BATAM TERKINI
Ketua KPK Puji Kepri, Berhasil Masuk Lima Provinsi Sukses Cegah Korupsi
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri memuji lima provinsi di Indonesia yang dianggap berhasil menjalankan Stranas PK)
TRIBUNBATAM.id, JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri memuji lima provinsi di Indonesia yang dianggap berhasil menjalankan Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK).
Lima provinsi tersebut adalah Bali, Jawa Barat, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Hal itu disampaikan Firli di hadapan Presiden Joko Widodo dalam acara Aksi Nasional Pencegahan Korupsi di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu, (26/8/2020).
Menurut Firli, kesuksesan lima provinsi itu tak lepas dari andil kementerian terkait yang memberi pendampingan Stranas PK kepada pemerintah daerah.
"Kami laporkan kepada Bapak Presiden kerja keras para menteri pengarah aksi nasional pencegahan korupsi, pemberantasan korupsi, strategi nasional pencegahan korupsi, ada lima provinsi yang mencapai nilai tertinggi," ujar Firli.
Bali mendapatkan nilai tertinggi dengan angka 75 persen. Kemudian Jawa Barat 71,88 persen; disusul Kepulauan Riau 71,88 persen.
Selanjutnya DKI Jakarta 66,67 persen; dan terakhir NTT 62,50 persen.
• Dokter & Bidan Puskesmas Tiban Baru Kena Corona, Sumber Virus Dilacak Lewat Tracing 64 Warga
Firli juga menjelaskan, ada lima kementerian serta lembaga yang mendapatkan nilai terbaik dalam program Stranas Yakni, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Badan Informasi Geospasial (BIG), Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), Kementerian PUPR, dan Kemenko Polhukam.
"BPJS Kesehatan dengan angka 93,74. Kedua BIG 83,95. Ketiga, Kementerian Desa PDTT 77,79. Keempat, Kementerian PUPR 73,44. Terakhir, Kemenkopolhukam 70,85," papar Firli.
Momentum Pencegahan
Dalam acara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan akan melakukan pencegahan korupsi secara besar-besaran.
Krisis kesehatan dan krisis ekonomi yang terjadi sekarang ini merupakan momentum melakukan pembenahan secara menyeluruh.
"Upaya pencegahan korupsi harus kita lakukan secara besar-besaran. Untuk mencegah terjadinya korupsi dengan tetap tentu saja melakukan aksi penindakan yang tegas terhadap pelaku tindak pidana korupsi tanpa pandang bulu," kata Presiden.
Bukan hanya membangun tata kelola pemerintahan yang baik, cepat, efisien, namun juga tata kelola yang akuntabel dan bebas dari korupsi.
Ia menyadari, membangun tata kelola pemerintah yang cepat namun akuntabel bukanlah perkara mudah. Namun, bukan berati tidak bisa dilakukan.
“Kita harus bangun tata kelola pemerintahan yang baik, cepat, produktif, efisien. Di saat yang sama juga harus akuntabel dan bebas dari korupsi," kata Presiden.
"Ini tidak mudah, memang tidak mudah, tetapi ini adalah tantangan yang harus kita pecahkan. Kita harus rumuskan dan lakukan langkah-langkah konkrit, konsisten dari waktu ke waktu."
Dalam kesempatan itu, presiden memaparkan tiga agenda besar dalam upaya pencegahan korupsi. Diantaranya, sinkronisasi regulasi, reformasi birokrasi, serta gerakan budaya anti-korupsi.
"Gerakan budaya antikorupsi terus kita galakkan. Masyarakat harus tahu apa itu korupsi. Apa itu gratifikasi. Masyarakat harus menjadi bagian dalam mencegah korupsi, antikorupsi, kepantasan dan kepatutan yang harus menjadi budaya," kata Jokowi.
Presiden mengingatkan lagi, rasa takut atas tindak pidana korupsi tidak hanya didasarkan pada hukuman semata, tetapi pada hukum Tuhan.
"Takut melakukan korupsi bukan hanya terbangun atas ketakutan terhadap denda dan penjara. Takut korupsi juga bisa didasarkan pada ketakutan kepada sanksi sosial, takut dan malu pada keluarga, kepada tetangga dan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala, kepada neraka," ucap Jokowi.
Menangis saat Tangkap Pejabat
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron menyebut bahwa penangkapan pejabat atau penyelenggara negara karena kasus korupsi bukanlah suatu prestasi yang menggembirakan.
Bahkan, kata Ghufron, KPK menangis dan bersedih saat menangkap pejabat yang melakukan korupsi.
”KPK itu menangis sesungguhnya ketika menangkap para pejabat negara, KPK juga bersedih," kata Ghufron saat konferensi pers Aksi Nasional Pencegahan Korupsi (ANPK) yang disiarkan melalui kanal YouTube KPK, Rabu (26/8).
Ghufron mengatakan, KPK bersedih lantaran para pejabat dan penyelenggara negara yang ditangkap merupakan pemimpin bangsa. Suka atau tidak, mereka yang ditangkap merupakan bagian dari wajah Indonesia di mata dunia internasional.
Semakin banyak pejabat yang ditangkap KPK, maka sama saja hal itu mencoreng wajah dan reputasi bangsa Indonesia.
"Ketika kian banyak yang ditangkap sesungguhnya wajah dan reputasi bangsa Indonesia menjadi runtuh. Itu yang kami tidak diinginkan," katanya.
Ghufron menyebut korupsi layaknya penyakit pandemi.
"Korupsi itu bukan penyakit perorangan tetapi penyakit sistemik. Apa maknanya? Kalau di sini terjadi, di tempat lain terjadi, kemudian di tempat lain juga terjadi. Berarti penyakitnya itu penyakit pandemi," kata Ghufron.
Dengan kondisi tersebut, kata Ghufron, memberantas korupsi tidak cukup hanya dengan menyuntik atau mengisolasi orang yang sudah terjangkit 'virus' korupsi.
Tidak menutup kemungkinan, virus tersebut telah menyebar dan menjangkit orang lainnya.
Selain mengisolasi orang yang terjangkit virus dengan menangkap dan menjebloskannya ke penjara, KPK perlu menyelamatkan orang-orang yang belum terjangkit dengan menggenjot upaya pencegahan.
"Kalau pandemi tidak bisa hanya kemudian disuntik satu orang, ditangkap atau dipenjarakan satu orang sementara kemudian di tempat lain muncul lagi muncul lagi," kata Ghufron.
"Oleh karena kami memahami korupsi sebagai pandemi karenanya yang sudah jadi virus harus diisolasi ke pidana ke penjara, tapi yang masih sehat maka kemudian dipakaikan masker, ada social distancing maupun fisik itu dalam rangka pencegahan yang masih sehat. Menjaga supaya tercegah dari tertular korupsi,” imbuhnya.
KPK akan terus meningkatkan upaya pencegahan korupsi. Pencegahan lebih utama sepanjang belum terjadinya tindak pidana korupsi.
Meski demikian, KPK tetap akan menindak tegas para pejabat negara yang terbukti melakukan tidak pidana korupsi tanpa pandang bulu.
Selain melakukan pencegahan, KPK meningkatkan area-area yang masih tak transparan atau abu-abu.
Hal itu berkaitan dengan regulasi yang memperpanjang birokrasi sehingga menimbulkan beban waktu, struktur, dan biaya.
Selanjutnya, KPK akan mengawasi struktur aparatur negara maupun anggaran.
“ANPK (Aksi Nasional Pencegahan Korupsi) memungkinkan mereview regulasi, struktur jabatan dan anggaran,” tutur dia. (tribun network/fik/yud/ham)