul dan dikenal sebagai pusat penari.
"Mau tidak mau ya saya carikan penari lain biasanya dari campursari. Kalau ada yang paham mengenai tari Tayub pasti akan tahu bahwa yang menari bukan asli penari Tayub, yang membedakan adalah gerakannya kalau yang tidak terbiasa pasti terlihat kaku," ujarnya.
Ia menceritakan satu kali pertunjukkan tari Tayub dimulai dari sore hari hingga fajar menjelang barulah tari Tayub selesai dipentaskan.
Gunem menjelaskan sebelum Tari Tayub dipentaskan terlebih dahulu melakukan ritual, barulah setelah itu tarian Tayub dipentaskan.
"Mulai sore hari, lalu saat mahrib istirahat dan jam 9 mulai lagi hingga pagi jam 3-4 ," katanya.
Sekali pentas kelompoknya mendapatkan bayaran Rp 5 juta itupun dibagi keseluruh kelompoknya dari mulai penari hingga pengiring atau pemain gamelan.
Namun para penari biasanya mendapatkan penghasilan lebih yaitu dari orang-orang yang memberikan uang saat menari (saweran).
"Dulu awal-awal ikut Tayub bayaran ya hanya Rp 10 ribu itu dulu kalau sekarang mungkin sebesar Rp 500 ribu," kenang nenek dengan 4 orang cucu tersebut.
Saat ini, dirinya belum mengetahui siapa yang akan mewariskan tari Tayub dan hanya bisa pasrah saja melihat kondisi saat ini.
• DP Rumah dan Kendaraan Turun, Kapan Bunga Kredit Bank Turun?
Tahun 2014 lalu dirinya mendapatkan piagam penghargaan dari Bupati Gunungkidul, Badingah.
"Tahun 70an saya sempat diundang ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) untuk pentas Tari tayub," katanya.
Gunem berharap ada penerus Tari Tayub sehingga tarian ini dapat tetap dilestarikan hingga generasi selanjutnya.
Penari Tari Tayub, Purwanti (44), mengatakan saat ini tinggal dirinya dan dua tetangganya yang ikut dalam tari tayub.
Ia mengatakan saat ini tari Tayub tidak sepopuler kesenian lain seperti Campursari.
"Dulu kepengen ikut saja karena ibu saya juga seorang penari Tayub. Ditambah lagi saat itu juga kekurangan tari Tayub, adik saya sudah tidak ikut menari Tayub karena sudah menikah," katanya.
Ia menjelaskan bagian tari Tayub yang tidak bisa ditiru oleh penari lainnya adalah gerakan Gambyong dan ukel.
"Kalau penari Tayub asli pasti terlihat lebih luwes. Pengennya ada regenerasi untuk penari Tayub sampai saat ini belum ada yang berminat untuk meneruskan," pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul Kisah Desa Penari di Gunungkidul yang Terancam Mati, https://jogja.tribunnews.com/2019/09/20/kisah-desa-penari-di-gunungkidul-yang-terancam-mati?page=all.