Klaster Baru Covid-19 Bermunculan, China Stop Impor Ayam dari AS dan Tutup Pabrik Pepsi
China menutup pabrik Pepsi dan menghentikan impor ayam dari Amerika Serikat (AS). Sebagai serangkaian aksi untuk memutus rantai penyebaran Covid-19.
TRIBUNBATAM.id, BEIJING - China menjadi sorotan usai kembali melaporkan penemuan klaster baru penyebaran virus Corona atau Covid-19.
Hal ini membuat pemerintah mengambil serangkaian aksi untuk memutus rantai penyebarannya.
Terbaru, China menutup pabrik Pepsi dan menghentikan impor ayam dari Amerika Serikat (AS).
Keputusan itu disampaikan pada Minggu (21/6/2020), di tengah seruan pemerintah untuk menekan produksi dan distribusi makanan akibat munculnya klaster-klaster baru Covid-19 di ibu kota, Beijing.
Para pejabat Kementerian Kesehatan China melaporkan adanya 22 kasus baru corona di Beijing, usai menguji lebih dari 2 juta penduduknya.
Pengujian massal ini dilakukan untuk mencegah gelombang baru wabah Covid-19, yang terkait dengan pasar grosir di Beijing.
• Jadi Pemicu Perang China vs India, Inilah Jembatan Bailey Rampung 72 Jam Usai 20 Tentara India Tewas
Administrasi Umum Kepabeanan China mengatakan, impor ayam beku dari Tyson Foods telah dihentikan sementara, setelah virus Corona ditemukan di salah satu fasilitas produksinya.
Badan tersebut melanjutkan, produk dari Tyson Foods yang telah tiba di China akan ditarik.
Kemudian produsen minuman bersoda ternama, Pepsi, juga diperintahkan untuk menutup salah satu pabriknya di Beijing, setelah beberapa karyawannya positif corona.
Keterangan itu disampaikan juru bicara perusahaan, Fan Zhimin, dikutip dari AFP Minggu (21/6/2020).
Ia menambahkan, 87 orang yang berkontak dengan pasien positif corona telah dilacak dan dikarantina.
Sejauh ini ada lebih dari 220 orang yang positif virus Corona di klaster baru Beijing, yang setelah ditelusuri ternyata bersumber dari talenan untuk memotong salmon impor di pasar Xinfadi.
Pasar itu memasok lebih dari 70 persen produk makanan segar ke Beijing, dan telah ditutup.
Pada Jumat (19/6/2020) pemerintah menyarankan warga untuk membuang seafood beku dan produk-produk kacang yang dibeli di sana.
Pemerintah pada Jumat juga menyerukan upaya nasional untuk memeriksa semua produk makanan segar yang berasal dari "negara-negara berisiko tinggi", menyusul munculnya klaster baru virus Corona di pabrik-pabrik Jerman dan AS.
Para pegawai di restoran, pasar swalayan, pasar tradisional, dan kurir pengiriman makanan akan dites Covid-19 oleh pemerintah, kata Gao Xiaojun dari Komisi Kesehatan Beijing.
Satu juta tes corona
Gao melanjutkan, pemerintah sedang melakukan tes corona yang terbagi ke dalam kloter-kloter, sehingga mereka bisa melakukan hingga 1 juta tes per hari.
Kasus baru ditemukan pada Minggu (21/6/2020) yaitu seorang perawat.
Ia merupakan petugas medis pertama yang positif Covid-19 sejak kemunculan lagi virus itu di Beijing lebih dari seminggu yang lalu.
Kepala ahli epidemiologi di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China pada Jumat (19/6/2020) menerangkan ke media, bahwa wabah baru telah dikendalikan tetapi kasus baru masih akan muncul di Beijing.
Wabah ini juga telah menyebar ke Tongzhou, lokasi kantor-kantor pemerintah China.
Keterangan itu disampaikan pejabat Kemenkes China pada Minggu.
Sebagian besar kasus baru di China akhir-akhir ini hingga klaster baru Beijing, dibawa oleh warga negara China yang kembali dari luar negeri.
Akibat Perang Dagang, Peringkat Daya Saing Amerika Serikat dan China Merosot, Singapura Naik
Konflik yang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan China membawa berbagai dampak untuk keduanya.
Salah satunya untuk urusan ekonomi yang diketahui membuat Amerika Serikat dan China kurang kompetitif.
Tentunya sebagai akibat dari perang dagang dari kedua negara tersebut.
Hingga saat ini pun belum tampak adanya resolusi jangka pendek di antara kedua negara.
Dilansir dari BBC, Kamis (18/6/2020), baik China dan AS mengalami penurunan peringkat daya saing dalam daftar World Competitiveness Rankings untuk tahun ini.
Adapun beberapa negara, termasuk Singapura, Denmark, dan Swiss mengalami kenaikan daya saing.
Survei yang dilakukan Institute for Management Development (IMD) menyatakan, penanganan pandemi virus Corona yang dilakukan ketiga negara membantu memperkuat posisi daya saing mereka.
Peringkat daya saing AS merosot 7 peringkat ke peringkat 10.
Sementara itu, peringkat daya saing China anjlok 6 poin menjadi peringkat 20.
Kedua negara raksasa ekonomi tersebut terlibat dalam perang dagang sejak tahun 2018, termasuk perang tarif impor atas banyak negara.
Perang dagang telah meningkatkan ketidakpastian untuk aktivitas bisnis, faktor yang memberatkan daya saing kedua negara.
"Perang dagang telah menghancurkan ekonomi AS dan China, membalik lajut pertumbuhan positif kedua negara," ujar IMD dalam laporannya.
Singapura menjadi negara berdaya saing tertinggi di dunia untuk dua tahun berturut-turut, diikuti oleh Denmark dan Swiss. Adapun Belanda dan Hong Kong masing-masing berada pada peringkat empat dan lima.
Pemeringkatan IMD disusun dengan melakukan asesmen terhadap 63 negara atas ratusan faktor, termasuk serapan tenaga kerja, biaya hidup, dan belanja pemerintah.
IMD juga menyertakan survei eksekutif terkait topik-topik seperti stabilitas politik dan perlindungan hak kekayaan intelektual.
Negara-negara Asia Pasifik secara umum melemah daya saingnya.
Jepang, misalnya, menurun 4 poin ke peringkat 34 dan India tetap di peringkat 43.
Adapun daya saing Indonesia menempati peringkat 40 dari 63 negara, menurun dari peringkat 32 pada tahun 2019.
Hadirkan Investor Asing, Begini Cara China Melawan Blacklist Ekonomi Oleh Donald Trump
Ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan China berdampak kepada beberapa sektor perekonomian.
Donald Trump sebelumnya melakukan blacklist terhadap beberapa perusahaan China.
Namun China punya caranya sendiri untuk melawan semua itu.
Kedua negara saling berjibaku membuat langkah ekonomi ditengah hubungan bilateral yang semakin memburuk dengan variabel lain seperti virus Corona hingga persoalan Hong Kong.
Namun, belakangan ini China justru menyambut dengan terbuka bagi kehadiran investor asing di pasar keuangannya, termasuk dari Amerika Serikat.
China mengambil langkah konkret selama akhir pekan ini untuk membuka pasar keuangannya yang bernilai US$ 45 triliun bagi investor asing.
Melansir berita People's Daily, bank sentral China baru-baru ini mengeluarkan lisensi kepada perusahaan kartu kredit asal AS, American Express, untuk beroperasi di China.
Ini merupakan perusahaan kartu kredit asing pertama yang mendapatkan lisensi di negeri tirai bambu tersebut.
Langkah terbaru dari pihak China, yang mengikuti serangkaian langkah-langkah pembukaan baru-baru ini, justru dilakukan pada saat Amerika Serikat dengan Donald Trump-mya secara aktif menindak perusahaan-perusahaan China dan berusaha untuk menutup pintu ke pasar keuangan AS untuk investor China.
Para pejabat dan pakar menyebut, ini merupakan upaya AS untuk menahan laju pertumbuhan ekonomi China, saat hubungan bilateral berada pada titik terendah dalam beberapa dekade.
Mengutip People's Daily, pendekatan berbeda yang diambil oleh dua ekonomi terbesar di dunia itu juga merangkum tren pergeseran struktur kekuatan ekonomi global yang didorong oleh meningkatnya ketegangan dan krisis kesehatan masyarakat.
Analis China menilai, saat AS masih berjibaku untuk menangani masalah sosial, politik dan ekonomi dalam negeri, China mempertahankan fokus pada jalur pembangunan jangka panjangnya meskipun ada banyak tantangan.
Dalam sebuah pernyataan resmi yang dirilis Sabtu (13/6/2020) seperti dikutip Reuters, PBOC telah menyetujui lisensi untuk Express (Hangzhou) Technology Services Co yakni perusahaan kartu kredit patungan antara American Express dan LianLian DigiTech Co Ltd.
Langkah itu mencerminkan China terus membuka industri keuangannya. Hal ini secara efektif membuka pintu bagi perusahaan AS ke pasar pembayaran China yang sangat besar, yang diperkirakan bernilai US$ 27 triliun.
Menurut pernyataan tersebut, operasi harus dimulai dalam waktu enam bulan sejak tanggal penerbitan lisensi.
"Ini adalah contoh spesifik lain dari China yang memperluas, membuka dan memperdalam reformasi sisi pasokan di sektor keuangan," kata PBC dalam pernyataan itu, mencatat bahwa langkah itu kondusif untuk meningkatkan layanan pembayaran China dan internasionalisasi yuan.
Dalam sebuah pernyataan, American Express menyatakan akan mulai memproses transaksi akhir tahun ini.
"Kami senang menjadi perusahaan asing pertama yang menerima lisensi ini."
"Persetujuan ini merupakan langkah maju yang penting dalam strategi pertumbuhan jangka panjang kami dan merupakan momen bersejarah," kata Stephen J. Squeri, ketua dan CEO American Express, dalam sebuah pernyataan seperti yang dikutip dari Global Times.
Meski menjadi yang pertama dalam menerima lisensi izin pembayaran, American Express bukanlah satu-satunya lembaga keuangan AS yang diizinkan memasuki pasar keuangan China yang bernilai US$ 45 triliun.
Analis mengatakan, pernyataan tersebut menandakan bahwa langkah-langkah pembukaan lebih lanjut di sektor keuangan dan sektor lain dapat mengikuti, terlepas dari apa yang dikatakan atau dilakukan AS tentang China dan perusahaan China.
"Penting untuk ditekankan bahwa ketika membuka sektor keuangan cocok dengan kesepakatan fase satu, itu lebih merupakan langkah proaktif dengan kecepatan kita sendiri," Gao Lingyun, seorang ahli di Akademi Ilmu Sosial Tiongkok di Beijing yang mengikuti dengan cermat pembicaraan perdagangan China-AS, kepada Global Times pada hari Minggu.
Gao juga menambahkan, dengan menyambut perusahaan-perusahaan AS yang berkualitas ke pasar China tidak berarti bahwa China tidak akan menanggapi tindakan AS yang telah atau akan merusak kepentingan ekonomi China.
"Jika AS menindaklanjuti semua ancamannya untuk melukai perusahaan-perusahaan China, China pasti akan mengambil tindakan balasan serta untuk membantu perusahaan-perusahaan yang terkena dampak itu," katanya.
(*)
• Lembah Galwan Diklaim Sepihak China, Sudah Jadi Sengketa dengan India Sejak 45 Tahun Lalu
• India Siagakan Sukhoi SU-30MKI hingga Helikopter Apache Untuk Hadapi China
• Larang Warganya Untuk Berpergian, China Laporkan 32 Kasus Baru Covid-19, 25 di Beijing
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Muncul Klaster Baru Corona, China Tutup Pabrik Pepsi dan Stop Impor Ayam dari AS".