HIKMAH RAMADHAN

Ramadhan dan Introspeksi Diri 

Puasa Ramadhan bisa menjadi saatnya melakukan instropeksi diri apakah puasa kita memang penuh keimanan atau hanya sekedar tradisi.

ISTIMEWA
Effendy Asmawi Alhajj 

“Adakanlah introspeksi diri, sebelum kamu diintrospeksi oleh orang lain”…(Umar Ibnul Khattab).

TRIBUNBATAM.id, BATAM - Begitu banyaknya hikmah puasa di bulan Ramadhan, sehingga Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lewat cerita Ibnu Abbas, bersabda.

“Kalau saja umatku tahu kandungan bulan Ramadhan, tentu mereka akan mengharap bulan itu berlangsung satu tahun penuh.” 

Namun sayangnya, masih banyak kesenjangan antara hikmah yang diketahui dan kenyataan yang kita lihat.

Sebagai misal, masih banyak terlihat orang berpuasa yang kesehatannya justru semakin melemah.

Produktivitasnya menurun, etos kerjanya rusak dan jiwa sosialnya semakin tidak peka. 

Realitas itu sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. 

Sebab sejak awal Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah mengingatkan:

“Betapa banyak orang yang berpuasa tapi tak mendapat sedikitpun hikmah dari puasanya kecuali lapar dan haus. Dan betapa banyak orang yang shalat di malam hari tapi tak mendapat apapun kecuali hanya sekadar bangun malam” (HR ad-Darami). 

Karena itu, kini sudah waktunya kita melakukan introspeksi untuk mencari sebab kegagalan puasa kita.

Kalau ketika berpuasa, hati semakin mati, tak mampu melihat penderitaan saudara-saudara kita, sehingga solidaritas menurun, barangkali karena puasa kita tidak didasarkan pada perenungan dasar yang optimistic (ihtisaban) terhadap janji Allah. 

Atau mungkin kita berpuasa sekadar mengikuti tradisi. 

Kalau benar demikian, maka kita tidak termasuk orang berpuasa atas dasar “imanan”, penuh keyakinan dan kepercayaan kepada  Allah. 

Atau mungkin kita berasumsi, bahwa puasa kita akan sah hanya bila mampu menahan diri dari makan, minum, dan hubungan dengan suami istri.

Padahal kita juga perlu menahan diri untuk tidak berkata dan berbuat dusta, maka Allah tak berkepentingan sama sekali terhadap makan dan minum yang ditinggalkan.”(Bukhari, Abu Daud, & Turmudzi). 

Kalau lantaran puasa, kesehatan kita semakin menurun, barangkali karena kita belum menahan diri dari cara makan yang benar.

Atau makanan dan minuman tidak termasuk “thayyiban”, baik halal dalam cara memperolehnya maupun halal menurut jenisnya. (Ibnu Majah & al-Hakim). 

Kalau dengan puasa rohani tak terasa, barangkali karena kita belum mengamalkan amalan-amalan yang sangat dianjurkan dalam bulan Ramadhan, antara lain ibadah mahdhah-shalat malam, tadarrus, istighfar, dzikir, baca shalawat dll.

Atau berupa ibadah social, seperti banyak membantu fakir-miskin, suka berinfak dan bersedekah. Atau ibadah pengembangan diri, suka bertadabbur, berpikir, belajar dan senang terhadap majelis taklim dan lain sejenisnya. Kalau semuanya sudah dikerjakan, selanjutnya kita serahkan kepada Allah Ta'ala. Wallahu a’lam. 

Ramadhan Menjauhkan Kita dari Permusuhan 

“Hai orang-orang yang beriman, hindarilah prasangka karena sebahagian prasangka itu dosa, janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan jangan pula sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Pasti kamu akan jijik, bertawakalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah itu Maha Penerima  taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. 44:12). 

Agenda social Ramadhan menuntut segala kemampuan moral dan intelektual yang tinggi dalam kehidupan kita dewasa ini adalah menyelenggarakan hubungan social yang harmonis dan terhindar dari permusuhan. 

Apalagi dalam suasana Ramadhan ini,  kita perlu membina dan menempa iman kita dalam mewujudkan aplikasi takwa kita kepada-Nya. 

Ada tiga yang perlu kita perhatikan yaitu: 

Pertama, su-udzdzan (buruk sangka) yaitu suatu sifat yang senang menghembuskan angin-angin prasangka kepada orang lain dengan penilaian tertentu yang cenderung kepada negative/buruk.

Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengingatkan, “Hindarilah prasangka karena prasangka itu berita-berita yang paling dusta.”(HR. Bukhari Muslim). 

Dan bahkan dari itu akan melahirkan sikap aniaya (egois) yang berakibat bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk khalayak dan merugikan semua atau dalam bahasa lain “kekurangan kerjaan”.

Maka kalau sudah demikian akan melahirkan sikap yang kedua yaitu “tajassus” (mendiskreditkan orang lain).  

Sifat ini tidak lagi sekedar prasangka melainkan telah bersifat mencari-cari cacat orang lain dan kelemahan orang lain, mencoba membuka aib orang lain atau dalam bahasa lain membentang benang merah tapi juga ikut mementalnya, hingga kusut tak tentu arah. 

Apabila sudah demikian akan melahirkan penyakit yang ketiga yaitu “ghibah” (menggunjing). 

Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjelaskan tentang “ghibah” itu sebagai  penggunjingan yang membuat orang lain terganggu. (HR Muslim).

Jadi bentuk ghibah ini tidak sekedar prasangka (su-udzdzan) dan mencari-cari kesalahan (tajassus) melainkan telah membuka siaran baru dengan frekuensi gelombang hasut yang penuh dengan kebencian, sehingga Allah mengumpamakan tukang “ghibah” sebagai seorang kanibalis yang memakan daging saudaranya yang telah mati (QS. 49:12). 

Oleh sebab itu Ramadhan datang, memberikan refresing mental terhadap sifat dan sikap negative yang membuahkan permusuhan, hindari sesuatu yang tidak baik apalagi dosa, demikian sapaan Ramadhan kepada kita semua. 

Ia ingin menanamkan nilai-nilai “muakh-khah”/ persaudaraan sebagai refleksi dari keimanan kita. 

Ayo kita bangun paradigma baru kehidupan, dengan bersungguh-sungguh melaksanakan seluruh amaliah Ramadhan, hindari permusuhan dan persengketaan di antara kita, dengan konsep Rasul Saw”Inni sha-Im” (saya sedang puasa, bung)!

Dengan demikian insya Allah akan tercipta diantara kita rasa aman, kondusif dan menyenangkan diantara kita, semoga! Wallahu a’lam. 

Ujian Kesabaran 

“Hai orang yang beriman, bersabarlah kamu. Kuatkan kesabaranmu itu dan tetaplah siaga serta bertawakkalah kepada Allah supaya kamu beruntung”.. (QS. 3:200). 

Ramadhan datang lagi, mengajak kita untuk bersama-sama mencari nilai-nilai takwa, sebagai manifestasi cinta Ilahi kepada hambanya.

Sebagai ujian, renungan sekaligus cabaran terhadap kita yang mengaku beriman kepada-Nya. 

Sindiran ayat tersebut di atas melahirkan semangat baru dalam menghadapi berbagai krisis kehidupan dalam bahasa lain “multi krisis” dan ini pernah dialami oleh Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam beserta para sahabatnya yang pernah did era terror orang-orang kafir Quraisy. 

Maka untuk melatih itu semua, Ramadhan memberikan kurikulum dengan muatan lokalnya yang spesifik yakni puasa dengan kunci utamanya “harus bersabar”. 

Sabar itu sendiri mempunyai tiga dimensi. Pertama, sabar menghadapi musibah. 

Pada hakikatnya setiap manusia lebih-lebih lagi mereka yang mengaku beriman kepada Allah pasti diuji yang salah satu tujuan ujian itu adalah untuk menentukan kadar dan kualitas keimanannya. (QS. 29: 2). 

Ujian tersebut ada kalanya berupa kenikmatan, misalnya harta yang berlimpah, wajah cantik, dan pangkat dan ada kalanya juga ujian itu berupa musibah (QS. 21: 35) misalnya ketakutan, kelaparan, kekurangan pangan (paceklik), berkurangnya harta. 

Bagi orang yang sabar musibah bukanlah akhir dari segalanya. 

Ujian itu justru akan membuat ia semakin tegar dalam menghadapi dan mengarungi kehidupan yang semakin berat. 

Orang yang sabar juga cenderung tidak menyalahkan orang lain, apalagi melakukan tindakan destruktid yang justru makin memperparah keadaan.

Sebaliknya justru merupakan media untuk melakukan instrospeksi diri, meneliti dan mengkaji berbagai kekurangan, kelemahan dan kesalahan untuk selanjutnya melakukan perbaikan (reformasi).  

Dimensi kedua, sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah. 

Sikap orang dalam menyikapi perintah Allah bermacam-macam. Ada yang menggapainya sebagai “kebutuhan”. 

Taat kepada Allah bagi orang tertentu dianggap memberatkan akan tetapi bagi orang lain justru menyenangkan.

Untuk golongan terakhir ini,  mereka menilai pada hakikatnya setiap perintah Allah akan selalu berdampak positif bagi dirinya, baik untuk kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. 

Misalnya shalat yang merupakan media komunikasi antara seorang hamba dan

Tuhannya akan mampu mendatangkan keterangan dan ketentraman jiwa. (QS. 13:28). 

Padahal ketenangan dan ketentraman jiwa merupakan kebutuhan setiap manusia. 

Dengan demikian, maka shalat sesungguhnya  merupakan kebutuhan manusia dan demikian juga puasa. 

Ketiga, sabar dalam menjauhkan diri dari perbuatan maksiat. 

Pelanggaran (maksiat) kepada Allah pada hakikatnya adalah bentuk penganiayaan kepada diri sendiri, karena apa yang dilarang oleh Allah pada hakikatnya adalah mendatangkan medharat (bahaya) seperti narkoba, korupsi dan sejenisnya.  

Di saat keadaan seperti sekarang, khususnya di bulan Ramadhan ini kesabaran untuk tidak melakukan maksiat adalah suatu kemuliaan berharga.

Kata orang bijak, “kepuasan sejati bukanlah menuruti kehendak hawa nafsu tanpa batas, tapi kepuasan sejati adalah keberhasilan menahan diri untuk tak mengikuti hawa nafsu.” 

Inilah salah satu hikmah kedatangan bulan Ramadhan ini, ayo mari kita berpuasa dengan baik dan benar sesuai dengan aturan dan tuntutan al-Kaliqul ‘Alam agar kita dapat menikmati suatu kehidupan yang kita idam-idamkan, semoga! Wallahu a’lam. (*)

Sumber: Tribun Batam
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved