BATAM TERKINI

Ayahnya Dituntut 6 Tahun Penjara, Ini Kata Putra Nurdin Basirun, 'Kami Menunggumu Pulang'

Putra Nurdin Basirun, Muhammad Nurhidayat hanya dapat berdoa agar tuntutan JPU terhadap ayahnya dapat diringankan. Ia ingin ayahnya segera pulang

Editor: Dewi Haryati
TRIBUNBATAM.ID/ISTIMEWA
Nurdin Basirun dan keluarga 

TRIBUNBATAM.id, BATAM - Gubernur Kepri non aktif, Nurdin Basirun dituntut enam tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menanggapi ini, keluarganya pun hanya dapat berdoa agar tuntutan terhadap Nurdin dapat diringankan. Seperti penuturan anak keduanya, Muhammad Nurhidayat kepada Tribun Batam, Jumat (3/4/2020).

"Kemarin sudah menyerahkan pledoi (nota pembelaan). Cuma sayangnya itu via video conference sehingga keluarga tak bisa ikut mendampingi," sesalnya.

Pria yang akrab disapa Dayat ini mengatakan, kondisi Nurdin Basirun sendiri dalam keadaan sehat. Sejak virus Corona mulai merebak di Indonesia, Dayat serta keluarga pun tak dapat menjenguk Nurdin seperti biasanya.

"Terakhir saat sidang tuntutan dua Minggu lalu. Saat itu, makanan untuk bapak (Nurdin) adiknya yang bawa," sambungnya.

Tujuh Calon Perwira di Kepri Berstatus ODP, Jalani 14 Hari Observasi di RS Bhayangkara Polda Kepri

Lagi Populer, Seberapa Akurat Rapid Test Covid-19? Ini Kata Kadinkes Batam

Sedangkan ibunya, Noorlizah, Dayat menyebut kondisinya saat ini dalam keadaan sehat.

Namun Noorlizah masih berada di Singapura. Ia tak dapat keluar akibat kewaspadaan Singapura terhadap penyebaran Covid-19.

Dayat berharap, ayahnya (Nurdin Basirun) dapat segera kembali berkumpul dengan keluarga.

Pantauan Tribun Batam di akun media sosial miliknya, Dayat pun memajang sebuah video yang memperlihatkan gambar Nurdin saat masih muda.

"We're all waiting for you to come back home Captain," tulisnya di akun itu.

Minta Dibebaskan

Melalui sidang online, tim kuasa hukum Gubernur (non-aktif) Kepri, Nurdin Basirun meminta majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat membebaskan kliennya.

Hal ini seperti disebutkan kuasa hukum Nurdin, Andi Asrun dalam pers rilis yang diterima Tribun Batam, Jumat (3/4/2020).

Sebagai kesimpulan pemeriksaan perkara yang dituduhkan kepada terdakwa, tim kuasa hukum berpendapat jika kesalahan terhadap Nurdin Basirun terlalu dipaksakan.

Alasannya tak lain adalah tidak terungkapnya kebenaran materiil terkait kesalahan terdakwa.

"Oleh karena itu, kami mohon kiranya asas hukum “in dubio pro reo” (yang berarti dalam keragu-raguan hakim haruslah membebaskan terdakwa) dapat dipertimbangkan untuk diterapkan," tegas Andi Asrun dalam rilis.

Katanya, asas hukum in dubio pro reo sangatlah penting dalam hukum pidana. Mengingat kebenaran yang dicari dan/atau dibuktikan dalam hukum pidana adalah “kebenaran yang bersifat materiil”.

Oleh sebab itu, tim penasehat hukum pun memohon agar majelis hakim dapat mempertimbangkan kembali beberapa fakta hukum yang mendasari permohonan perihal pembebasan terdakwa.

"Setidak-tidaknya dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum, atau dihukum seringan-ringannya," lanjutnya.

Nota pembelaan (pledoi) sendiri telah disampaikan kemarin, Kamis (2/4/2020).

Dihadiri oleh terdakwa, Nurdin Basirun, sidang sendiri dilaksanakan langsung dari Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Isi Pledoi

Setelah dituntut enam tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi, tim kuasa hukum Gubernur (non-aktif) Kepri, Nurdin Basirun tak tinggal diam.

Dalam nota pembelaan (pledoi), tim kuasa hukum Nurdin menyampaikan beberapa alasan agar kliennya ini dibebaskan dari segala tuntutan.

Berikut isi pledoi milik Nurdin Basirun yang dibacakan oleh kuasa hukum terdakwan, Andi Asrun dalam sidang lanjuran kasus suap terkait penerbitan izin prinsip pemanfaatan ruang laut di Tanjungpiayu, Kota Batam :

1. Bahwa Terdakwa sudah bersikap sangat kooperatif selama menghadapi permasalahan hukum ini dengan mengikuti semua proses penyidikan dan persidangan dengan baik, tanpa pernah mangkir sekalipun;

2. Bahwa Terdakwa tidak mengajukan upaya hukum praperadilan maupun mengajukan Nota Keberatan (eksepsi) terhadap surat dakwaan, sehingga sidang berjalan dengan lancar;

3. Bahwa Jaksa Penuntut Umum KPK telah salah memahami pengertian “Izin Prinsip,” terutama “Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut,” dengan merujuk ketentuan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2018 tentang Perubahan Gubernur Nomor 57 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Kepulauan Riau (selanjutnya disebut Peraturan Gubernur Kepri No. 31 Tahun 2018).

Bahwa Peraturan Gubernur Kepri No. 31 Tahun 2018 hanya menyebutkan “Izin Prinsip Penanaman Modal” (vide Lampiran Peraturan Gubernur Kepri No. 31 Tahun 2018) termasuk kewenangan Gubernur yang dilimpahkan kepada “PTSP”, bukan termasuk “Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut”, sehingga tidak benar dan tidak beralasan hukum Jaksa Penuntut Umum KPK mendakwa Terdakwa telah “menandatangani Izin Prinsi Pemanfataan Ruang Laut” sebagai perbuatan melawan hukum yang melampaui kewenangan Terdakwa Gubernur Kepri (Non-aktif).

Bahwa “Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut” bukan “Perijinan” sebagaimana dimaksudkan Peraturan Gubernur Kepri No. 31 Tahun 2018 karena secara teknis administrasi pemerintahan “penomeran surat untuk “Izin” diberikan oleh Biro Hukum, sementara penomeran “Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut” dikeluarkan oleh Biro Umum disebabkan merupakan satu surat biasa menjawab Permohonan Pemanfaatan Ruang Laut”.

4. Bahwa secara hukum tidak ada persesuaian kehendak (meeting of mind) antara Terdakwa dengan pelaku lain, antara lain Abu Bakar dan Kock Meng yang memberikan uang kepada Budi Hartono dan Edy Sofyan.

Perbuatan keempat orang (yang kesemuanya menjadi terdakwa dalam perkara ini) tidak ada pengetahuan apalagi persetujuan Terdakwa, dengan fakta hukum sebagai berikut:

- Bahwa dalam perkara ini penerimaan uang yang diduga diterima oleh Terdakwa (quod non) melalui Budi Hartono bersama dengan Edy Sofyan yaitu uang sebanyak Rp.45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah) nyatanya tidak pernah dinikmati oleh Terdakwa.

Uang ini tidak pernah sampai ke tangan Terdakwa, bahkan melalui uang inilah sebagian kecil persoalan sosial masyarakat di pulau-pulau dapat terbantukan (terlayani), bukan untuk Terdakwa;

- Bahwa tidak ada fakta yang meyakinkan menurut hukum akan adanya penerimaan SGD5.000 (lima ribu dollar Singapura) yang diberikan oleh Edy Sofyan kepada Terdakwa.

Hal penerimaan ini hanya didasarkan pada keterangan tunggal dari saksi Edy Sofyan tanpa didukung keterangan saksi lain ataupun bukti lain sebagaimana asas dan doktrin hukum pembuktian, satu saksi bukanlah saksi (unus testis nullus testis);

5. Tuntutan bahwa Terdakwa menerima Uang SGD6.000,- (enam ribu dollar Singapura) adalah menyesatkan.

Uang tersebut tidak pernah diberikan/diterima Terdakwa. Uang milik Kock Meng yang diberikan kepada Budi Hartono adalah uang untuk biaya ahli dan data/dokumen.

Tidak pernah ada rencana atau pun niat dari Budy Hartono dan Edy Sofyan untuk memberikannya kepada Terdakwa.

Ketiga Saksi, Kock Meng, Budi Hartono dan Eddy Sofyan tegas mengatakan itu uang untuk biaya ahli dan dokumen.

Oleh karena itu kami heran, fakta hukum persidangan yang mana yang masih dipakai oleh Sdr. Penuntut Umum sehingga masih menuntut Terdakwa menerima uang SGD6000 tersebut;

6. Sedangkan terkait dengan Tuntutan Pasal 12B tentang Gratifikasi, sepenuhnya juga harus ditolak.

Fakta persidangan dengan terang menunjukkan bahwa seluruh saksi yang dihadirkan di persidangan mengatakan seluruh uang tersebut untuk kegiatan sosial Gubernur selaku Pemerintah Propinsi Kepri bersama-sama dengan OPD.

Bukan untuk kepentingan pribadi Terdakwa.

Bagaimana mungkin kegiatan sosial-keagamaan dikualifikasi sebagai Tindak Pidana Gratifikasi, padahal kegiatan yang bertujuan demi kebaikan, amar ma’ruf wa fastabihul khoirot, dalam bentuk:

- Safari Subuh diakhiri makan Bersama,

- Safari Ramadhan,

- Open House Hari Raya Iedul Fitri,

- Bantuan pembangunan Gereja,

- Bantuan Anak Yatim dan Orang Miskin,

- Bantuan Pompa,

- Bantuan Tiket Tokoh Agama,

- Bantuan Konsumsi Klub Bola,

- Dan seterusnya

Jika kegiatan sosial-keagamaan untuk masyarakat langsung saja masih dikriminalisasi, apa jadinya hukum dan keadilan akan berpihak.

7. Bahwa sifat melawan hukum dalam perkara ini telah hilang karena telah memenuhi syarat hilangnya sifat melawan hukumnya.

Para OPD ikut memberikan bantuan sosial kepada masyarakat adalah bukan atas perintah atau himbauan maupun kehendak Terdakwa namun karena mereka melihat sikap sosial Terdakwa pada saat kunjungan kerja dengan memberikan bantuan untuk kepentingan sosial masyarakat, melalui pemberian langsung ataupun berupa sumbangan ke rumah-rumah ibadah, ini yang lantas menggerakan para OPD untuk memberikan uang pribadinya guna ikut membantu Terdakwa melakukan aksi sosial yang mereka anggap sebagai amal.

Dengan demikian sifat melawan hukum dari perbuatan Terdakwa menjadi hilang, karena:

a. Terdakwa tidak menikmati uang yang didakwakan kepadanya

b. Negara tidak dirugikan; dan

c. Kepentingan masyarakat terlayani;

8. Bahwa Terdakwa tidak menikmati uang pemberian dari para OPD dan uang tersebut tidak dipergunakan untuk memperkaya diri sendiri.

Terdakwa tidak pernah menggunakan uang negara (APBD) dalam setiap kegiatan sosial yang dilakukan kecuali yang memang menjadi haknya.

Adanya penerimaan terdakwa dari para pengusaha dan OPD (quod non) hanya didasarkan pada Testemonium De Auditu yaitu keterangan Hendri Kurniadi yang mendengar cerita dari ajudan Terdakwa. Sementara 2 (Dua) orang ajudan yang bernama Chandra Dan Muh. Yakub tidak pernah diperiksa sebagai saksi dalam perkara ini;

9. Sebagaimana telah diuraikan dalam Bab Analisis Yurdis sebelumnya, berlakunya sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif, merupakan alasan peniadaan pidana di luar Undang-Undang dan termasuk alasan pembenar.

Dalam praktek peradilan di Indonesia, banyak sekali putusan Mahkamah Agung yang memberlakukan/menerapkan sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif, contohnya antara lain:

- Putusan Mahkamah Agung No. 42K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966. Bunyi pertimbangan hukum MA sebagai berikut:

“Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan sesuatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan azas-azas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum sebagaimana misalnya 3 faktor:

yakni: (1) Negara tidak dirugikan ;

(2) kepentingan umum dilayani ;

(3) tertuduh tidak dapat untung”, serta putusan dibawah ini;
- Putusan Mahkamah Agung No. 72K/Kr/1970: tanggal 27 Mei 1972;
- Putusan Mahkamah Agung No. 97K/Kr/1973 :17 Oktober 1974;
- Putusan Mahkamah Agung No. 81K/Kr/1973: 16 Desember 1976.

10. Bahwa salah satu permintaan Jaksa Penuntut Umum kepada Majelis Hakim adalah menghukum Terdakwa dengan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik yaitu hak untuk di pilih dalam jabatan public selama 5 (lima) tahun dihitung sejak Terdakwa selesai menjalani pidana;

Bahwa Sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 56/PUU-XVII/2019 tanggal 11 Desember 2019 yang pada pokoknya menyatakan bahwa bagi bekas narapidana kecuali residivis hanya dapat mengikuti kontestasi Pemilihan Umum 5 (lima) tahun setelah yang bersangkutan selesai menjalani pidana dengan syarat yang bersangkutan harus mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.;

Dengan demikian tuntutan hukuman tambahan untuk mencabut hak untuk di pilih dalam jabatan public selama 5 (lima) tahun setelah selesai menjalani pidana SUDAH TIDAK RELEVAN LAGI DAN TIDAK BERALASAN HUKUM KARENANYA HARUSLAH DITOLAK ATUA SETIDAK-TIDAKNYA DIKESAMPINGKAN;

11. Dan yang terakhir, perampasan harta pribadi Terdakwa haruslah ditolak.
Sdr. Penuntut Umum sama sekali tidak menguraikan perbuatan pidana apa yang telah dilakukan TERDAKWA, perbuatan kapan, perbuatan dimana dan perbuatan dalam kaitan apa dengan harta (khususnya uang tunai Terdakwa), tiba-tiba memaksakan diri menuntut agar harta peribadi yang diperoleh secara sah, diminta untuk dirampas untuk negara.

Ini adalah bentuk kedzaliman!

Jaksa Penuntut Umum seharusnya tidak memaksakan diri agar uang milik pribadi Terdakwa yang ditemukan saat penggeledahan dirampas untuk negara. Uang tersebut benar-benar milik pribadi Terdakwa yang diterima secara SAH. Uang tersebut bukan hasil dari kejahatan/korupsi. Seharusnya Penuntut Umum sudah meyakini bahwa profile kekayaan Terdakwa adalah wajar dan bahkan sangat wajar.

Dalam persidangan TERDAKWA dengan jujur menyatakan bahwa kekayaan TERDAKWA terkumpul karena Terdakwa terbiasa hidup hemat dan wajar dan tidak memiliki hobi yang berbiaya mahal seperti main dalam klub golf, tidak mengkoleksi motor besar, tidak punya mobil mewah, tidak punya rumah mewah, atau mengkoleksi barang-barang antik dengan harga yang fantastis. Satu-satunya hobi TERDAKWA adalah olah raga Taekwondo dan Jogging yang berbiaya murah serta bersedekah.

Selanjutnya sebagaimana Fakta Persidangan, bahwa Terdakwa adalah seorang pengusaha kapal sebelum terjun dalam jabatan publik, dengan rincian:

a. Pengusaha Kapal dan Ketua Asosiasi Pengusaha.

b. Bupati Karimun selama 10 tahun dengan penghasilan lebih dari Rp.10 milyar.

c. Gubernur selama 4 tahun dengan total penghasilan sebesar Rp.8,3 Milyar.

Keseluruhan pendapatan, baik selama menjabat sebagai Bupati Karimun selama 10 tahun ditambah dengan pendapatan selama menjadi Gubernur Kepri, minimal sebesar Rp18,3 miliar dan belum ditambah lagi dengan kekayaan Terdakwa selama puluhan tahun menjadi Pengusaha Kapal, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa profil kekayaan Terdakwa sangat sepadan. Terdakwa hanya memiliki 2 rekening yang berisi kurang lebih hanya Rp 2 milyar, dan tidak memiliki asset, baik bergerak maupun tidak bergerak yang nilai diatas penghasilan resmi tersebut.
Oleh karena itu, tuntutan agar uang tunai yang ditemukan di rumah Terdakwa dirampas untuk negara, haruslah ditolak!

PERMOHONAN

Bahwa berdasarkan fakta persidangan, analisis fakta, analisis yuridis, dan kesimpulan di atas kami Penasehat Hukum Terdakwa mohon kepada Majelis Hakim Yang Mulia memutuskan sebagai berikut :

1. Menyatakan Terdakwa NURDIN BASIRUN tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana Dakwaan KESATU Pertama dan Dakwaan KEDUA;

2. Membebaskan Terdakwa dari dakwaan KESATU Pertama dan KEDUA (vrijspraak van Gewijsde), atau setidak-tidaknya melepaskan Terdakwa dari seluruh Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (ontslag van alle rechtsvervolging);

3. Membebaskan Terdakwa Nurdin Basirun dari Rumah Tahanan KPK, segera setelah putusan ini di bacakan. (Tribunbatam.id/ichwannurfadillah)

Sumber: Tribun Batam
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved