Tiap Orang Punya Cerita

Saparuddin Muda, Pemuda Tempatan dan Adab Ilmu

Kisah Saparuddin Muda, pendiri Perpat, sukses mengantarkan 2 istri menjadi anggota DPRD Kepri

TRIBUNBATAM/THAMZIL
Saparudin Muda 

Sapar mengaku, sejak tahun 1999 banyak elite Jakarta yang menawarinya jadi caleg, DPR-RI.

Tapi karena niat memang tak ada, tawaran itu dialihkan kepada kader Perpat yang lain.
Prabowo Subianto (Gerindra), Hendropriyono (PKPI), Wiranto (Hanura), hingga elite Demokrat dan PDIP pernah menawarinya.

"Ya saya jawab, kalau ada niat dari dulu. Saya ini biar diluar lapangan saja. Insyallah sampai mati saya tak nyaleg juga tak maju kepala daerah," katanya.

Dia menepis dia tak ikut kontestasi politik, karena tak memenuhi syarat formil pendidikan minimum, SMA.

"Sudah banyak yang tawari saya untuk buat ijazah SMA, ikut ujian paketlah, apalah. Tapi saya jawab, kalaulah nanti urus paspor, sudah pakai ijazah SMP, saya baru mau. Kan masuk Singapura cukup setor paspor,"ujar Sapar yang pernah jadi karyawan Koperasi TNI-AL itu.

Sapar bersyukur akses, rezeki, kenalan yang dia peroleh saat ini, tidak dia peroleh dengan ijazah. "Di luar itu, yang dibutuhkan adalah adab, jujur, satu kata satu perbuatan satu, bukan ijazah, ujar pria peraih gelar Putra Kelana Jaya  dari Lembaga Adat Melayu (LAM). ini.

Perihal gelarnya, Sapar berkomentar. “Kalau di kerajaan Melayu dulu ada panglima perang berjuluk Kelana Jaya Putra Bersuadara, jaya dulu baru berkelana. Kalau saya berkelana dulu baru jaya.”
Belakangan, gelar adat ini dia pilih jadi nama perusahaan developer yang mengelola kompleks perumahan di kawasan Bengkong Sadai.

Memang, sebelum mendirikan Perpat bersama dua saudaranya, tahun 1998 lalu, Sapar sempat berkelana di gugus kepulauan Riau dan pesisir Sumatera.

Setelah tak dapat ijazah SMP, Sapar memang berkelana.

Dia ikut perahu. Ke Siak, Pulau Kijang, Tembilahan, Jambi, Tanjung Buton, Johor, bahkan sampai di Singapura.

“Tahun 1996 itu, sebelum Reformasi, malam Lebaran saya pulang. Pakai sandal jepit, dan baju kumal turun dari kapal. Karena malam Lebaran, ibu saya beri uang pergi beli sepasang baju lebaran di Jodoh,” kenangnya.

Sapar mengaku tak tamat SMP.

Di awal dekade 1980-an, dia sempat diskors dan terancam dikeluarkan dari SMP Ibnu Sina, Baloi.
Alasannya, klise. Sapar "biang tengkar".

Dia pun bercerita soal wali kelasnya; Muslim Bidin.

Kala itu, Muslim jadi guru keterampilan mengetik. Sapar diberi tugas.

"Mesinnya dua kali sangkut. saya angkat telunjuk mesinnya rusak. Diperbaikinya. Baru dua ketik, rusak lagi. Saya unjuk jari lagi. Eh, malah saya dimarahi.. Pak Bidin tarik tangan saya ke bawah bangku, mesin saya lempar. Ada teman kelas yang bela guru, sekarang anggota DPRD Batam, saya tantang kelahi dari atas bangku.”

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved