Selama WFH, Banyak Suami yang Ketahuan Selingkuh, Akibatnya Kasus Perceraian Meningkat

Tidak hanya tingkat kehamilan yang meningkat selama pandemi Covid-19, tetapi jumlah janda juga meningkat. Selama pandemi virus corona di Kota Bandung

Editor: Eko Setiawan
shutterstock
Ilustrasi 

TRIBUNBATAM.id - Selama Pandemi Corona dan WFH, kasus perselingkuhan sering terungkap dalam hubungan rumah tangga.

Tak heran, selama masa pandemi banyak janda baru bermunculan.

Selain kasus perselingkuhan, masalah ekonomi juga menjadi permasalahan dalam tingginya angka perceraian.

Tim Pemakaman Pasien Covid-19 Ancam Mengundurkan Diri Karena Honor Tidak Sesuai

Viral Postingan Jual Sekolah, Tanah dan Bangunan SD Dihargai Rp 80 Juta, Kadisdik Enggan Berkomentar

Prediksi, H2H & Link Live Streaming Barcelona vs Atletico Madrid di Liga Spanyol, Kick Off 03.00 WIB

Tidak hanya tingkat kehamilan yang meningkat selama pandemi Covid-19, tetapi jumlah janda juga meningkat.

Selama pandemi virus corona di Kota Bandung ada sebanyak 1.355 perempuan menjadi janda baru.

Angka itu adalah perkara gugatan cerai yang udah diputuskan oleh Pengadilan Agama Bandung.

Sejak wabah Covid-19 dari bulan Maret hingga pertengahan Juni 2020, tercatat ada 1.449 gugatan perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama Bandung.

Ketua Pengadilan Agama Bandung, Acep Saifuddin mengatakan, rata-rata perceraian dipicu perselisihan atau percekcokan karena masalah ekonomi dan perselingkuhan.

"Macam-macam (penyebabnya), rata-rata berasal dari masalah ekonomi dan perselingkuhan. Jadi, memang yang paling banyak diajukan karena percekcokan itu," ujar Acep, saat dihubungi, melalui sambungan telepon, Jumat (26/6/2020).

Menurut Acep, pasangan yang mengajukan perceraian pun datang dari berbagai kalangan, mulai dari wiraswasta hingga aparatur sipil negara (ASN).

Rata-rata usia pernikahannya pun beragam.

"Banyak dari ASN Kota Bandung juga, tapi kalau jumlahnya itu harus melihat data dulu, tidak bisa dikira-kira," ucapnya.

Dikatakan Acep, sebelum naik ke persidangan biasanya pengadilan agama akan menyiapkan mediator untuk memediasi pasangan yang ingin bercerai.

Namun, kebanyakan selalu gagal dimediasi dan berakhir dengan perceraian.

"Akan ada waktu untuk mediasi selama 30 hari sesuai Perma nomor 1 tahun 2016 tentang prosedur mediasi di pengadilan agama, kalau umpamanya mediasinya berhasil perkaranya dicabut," katanya.

"Rata-rata lebih banyak yang tidak berhasil ketika dimediasi, berarti mereka itu memang datang (ke pengadilan agama) sudah matang untuk bercerai, sedikit sekali yang dimediasi berhasil," tambahnya.

Berdasarkan data dari Pengadilan agama Bandung, jumlah gugatan yang masuk per-bulannya yakni pada Maret sebanyak 433 gugatan, April 103 gugatan, Mei 207 gugatan dan Juni sampai tanggal 24 mencapai 706 gugatan.

Angka Perceraian di Cianjur Juga Meningkat

Angka perceraian di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, juga meningkat drastis dalam sebulan terakhir.

Data di Pengadilan Agama Cianjur mencatat, jumlah kasus perceraian yang masuk dan ditangani sepanjang Juni sebanyak 788 perkara.

Sementara di bulan Mei ada 99 perkara.

“Istri yang menggugat cerai suami lebih dominan, lima kali lipat jumlahnya dari perkara yang masuk,” kata Pejabat Humas PA Cianjur Asep saat ditemui Kompas.com di ruang kerjanya, Selasa (30/6/2020).

Disebutkan, secara akumulatif angka perceraian di Cianjur periode Januari-Juni 2020 mencapai 2.049 perkara.

Terdiri dari cerai talak sebanyak 346 perkara dan cerai gugat 1.703 perkara.

“Ada peningkatan dibandingkan tahun lalu. Namun, jumlahnya tidak begitu jauh,” ujar dia.

Rupanya dalam Proses Perceraian Kasus perceraian meningkat saat new normal Menurut Asep, melonjaknya perkara perceraian bulan ini tidak terlepas dari kondisi pandemi Covid-19.

Pasalnya, selama masa pandemi di bulan lalu dan sebelumnya, PA Cianjur melakukan pembatasan pelayanan.

“Ditambah di bulan kemarin ada Ramadhan, sehingga pelayanan perkara lebih dibatasi. Sehari dibatasi hanya 20 perkara,” katanya.

Karena itu, memasuki era new normal atau adaptasi kebiasaan baru saat ini, perkara yang masuk ke PA Cianjur mengalami lonjakan drastis.

“Sehari kita bisa melayani 50 perkara. Namun, tentunya tetap dengan memerhatikan protokol kesehatan. Jumlah orang yang ada di dalam ruang sidang dibatasi,” ungkapnya.

Pemicu perceraian: ekonomi dan perselingkuhan

Adapun pemicu utama perceraian, disebutkan Asep, adalah faktor ekonomi keluarga.

“Terutama dari cerai gugat, berawal karena istri merasa nafkah yang dikasih suaminya kurang, tidak cukup, atau suaminya sama sekali tidak menafkahi. Bahkan, kelebihan harta juga bisa memicu perselingkuhan,” terang dia.

Selain ekonomi, faktor moralitas atau akhlak juga cukup tinggi menjadi penyebab gugatan cerai.

“Suami yang berselingkuh atau sebaliknya, dan beberapa kasus berujung pada terjadinya kekerasan dalam rumah tangga,” ujar Asep.

Dijelaskan, beberapa perkara yang ditanganinya, bibit perceraian dimulai saat istri memutuskan bekerja karena suami menganggur atau malas bekerja sehingga nafkah yang diberikan kepada istri dinilai kecil.

“Namun, seiring berjalannya waktu, sang istri merasa dieksploitasi tenaganya oleh suami. Sehingga memicu pertengkaran rumah tangga,” katanya.

Soal istri bekerja

Selain itu, keberadaan istri yang bekerja di luar rumah juga turut memicu terjadinya praktek perselingkuhan.

“Kendati suami yang berselingkuh masih lebih tinggi dibanding perselingkuhan yang dilakukan perempuan atau istri,” sebut Asep.

Rentannya perceraian akibat kondisi ekonomi dan perselingkuhan ini, menurutnya lebih karena faktor moralitas atau akhlak serta mentalitas kedua pasangan.

"Di sinilah kemudian perlunya saling memahami tugas dan kewajiban masing-masing. Respek terhadap pasangan juga sangat penting," ucapnya.

Tingkat Kehamilan Juga Meningkat

Sementara itu, selama tiga bulan pandemi Covid-19, Layanan Keluarga Berencana (KB) di Kabupaten Semarang sempat terhenti.

Angka kehamilan pun diperkirakan naik hingga 15 persen.

Bupati Semarang, Mundjirin, menuturkan, saat ini target Pemkab Semarang tahun ini yakni 23 ribu akseptor terlayani di Kabupaten Semarang.

"Saat ini karena corona jadi sempat 3 bulan terhenti. Target tersebut baru 30 persen terpenuhi hingga semester pertama di tahun 2020," kata Mundjirin di Puskesmas Bringin, Kabupaten Semarang, Senin (29/6/2020).

Untuk kenaikan 15 persen angka kehamilan di Kabupaten Semarang, ia menilai disebabkan karena beberapa layanan KB membutuhkan bantuan petugas untuk pemasangan.

"Misal susuk, spiral, suntik, harus dilakukan petugas," jelasnya.

Ia menjelaskan saat pandemi corona di Kabupaten Semarang mereda, petugas melakukan optimalisasi pelayanan KB di Kabupaten Semarang.

Di antaranya di puskesmas di Kabupaten Semarang, hingga pelayanan door to door dengan mobil keliling milik Pemkab Semarang.

"Kami menargetkan daerah-daerah di Kabupaten Semarang yang sulit dijangkau, petugas menggunakan mobil keliling itu untuk mengakses daerah tersebut," katanya.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Semarang, Romlah, menambahkan, berkaca tahun 2019, angka kelahiran di Kabupaten Semarang mencapai 15 ribu.

"Kami menargetkan di semester dua nantinya target 23 ribu akseptor terlayani di Kabupaten Semarang bisa terpenuhi," jelasnya.

Sementara, Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Semarang, Bintang Narsasi, menjelaskan pihaknya segera mengupayakan sosialisasi penggalakan KB di Kabupaten Semarang.

Di antaranya lewat sosialisasi di posyandu, hingga kunjungan dari rumah ke rumah.

"Kami cek terus, sifatnya setelah pandemi usai kami intensifkan kembali sosialisasi tersebut," jelas dia. (Tribun Jabar/Kompas.com/TribunJateng)

Artikel ini telah tayang di Tribunjakarta.com dengan judul Gara-gara Pandemi Covid-19, Ribuan Wanita di Bandung Jadi Janda: Karena Cekcok dan Perselingkuhan

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved