Perkuat Posisinya di Korea Utara, Kim Yo Jong Dianggap Sebagai 'Orang Nomor 2' Setelah Kim Jong Un
Kim Yo Jong dikabarkan bergabung menjadi anggota penuh politbiro Korea Utara baru-baru ini. Memperkuat posisi sebagai orang nomor dua di Korea Utara?
TRIBUNBATAM.id, PYONGYANG - Kim Yo Jong dikabarkan bergabung menjadi anggota penuh politbiro Korea Utara baru-baru ini.
Adik Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un itu kerap disorot karena terus memperkuat posisinya.
Bahkan pengangkatan Kim Yo Jong ini dianggap sebagai caranya untuk menjadi orang nomor dua di Korea Utara.
Seorang sumber yang meminta identitasnya dirahasiakan mengatakan kepada Daily NK bahwa Kim Yo Jong menghadiri pertemuan politbiro pada 2 Juli sebagai anggota penuh.
“Meski saat ini tidak ada cara untuk mengetahui secara pasti kapan ia menjadi anggota penuh politbiro, sebagian besar pejabat dalam pertemuan itu menyadari fakta ini pada saat rapat,” ujar sumber tersebut sebagaimana dilansir dari Daily NK, Senin (13/7/2020).
Lebih lanjut, sumber tersebut mengatakan, papan nama di atas meja Kim Yo Jong bertuliskan “Kamerad Kim Yo Jong, Anggota Politbiro Komite Sentral”.
• Kim Yo Jong Sebut Korea Utara Belum Berhenti Buat Senjata Nuklir, Adik Kim Jong Un Beri Peringatan
Berdasarkan sebuah laporan, Kim Yo Jong menjadi anggota penuh politbiro Korea Utara kurang dari tiga bulan sejak 11 April.
“Para kader mengatakan Kim Yo Jong menjadi anggota penuh politbiro partai karena pekerjaannya membangkitkan permusuhan kepada musuh dan mengeluarkan pernyataan keras terhadap mereka,” kata sumber tersebut.
Corong media resmi Korea Utara, KCNA, melaporkan, Rapat Pleno Politbiro ke-14 dihelat di kantor pusat Komite Sentral Partai Buruh pada 2 Juli.
Pada rapat tersebut, Kim Yo Jong terlihat duduk di barisan depan, kedua dari kanan. Dia memandang ke arah podium.
Dia duduk diapit oleh Kepala Departemen Organisasi dan Bimbingan (OGD) Jo Yong Won di sebelah kanan dan Kepala Departemen Keamanan Negara (MSS), Jong Kyong-thaek, di sebelah kirinya.
Dalam tradisi rapat politbiro Korea Utara, para penanggung jawab atas hal-hal yang dibahas dalam rapat duduk di ujung kanan di baris depan.
Pertemuan politbiro tersebut membahas kegagalan Kementerian Keamanan Negara dalam memberantas kegiatan ilegal, termasuk penyelundupan, di wilayah perbatasan Sino-Korea Utara.
Kegagalan tersebut juga telah membuat Korea Utara kesulitan mencegah penyebaran Covid-19 di negara tersebut.
Selama pertemuan, disebutkan bahwa penyakit itu dapat menyebar ke Korea Utara melalui penyeberangan perbatasan ilegal dan kegiatan penyelundupan.
“MMS harus bertanggung jawab untuk mencegah hal ini terjadi," kata sumber tersebut kepada Daily NK.
Dalam pertemuan tersebut, perintah atas nama Kim Jong Un akan dijatuhkan kepada penjaga perbatasan yang tertangkap dan terlibat dalam kegiatan ilegal di perbatasan.
Mereka akan diberhentikan dengan tidak hormat.
Trump Ungkap Ingin Bertemu Kim Jong Un, Korea Selatan Mendukung, Korea Utara Merasa Tak Butuh
Donald Trump dikabarkan ingin bertemu dengan Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un.
Keinginan Presiden Amerika Serikat ( AS) itu disampaikan lewat eks Penasihat Keamanan Nasional AS, John Bolton, Kamis (2/7/2020).
Menanggapi hal ini, Korea Utara menyatakan, mereka "merasa tidak butuh" untuk melanjutkan pembicaraan dengan Amerika Serikat.
Wakil Menteri Luar Negeri Korea Utara, Choe Son Hui menyampaikan itu setelah tetangga, Korea Selatan (Korsel), menyerukan adanya pertemuan tingkat tinggi lain dengan Pyongyang.
John Bolton juga mengungkapkan kepada media setempat bahwa Trump ingin melakukan pertemuan dengan pemimpin negara komunis itu pada Oktober.
Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in mendukung terealisasinya pertemuan kedua kepala negara yang telah lama ia harapkan.
Moon mengatakan bahwa Korea Selatan akan melakukan "upaya terbaik" untuk membantu mewujudkannya.
Tetapi Choe mengatakan bahwa Pyongyang "tidak merasa perlu duduk berhadapan dengan AS", yang mana pernyataan itu disiarkan oleh Kantor Berita Pusat Korea Utara, atau KCNA.
Sang wakil menteri luar negeri itu menyebut bahwa AS adalah "pemimpi" yang berharap untuk "kejutan Oktober".
"AS keliru jika berpikir hal-hal seperti negosiasi masih akan berhasil pada kita," kata Choe.
Ia menyampaikan secara resmi atas nama negara bahwa Washington "menganggap dialog DPRK (Rakyat Demokratik Rakyat Korea)-AS tak lebih dari alat untuk mengatasi krisis politiknya".
Melansir dari AFP (4/7/2020), Bolton dilaporkan mengatakan Trump akan bertemu dengan Kim jika itu akan membantu peluang pemilihan Trump kembali.
Sementara, Korea Utara "sudah menyusun jadwal strategis yang terperinci" untuk menangani "ancaman jangka panjang" dari Washington, kata Choe.
Pembicaraan tentang persenjataan nuklir Pyongyang telah mandek sejak pertemuan puncak Hanoi antara Trump dan Kim runtuh, pada awal 2019.
Laporan terbaru mengatakan, Wakil Menteri Luar Negeri AS, Stephen Biegun akan mengunjungi Seoul pekan depan untuk membahas pembicaraan dengan Pyongyang, meskipun Korsel belum mengonfirmasi pertemuan itu.
Juni, Pyongyang mengeluarkan serangkaian kecaman pedas terhadap Korea Selatan atas selebaran anti-Pyonyang yang dikirim para pembelot di perbatasan kedua negara.
Selebaran itu biasanya dikirim dengan dilekatkan pada balon atau dimasukan ke dalam botol dan diapungkan ke sungai.
Serangan para pembelot telah meningkatkan ketegangan kedua negara yang mendorong Korea Utara meledakkan kantor penghubung Kaesong, dan mengancam mengerahkan militer.
Namun, pekan lalu dikatakan mereka telah menangguhkan rencana-rencana itu yang dapat menekan ketegangan.
Pernyataan Choe muncul sehari setelah Cheong Wa Dae atau Gedung Biru, sebutan kantor kepresidenan Korsel, mengumumkan kepala intelijen sudah ditunjuk.
Dia adalah Park Jie-won, mantan politisi yang memainkan peranan penting dalam mengatur KTT Antar-korea pertama pada 2000-an silam.
Langkah ini secara luas dilihat sebagai tekad Moon untuk mempertahankan kebijakan pro-keterlibatan, meskipun Korea Utara mengabaikan moratorium uji coba nuklir dan rudal.
Korea Utara Berencana Kirim 12 Juta Selebaran Propaganda, Korea Selatan Minta Untuk Berhenti
Korea Utara tampak semakin intens melayangkan propaganda kepada Korea Selatan.
Diketahui Korea Utara telah kembali memasang pengeras suara di perbatasannya dengan Korea Selatan untuk siarkan propaganda.
Kini, Korea Utara dikabarkan akan menyebarkan 12 juta selebaran berisi propaganda ke wilayahnya.
Menanggapi hal tersebut, Korea Selatan meminta kepada tetangganya, Korea Utara, untuk menghentikan upaya tersebut.
Tensi di Semenanjung Korea meningkat dalam beberapa pekan terakhir, dimulai dari penghancuran kantor perwakilan dua negara di Kaesong.
Kemudian Korea Utara mengancam bakal mengerahkan militer, dengan yang terakhir mereka menyatakan sudah mencetak 12 juta selebaran propaganda.
Berbagai ancaman itu terjadi buntut pembelot Korut yang sering mengirim propaganda melawan Kim Jong Un di perbatasan Korea Selatan.
Jika Pyongyang benar-benar menjatuhkan jutaan pamflet, itu akan menjadi aksi propaganda terbesar yang mereka lakukan kepada rivalnya tersebut.
Seoul pun bereaksi, di mana mereka meminta Korut untuk membatalkan rencana itu, di mana aksi tersebut "tidak akan memperbaiki relasi".
Namun Pyongyang tak peduli. Mereka bahkan sudah mengklaim bakal mengirim selebaran ke "wilayah musuh" menggunakan 3.000 balon.
Beberapa pakar memprediksi, Korut kemungkinan akan menggunakan drone, yang biasanya dibanggakan oleh Pyongyang, jika cuacanya tak mendukung.
Dalam editorial KCNA, keputusan mereka untuk menyebarkan selebaran merupakan bentuk "kemarahan yang tak terpadamkan dari rakyat".
"Waktu pembalasan sudah semakin dekat," koar media pemerintah tersebut sebagaimana diberitakan Sky News Senin (22/6/2020).
Pakar menyatakan, segala bentuk penyebaran akan menjadi babak terbaru ketegangan yang diyakini, untuk membuat AS dan Seoul masuk mengajukan konsesi baru.
Aktivis di Korea Selatan mengancam, mereka akan menjatuhkan jutaan pamflet pada akhir pekan ini, untuk memperingati 70 tahun Perang Korea.
Kelompok yang dipimpin para pembangkang biasanya mengirim selebaran, makanan, dan USB berisi informasi soal Korsel lewat balon atau diapungkan ke sungai.
Secara teknis, dua Korea saat ini masih berperang karena konflik 1950-1953 tersebut berakhir dengan gencatan senjata, bukan perjanjian damai.
Pada 2018, Presiden Moon Jae-in dan Kim Jong Un dalam pertemuan di Panmunjom sepakat untuk mengakhir segala bentuk permusuhan.
Namun, ketegangan mulai timbul setelah pada Februari 2019, perundingan Kim dengan Presiden AS Donald Trump berakhir tanpa kesepakatan apa pun.
Saat ini, Korea Utara masih mengalami krisis dikarenakan hantaman sanksi dari Dewan Keamanan PBB, buntut uji coba mereka akan senjata nuklir.
(*)
• Kim Jong Un Klaim Sukses Besar Tangani Covid-19, Tak Laporkan Penemuan Kasus di Korea Utara
• Minta Rakyat Korea Utara Ikuti Perintahnya, Kim Jong Un Beri Peringatan Terkait Covid-19
• Bersiaga Penuh, Media Korea Utara Minta Publik Patuhi Perintah Kim Jong Un Hadapi Virus Corona
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kim Yo Jong Perkuat Posisinya sebagai "Orang Nomor 2" di Korea Utara".