Terindikasi Lakukan Pelanggaran HAM, Amerika Serikat Kembali Blacklist 11 Perusahaan China
Amerika Serikat (AS) dikabarkan kembali lakukan blacklist kepada sederet perusahaan China. Rupanya terindikasi melakukan pelanggaran HAM pada Uighur.
Pada 1 Juli, CBP menangmankan hampir 13 ton produk rambut dengan lebih dari 800.000 dollar AS atau setara Rp 11,8 miliar yang berasal dari Xinjiang.
Senator AS dari Partai Republik, Josh Hawley, mengatakan dia akan mengajukan undang-undang yang akan menghukum perusahaan di AS yang menerapkan kerja paksa dalam rantai pasokan mereka.
Makin Panas, Amerika Serikat Akan Larang Masuk 92 Juta Anggota Partai Komunis China ke Negaranya
Amerika Serikat ( AS) dikabarkan tengah mempertimbangkan kebijakan memblokir perjalanan para anggota Partai Komunis China ke negaranya.
Menanggapi hal itu, China menyebut Amerika Serikat "menyedihkan" .
Sebelumnya, The New York Times sempat melaporkan jajaran kabinet Donald Trump bisa saja menolak kebijakan itu karena masih berupa konsep.
Dilansir dari BBC Kamis (16/7/2020), Partai Komunis China memiliki 92 juta anggota, dan belum diketahui secara pasti bagaimana larangan ini akan ditegakkan.
Kebijakan yang dibuat AS ini adalah yang konflik terbaru dalam perseteruan dua negara adidaya itu.
Sebelumnya, AS pekan ini telah menghapus status perdagangan khusus bagi Hong Kong, setelah China menerapkan UU Keamanan Nasional yang kontroversial.
Presiden Donald Trump juga mengkritik China atas penanganan pandemi virus corona, peningkatan pasukan militer di Laut China Selatan, perlakukannya terhadap minoritas Muslim, dan surplus perdagangan besar-besaran.
Apakah larangan akan terwujud dan berhasil?
Artikel di New York Times mengutip empat orang yang disebut "memahami persoalan ini."
Disebutkan oleh surat kabar itu, bahwa aturan AS akan melarang anggota Partai Komunis China beserta keluarganya mengunjungi AS, dan mungkin bisa juga mengusir beberapa orang yang sudah berada di "Negeri Paman Sam".
Para petinggi di perusahaan-perusahaan China dan Tentara Pembebasan Rakyat juga dapat terkena imbasnya.
New York Times mengatakan, rencana itu belum final dan presiden bisa saja membatalkannya. Namun, Gedung Putih serta Departemen Luar Negeri AS enggan berkomentar.