VIRUS CORONA DI CHINA

China Lakukan Uji Klinis, Xi Jinping Ungkap Vaksin Covid-19 Akan Jadi Barang Publik Global

China menyebutkan akan menjadikan vaksin Covid-19 nantinya sebagai barang publik global jika sudah ditemukan. Pihaknya sedang melakukan uji klinis.

National Microbiology Data Centre via SCMP / SCMP Winson Wong
ILUSTRASI - Komisi Kesehatan Nasional China (NHC) menambahkan gejala baru virus corona dalam pedoman yang dirilis Rabu (5/2/2020). 

TRIBUNBATAM.id, BEIJING - Wabah virus Corona atau Covid-19 membuat sejumlah negara berlomba-lomba menciptakan vaksinnya.

Sebut saja negara yang pertama kali melaporkan kasus Covid-19, China.

China menyebutkan akan menjadikan vaksin Covid-19 nantinya sebagai barang publik global jika sudah ditemukan.

Pernyataan itu diutarakan oleh Presiden China Xi Jinping di Majelis Kesehatan Dunia ( WHA), Senin (18/5/2020).

Dilansir dari AFP, China sedang melakukan uji klinis untuk 5 calon vaksin Covid-19 di saat negara-negara lain juga berlomba untuk menemukan cara menghentikan patogen yang telah menewaskan lebih dari 315.000 jiwa di seluruh dunia ini.

Dalam pidatonya Xi berujar, "Setelah penelitian dan pengembangan vaksin virus Corona di China selesai dan mulai digunakan, itu akan menjadi barang publik global."

62 Negara Termasuk Indonesia Dikecam China Karena Dukung Penyelidikan Covid-19

Xi melanjutkan, langkah ini akan menjadi kontribusi China dalam mencapai aksesibilitas dan keterjangkauan vaksin corona di negara-negara berkembang juga.

Wakil Direktur Komisi Kesehatan Nasional China Zeng Yixin pekan lalu berkata, ada banyak calon vaksin virus Corona yang sedang menunggu persetujuan untuk uji coba manusia.

Para ahli mengatakan, setidaknya perlu 12-18 bulan untuk mengembangkan vaksin yang efektif, bisa juga dengan periode yang lebih lama.

Xi lalu menambahkan dalam pertemuan virtual tersebut bahwa China akan memberikan bantuan Covid-19 global sebanyak 2 miliar dollar AS (Rp 29,65 triliun) selama dua tahun.

Peracikan vaksin dibayangi pengalaman buruk

Dari 8 uji klinis vaksin Covid-19, 5 di antaranya dilakukan di China.

Namun peracikan vaksin virus Corona oleh China ini dibayangi pengalaman buruk.

Dua tahun lalu, sebuah skandal besar terjadi ketika lebih dari 200.000 anak-anak mendapatkan vaksin diphtheria, tetanus, dan batuk yang tidak efektif.

Perusahaan yang sama Changchun Changsheng juga mendapat hukuman karena memalsukan produksi dan catatan pemeriksaan berkenaan dengan vaksin rabies.

Salah satu perusahaan yang sekarang terlibat dalam uji klinis Covid-19, Wuhan Institute of Biological Products, juga pernah dihukum karena kesalahan prosedur dalam membuat vaksin DPT di tahun 2016.

Namun masalah yang dihadapi ilmuwan China sekarang adalah bahwa mereka yang tertular Covid-19 semakin berkurang, sehingga berpengaruh pada uji klinis tahap ketiga.

Dengan semakin sedikitnya infeksi baru, pengembangan vaksin jadi semakin susah.

China Akui Hancurkan Sampel Covid-19 Saat Awal Wabah, Apa Tujuannya?

 Fakta mengejutkan soal virus Corona atau Covid-19 kali ini diungkap oleh China.

Pada awal kemunculan Covid-19, China mengakui jika pihaknya telah menghancurkan beberapa sampel virus Corona tersebut.

Namun, China dengan keras membantah tuduhan Amerika Serikat (AS) yang mengartikan semua ini sebagai tindakan untuk menutup-nutupi.

Pernyataan ini diucapkan oleh Liu Dengfeng seorang pengawas di divisi sains dan pendidikan Komisi Kesehatan Nasional China, dalam konferensi pers pada Jumat (15/5/2020) di Beijing.

Ia mengatakan, pemerintah China telah mengeluarkan perintah pada 3 Januari untuk membuang sampel virus Corona jenis baru di fasilitas tertentu yang tidak memenuhi persyaratan.

Sebab, penyakit ini menular dan sampelnya dibuang untuk "mencegah risiko terhadap keamanan biologis laboratorium, dan mencegah bencana sekunder yang disebabkan oleh patogen tak dikenal".

Keputusan itu dilakukan setelah virus Corona jenis baru yang dikenal dengan nama resmi SARS-CoV-2, digolongan sebagai Kelas II berdasarkan penelitian dan rekomendasi para ahli, kata Liu dikutip dari Newsweek Jumat (15/5/2020).

Hal ini mengharuskan "persyaratan yang jelas tentang pengumpulan, transportasi, penggunaan eksperimen, dan penghancuran patogen" untuk menghindari kemungkinan kecelakaan atau kebocoran, ungkapnya.

Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo sejak bulan lalu berpendapat bahwa perintah pada 3 Januari itu adalah upaya untuk menutupi tingkat penyebarannya.

Ia menuduh China menyensor penelitian mengenai Covid-19, dan berusaha memengaruhi upaya internasional untuk menangani penyakit itu.

"Partai Komunis China berusaha membatasi informasi tentang virus ini, tentang dari mana virus itu muncul, bagaimana mulainya, bagaimana menular antarmanusia, tentu saja melibatkan WHO untuk memperdalam alur cerita itu," ujar Pompeo.

Liu kemudian membela China, dengan mengatakan bahwa UU kesehatan masyarakat China dengan jelas menetapkan bahwa lembaga yang tidak memenuhi persyaratan untuk menangani sampel semacam itu, harus memberikannya ke tempat penyimpanan yang memenuhi syarat untuk disimpan atau dihancurkan.

"Pernyataan yang disebar oleh para pejabat AS ini murni di luar konteks dan sengaja membingungkan banyak orang," kata Liu pada konferensi pers Jumat.

Badan Intelijen Pertahanan merevisi penilaiannya mengenai asal-usul pandemi virus Corona pada 27 Maret, dengan memasukkan kemungkinan bahwa hal itu bisa dimulai dari kecelakaan lab di Institut Virologi Wuhan, di samping teori awal yang berkembang bahwa virus bermula dari hewan.

Mengutip laporan Badan Intelijen Pusat yang dikonfirmasi dua pejabat senior AS, Newsweek juga melaporkan bahwa Komunitas Intelijen percaya Beijing turut menekan WHO untuk meremehkan penyakit itu pada Januari.

WHO memuji upaya penanganan virus Corona China saat itu, seperti yang sempat dilakukan Donald Trump juga.

Tetapi ketika virus Corona menyebar ke seluruh dunia, situasi ini langsung menjadi arena konflik baru antara Washington dengan Beijing.

Negeri "Uncle Sam" menjadi negara dengan dampak Covid-19 terparah saat ini.

Trump dan pemerintahannya lalu melimpahkan kesalahan ke China yang dituding gagal membendung penyebaran virus di awal wabah.

China Bekukan Impor Daging dari Australia, Akibat Minta Asal Usul Covid-19 Diselidiki?

Australia merupakan salah satu negara yang ikut menyerukan penyelidikan asal usul virus Corona atau Covid-19 di China.

Menanggapi hal ini, China sebelumnya sudah memperingatkan Australia untuk tidak mendesaknya.

Bahkan China mengancam bakal melakukan boikot Australia jika ini masih terjadi.

Terbaru, China dilaporkan membekukan impor daging dari empat perusahaan penyedia utama Australia pada Selasa (12/5/2020).

Langkah itu terjadi beberapa pekan setelah duta besarnya mengancam bakal melakukan boikot karena Canberra menyerukan agar asal usul virus Corona diselidiki.

Analis menerangkan, keputusan ini bisa berakibat kerenggangan antara Australia dengan mitra perdagangan paling penting mereka.

Ketegangan itu bisa berdampak ke lini lain, di tengah perjuangan Negeri "Kanguru" mengangkat ekonominya di tengah pandemi.

Menteri Perdagangan Simon Birmingham berujar, dia menerima informasi bahwa pengiriman daging dari empat perusahaan ditangguhkan.

Sebabnya adalah "pelanggaran teknis minor", berkaitan dengan persyaratan sertifikat pelabelan dari otoritas kesehatan China.

"Kami mengkhawatirkan jika penangguhan ini terjadi karena isu teknis cukup besar, yang dalam beberapa kasus terjadi selama setahun," ucapnya.

Birmingham mengatakan, dia akan segera berkoordinasi dengan pelaku industri dua negara dan mencari solusi agar kegiatan perdagangan bisa berjalan normal.

Empat perusahaan jagal hewan itu menyumbang 35 persen ekspor daging Australia ke Negeri "Panda", dilaporkan AFP Selasa (12/5/2020).

Berdasarkan laporan ABC, perdagangan untuk produk hewani itu bernilai sekitar 1,1 miliar dollar AS, atau sekitar Rp 16,3 triliun.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, menyatakan bahwa penangguhan itu terjadi karena adanya pelanggaran dan persyaratan inspeksi dan karantina.

Namun, Zhao kemudian mengecam permintaan Canberra agar asal usul virus Corona diselidiki, menyebutnya "ucapan dan perbuatan yang salah".

Zhao kemudian memperingatkan pemerintahan Perdana Menteri Scott Morrison berhati-hati tak menggunakan wabah ini untuk kepentingan politik.

Dia kemudian berkilah dan membantah ketika awak media menanyakan apakah pembekuan impor daging dengan permintaan investigasi itu ada hubungannya.

Beijing juga disebut mempertimbangkan untuk menerapkan tarif baru atas perdagngan jelai, demikian pemberitaan Australian Financial Review.

Mengutip dokumen rahasia, Canberra dituding membuang gandum ke China, dengan menjualnya lebih murah dari harga produksi, di mana Beijing mempertimbangkan perubahan 73,6 persen.

Tensi kedua negara muncul setelah Negeri "Kanguru" mendesak agar dilakukan penyelidikan secara independen mengenai asal usul Covid-19.

Seruan itu kemudian ditanggapi oleh Duta Besar China, Cheng Jongye, dengan melontarkan ancaman saat diwawancarai Australian Financial Review.

"Publik China begitu terpukul, tersinggung, dan kecewa dengan apa yang saat ini diperbuat oleh Australia," kecam Cheng.

Dia mengancam, negaranya akan melakukan boikot tak hanya terhadap perdagangan, tapi juga sektor pariwisata yang jadi salah satu andalan Australia.

"Terserah rakyat kami. Bisa saja mereka berpikir 'untuk apa kami meminum wine Australia? Makan daging Australia'," ancam Cheng.

Zhao kemudian membela ucapan duta besarnya itu. "Apa yang salah dari komentarnya?"

(*)

100 Negara Teken Resolusi Majelis Kesehatan Dunia, Tuntut Penyelidikan Independen Covid-19 di China

Awalnya Sempat Bungkam, Penasihat Medis China Klaim Wuhan Tak Jujur Soal Covid-19

Temukan Kluster Baru Penyebaran virus Corona, Pemerintah China Lockdown 1.205 Desa di Provinsi Jilin

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "China Bersumpah Vaksin Corona Akan Jadi Barang Publik Global".

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved