Tak Terima Kebijakan Trump Soal Visa Pelajar Asing, 17 Negara Bagian Amerika Serikat Ajukan Gugatan
Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump menuai gugatan dari 17 negara bagian AS dan Distrik Columbia. Terkait dengan kebijakan visa pelajar asing.
TRIBUNBATAM.id, WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump menuai gugatan dari 17 negara bagian AS dan Distrik Columbia.
Semua itu terkait dengan kebijakan Trump yang permasalahkan visa bagi pelajar internasional.
17 negara bagian Amerika Serikat tersebut antara lain Colorado, Connecticut, Delaware, Illinois, Maryland, Massachusetts, Michigan, Minnesota, New Jersey, New Mexico, Oregon, Pennsylvania, Rhode Island, Vermont, Virginia, dan Wisconsin.
Mereka menganggap kebijakan tersebut sangat mendadak dan menilainya sebagai tindakan kejam dan melanggar hukum untuk mengusir mereka di tengah pandemi Covid-19.
Badan Imigrasi dan Bea Cukai AS ( ICE) menyatakan bahwa pelajar non-imigran dengan visa F-1 dan M-1 yang sekolah atau perguruan tingginya sepenuhnya menyelenggarakan kelas daring atau hanya mengambil kursus daring tidak diizinkan untuk tinggal di AS.
Gugatan tersebut diajukan di Pengadilan Distrik AS di Massachusetts terhadap Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) dan ICE. Mereka menggugat kedua lembaga tersebut untuk menghentikan seluruh aturan tersebut sebagaimana dilansri dari The Wire, Senin (14/7/2020).
• Lewat DVD, Kim Jong Un Izinkan Kim Yo Jong Tonton Perayaan Hari Ulang Tahun Amerika Serikat
Gugatan tersebut dipimpin oleh Jaksa Agung Massachusetts, Maura Healey, yang mewakili koalisi 18 jaksa agung dalam mengajukan gugatan.
Healey menuduh pemerintahan Trump bahkan tidak berusaha menjelaskan dasar aturan tersebut.
Padahal, sekolah dan perguruan tinggi berusaha menjaga pelajar internasional mereka sekaligus melindungi kesehatan dan keselamatan di kampus mereka.
“Massachusetts adalah rumah bagi ribuan siswa internasional yang memberikan kontribusi tak ternilai bagi institusi pendidikan, komunitas, dan ekonomi kita.
Kami mengambil tindakan ini untuk memastikan mereka dapat terus hidup dan belajar di negara ini,” ujar Healey.
Gugatan tersebut telah diajukan beberapa hari setelah Harvard University dan Massachusetts Institute of Technology mengajukan gugatan terhadap yang melarang pelajar internasional untuk tinggal di AS kecuali mereka menghadiri setidaknya satu kelas langsung.
Kedua perguruan tinggi tersebut menentang perubahan kebijakan mendadak oleh ICE dan meminta agar mengembalikan lagi penerapan peraturan yang dikeluarkan pada 13 Maret.
Dalam peraturan yang dikeluarkan pada 13 Maret, pemerintah mengakui keadaan darurat akibat Covid-19.
Pemerintah lantas memberikan fleksibilitas bagi sekolah dan memungkinkan siswa internasional dengan visa F-1 dan M-1 untuk mengambil kelas online untuk durasi darurat.
Gugatan tersebut juga menuduh bahwa aturan baru tersebut menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan dengan menghalangi ribuan pelajar internasional untuk datang dan tinggal di AS.
Hal itu juga akan menghambat penemuan dan inovasi di bidang-bidang seperti sains, teknologi, bioteknologi, kesehatan, bisnis dan keuangan, dan pendidikan.
Massachusetts menampung puluhan ribu siswa internasional setiap tahun. Saat ini terdapat 77.000 dengan visa pelajar aktif dan mereka diperkirakan membawa lebih dari USD 3,2 miliar ke ekonomi setiap tahun.
Gugatan tersebut juga mencakup 40 deklarasi dari berbagai lembaga pendidikan yang terkena peraturan baru.
Lembaga pendidikan tersebut meliputi Northeastern University, Tufts University, University of Massachusetts, Boston University, Massachusetts Community Colleges, Massachusetts State Universities, Association of Independent Colleges, dan lain-lain
Di California, tujuh mahasiswa pascasarjana internasional - enam warga negara Cina dan seorang Jerman, telah mengajukan gugatan federal di Central District of California.
Pengarah pengacara dalam proyek Public Counsel's Opportunity Under Law, Mark Rosenbaum, mengatakan kebijakan ICE tersebut akan membahayakan kampus dan berpotensi menelan korban jiwa.
Dia menambahkan kebijakan tersebut merupakan keputusan terbaru dari serangkaian keputusan irasional yang akan memperdalam krisis saat pandemi ini.
“Nyawa para pelajar imigran akan yang terancam, yang secara hukum belajar di sini untuk berkontribusi secara produktif di sini dan di luar negeri,” ujar Rosenbaum.
Amerika Serikat dan China Berkonflik, Rusia Khawatir, Minta Keduanya Tempuh Jalan Diplomatik
Kekhawatiran atas konflik yang terjadi antara Amerika Serikat ( AS) dan China turut dirasakan oleh Rusia.
Terlebih, baru-baru ini semakin meningkat tudingan yang dilemparkan Amerika Serikat ( AS) terhadap China.
Tanggapan Rusia tersebut disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, pada Jumat (9/7/2020) lalu.
Lavrov menyorot beberapa pihak berwenang AS telah menyerang pejabat China sampai tahap penyerangan terhadap pribadi.
Hal itu menurutnya sangat mengkhawatirkan.
Lavrov berharap dua negara adidaya tersebut dapat menemukan solusi atas permasalahan mereka melalui jalan diplomatik sebagaimana dilansir dari CGTN News, Sabtu (11/7/2020).
Selain mengomentari masalah AS-China, Lavrov juga membahas perjanjian mengenai pembatasan senjata antara Rusia dengan China.
Pakta pengendalian senjata antara Rusia dan AS diatur melalui New Strategic Arms Reduction Treaty ( New START).
Rusia dan AS menandatangani perjanjian New START pada 2010. Perjanjian tersebut berisi penetapan batasan jumlah berbagai macam senjata strategis yang dimiliki oleh kedua negara itu.
Perjanjian tersebut akan kedaluwarsa pada Februari 2021 dan dapat diperpanjang hingga 5 tahun ke depan dengan persetujuan bersama.
Dia mengatakan Rusia telah siap untuk setiap perkembangan. Jika AS menolak untuk memperbarui perjanjian tersebut, Rusia mungkin akan mengambil langkah lain.
"Kami tahu, dan kami sangat percaya bahwa kami dijamin untuk menjamin keamanan kami untuk jangka panjang bahkan tanpa adanya perjanjian ini," ujar Lavrov.
Jika pihak AS membuka ruang untuk memperpanjang perjanjian New START, fokus dialognya akan seputar pada pengontrolan senjata baru, dalam konteks semua faktor yang memengaruhi stabilitas strategis.
Menurut Lavrov, Rusia tidak memerlukan perpanjangan perjanjian tersebut melebihi AS
Lavrov menambahkan jika Amerika Serikat dengan tegas menolak untuk memperpanjangnya perjanjian New START, Rusia tidak akan membujuknya.
WHO Akhirnya Kirim Tim Ahli ke China, Siap Menyelidiki Asal-usul Pandemi Covid-19
China merupakan negara pertama yang melaporkan penemuan kasus virus Corona atau Covid-19.
Badan Kesehatan Dunia ( WHO) akhirnya berangkat ke China untuk menyelidiki asal usul pandemi ini.
Delegasi tim ahli WHO berangkat ke China pada Jumat (9/7/2020).
Wabah virus Corona ini diyakini pertama kali muncul di pasar grosir di pusat kota Wuhan, China, pada akhir tahun lalu.
Sementara, penyebarannya diyakini berasal dari antar-spesies hewan ke manusia.
Melansir Reuters pada Jumat (10/7/2020), dua pakar WHO, spesialis kesehatan hewan dan epidemiologi, pergi ke China untuk bekerja sama dengan para ilmuwan "Negeri Panda".
Juru bicara WHO Margaret Harris mengatakan, WHO dan para ilmuwan China secara bersama-sama akan menentukan ruang lingkup dan jadwal penyelidikan virus Corona.
"Mereka sudah berangkat, mereka adalah para ahli penelitian lapangan," kata Harris.
Pertemuan para perwakilan WHO ini akan melibatkan negosiasi dengan para ilmuwan China, termasuk akan membahas komposisi tim penilitian yang lebih lengkap.
"Salah satu masalah besar yang membuat semua orang tertarik, dan menjadi alasan kami mengirim ahli kesehatan hewan, adalah untuk mengetahui apakah virus Corona ditularkan melalui antar-spesies hewan ke manusia.
Dan spesies apa yang menjadi mediatornya," kata Harris.
Harris mengatakan bahwa virus Corona ada kesamaan dengan virus kelelawar, tapi masih perlu dipastikan lagi perbedaannya.
“Tetapi apakah ia melewati spesies perantara? Ini adalah pertanyaan yang kita semua harus jawab,” katanya.
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Menteri Luar Negeri AS Michael Pompeo mengatakan, ada kemungkinan virus Corona berasal dari sebuah laboratorium di Wuhan.
Namun pihak pemerintah AS, tidak menunjukkan bukti untuk dugaannya.
Sementara itu, China telah dengan keras membantah dugaan pemerintah AS.
Para ilmuwan dan agen intelijen AS juga mengatakan virus Corona itu muncul secara alamiah.
"Jika ada kekeliruan (penelitian kasus virus Corona), dan kita mungkin tidak pernah tahu pasti, itu akan sangat sulit untuk mengungkapnya," kata seorang profesor di Georgetown Law di Washington DC, Lawrence Gostin.
Gostin mengatakan para peneliti mengahadapi tantangan besar dalam menyelidiki asal-usul virus Corona sebagai formula untuk menanggulangi pandeminya.
Sebab, sejak pasar Wuhan ditutup setelah ada indikasi virus baru yang sekarang dikenal dengan nama Covid-19, tidak ada catatan independen, evaluasi atau investigasi terhadap potensi zoonosis.
“Jadi, akan sangat sulit untuk merunut ke awal mula kemunculan virus dan menyatukan hasilnya,” katanya.
(*)
• Akibatkan 21 Orang Luka-luka, Kapal Perang Amerika Serikat Meledak Secara Misterius
• Hagia Sophia Jadi Masjid, Amerika Serikat, Hamas hingga Yunani Bereaksi, Ada Apa?
• Trump Konfirmasi Amerika Serikat Luncurkan Serangan Siber ke Rusia, Ada Apa?
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Suruh Pelajar Asing Pergi dari AS, 17 Negara Bagian Gugat Aturan Trump".