HUMAN INTEREST
KISAH Anggie, Polwan Batam Saat Jadi Pasukan Garuda di Afrika, 1,3 Tahun Hidup Bersama Pemberontak
Anggie merupakan seorang anggota Polri di Polsek Kawasan Khusus Pelabuhan Polresta Barelang Batam yang terpilih jadi pasukan Perdamaian PBB.
Penulis: Beres Lumbantobing |
Editor : Tri Indaryani
TRIBUNBATAM.id, BATAM - Raden Anggie, punya ribuan cerita bahkan kisah patriot melewati misi kemanusiaan di Kota Bangui, Negara Afrika Tengah.
Ia harus hadir di tengah-tengah negara konflik pemberontakan yang kejam di bagian timur-tengah itu.
Raden Anggie sapaan akrab Anggie kini telah kembali ke tanah air, bertemu keluarga dan tak lama lagi ia akan kembali mengenakan dinas coklatnya.
Anggie merupakan seorang anggota Polri di Polsek Kawasan Khusus Pelabuhan (KKP) Polresta Barelang, Kota Batam.
Tahun lalu, 2019 tepat bulan Juni ia mendapat kesempatan penugasan sebagai pasukan Garuda Indonesia atau pasukan perdamaian PBB.
Anggie menjadi satu-satunya prajurit pilihan yang terpilih dan sukses melaksanakan tugas dalam misi menciptakan kestabilan dan perdamaian di negara tersebut
Satu tahun tiga bulan lamanya Anggie bertugas di negara penuh konflik itu menggoreskan sederet cerita kisah perjuangan dan segudang pengalaman.
"Ini pengalaman dan karier yang yang tak akan pernah terlupakan dalam masa hidup saya, tinggal di negara konflik dan beraktivitas dengan mereka," ujar Anggie.
Sebelum memulai perbincangan yang panjang, Kepada Tribun Batam, di salah satu kafe di Batam Center, Senin (12/10/2020) kita janjian untuk melakukan wawancara.
Saat itu Anggie datang tak hanya seorang diri, ia didampingi sang ibunda.
Angie orangnya cukup ramah, ia termasuk model hijabers, dipadu make up tipis-tipis.
"Wah, maaf telat ni 15 menit. Mas nya udah nungguin," kata Anggie melempar awal perbincangan.
Anggie mengaku setiap pagi hari ia harus mengurusi usaha kecilnya dan membantu sang ibu memasak serta meluangkan waktu berolahraga walau hanya sebentar sebelum ia berangkat tugas.
Anggie sudah terbiasa menjadi orang sibuk, hal itu yang membuatnya menjadi disiplin dan menghargai waktu.
Di usianya yang masih muda bahkan Anggie sudah menyandang gelar pendidikan master hukum dan dapat kesempatan penugasan sebagai pasukan Garuda Indonesia untuk kontingen perdamaian negara Afrika Tengah.

Hal ini pula yang menjawab kenapa wanita kelahiran Aceh 25 November 1988 ini punya semangat juang yang tinggi.
Layaknya pekerja ulet kebanyakan, Raden Anggie dipanggil Anggie (32) itu tak punya banyak kosa kata untuk menjelaskan detail pengalaman hidup yang dilaluinya.
Jalan hidup memang berbeda, masa depan tak ada yang tahu. Yang Anggie lakukan hanya berusaha dan melaksanakan tugas negara.
Jujur, selalu berprasangka baik dan menghargai semua orang, diakuinya telah membuat dia semakin terlihat muda.
"Jalani dan syukuri aja sih mas. Saya juga nggak tahu, saya bisa jadi orang beruntung terpilih dari ribuan anggota Polri untuk menjadi pasukan Garuda. Yang pasti terus berusaha," ujar Anggie.
Sebelum Anggie mendapat penugasan misi penjaga perdamaian di negara Afrika Tengah, ia merupakan anggota Polri aktif yang bertugas di Polsek Kawasan Khusus Pelabuhan Polresra Barelang.
Anggie, lulusan Bintara Polri dan sudah 12 tahun mengenakan dinas coklat sebagai anggota polisi. Selama bertugas, ragam posisi ia pernah duduki di wilayah Polda Kepri.
Sembari duduk di kursi kayu panjang, Anggie mulai menceritakan perjalanannya melewati penugasan di Afrika Tengah.
"Panjang banget pasti ceritanya, 1,3 tahun bertugas di Afrika Tengah dan 1,5 tahun persiapan pemberangkatan Pusdik. Jadi total 3 tahun nggak balik ke Batam," ujar Anggie.
Tiga tahun lamanya bukanlah waktu yang singkat, harus berpisah dari keluarga.
Anggie pun terus menceritakan kisahnya jadi waktu itu ada seleksi pasukan Garuda untuk pasukan perdamaian.
Lalu dia putuskan untuk ikut mendaftar seleksi.
"Saya diterima dan segera mengikuti persiapan pendidikan. Saya tau bahwa akan dikirim ke negara dengan kondisi stabilitas keamanan negara yang tidak stabil, dalam hati saya sebenarnya masih deg-deg an waktu itu. Namun saya berpikir bahwa kesempatan tak datang dua kali. Saya pun mengikuti rangkaian seleksinya cukup ketat. Banyak persyaratan dan tentunya skil kemampuan yang dimiliki," katanya.
Bermodalkan pengalaman penugasan 12 tahun jadi anggota Polri, tentunya sudah miliki ijazah dengan gelar master hukum dan sertifikitat beladiri karate tingkat internasional serta kemampuan bahasa inggris.
Mulai memasuki masa latihan persiapan. Saya rasa latihannya itu cukup berat, lebih berat dari seleksi awal kita masuk jadi anggota Polri, kata Anggie.
Kita pendidikan khusus pasukan Garuda Indonesia selama 1 tahun 5 bulan di Cikeas.
Latihannya lebih keras, di sini kita dibina harus mampu mengelola senjata hingga mahir.
Kemudian latihan fisik dipress, intinya tidak ada perbedaan gender selama pendidikan.
Mau dia Polisi cowok atau Polisi wanita semua sama.
Jadi setiap hari kita harus berlari dengan jarak sejauh 10 KM, dalam lari itu kita harus menenteng senjata lengkap dengan seragam rompi.
Senjata dan seragam rompi itu beratnya 15 kg, jadi itu kita tenteng terus selama latihan persiapan 1,5 tahun.
Jadi dalam persiapan pasukan garuda yang akan diberangkatkan ada 140 orang personil Polri se-Indonesia ditambah cadangan 11 orang.
Dari jumlah pasukan ini polisi wanita (Polwan) hanya 14 orang.

Untuk perwajipan dari Kepri, kata Anggie, yang terpilih 3 orang, satu dari Brimob Polda Kepri, satu dari Lantas Polda Kepri dan terakhir saya dari Polsek Kawasan Khusus Pelabuhan Polresta Barelang, Kota Batam.
"Jadi, saya satu satunya dan pasukan pertama polisi wanita yang dikirim dalam Kontingen Satuan Tugas Garuda Bhayangkara Formed Police Unit (FPU) 1 Minusca, Afrika Tengah," ungkap Anggie.
Setelah semua dibina dalam persiapan 1,5 tahun akhirnya diberangkatkan pada tanggal 27 Juni 2019.
"Waktu itu hati semakin deg-deg an. Namun saya tekadkan dalam hati bahwa siap dalam misi negara ini," tegas Anggia.
Siang itu, Tribun Batam terus mendengarkan kisah perjalanan pendidikan Anggie yang dirangkum dalam naskah berita ini.
Dalam wawancara, sesekali Anggia melihat dokumentasi dan catatan singkat miliknya melalui tugas demi tugas di Afrika Tengah.
"Saat pemberangkatan pasukan itu penuh rasa haru dan sedih. Bayangin kita harus meninggalkan keluarga, ibu ayah dan adik. Bahkan bagi mereka yang sudah berkeluarga harus meninggalkan anak dan istri denga waktu yang cukup lama. Dan dalam penugasan tidak ada jaminan setiap pasukan garuda harus selamat pulang ke tanah air," katanya.
Walau mengaku sedih, namun dengan tekad dan semangat penugasan Anggie bersyukur ibunya selalu mendukung dan memberikan doa.
"Saya bersama pasukan pun akhirnya berangkat dari Jakarta. Dalam perjalanan kita melakukan transit sebanyak dua kali, yaitu di Bandara Internasional Mumbai India dan Bandara Internasional Addis Ababa Ethiopia hingga akhir tiba lokasi misi penugasan di Bandara Internasional M’Poko, Bangui, Republik Afrika Tengah," katanya.

Ternyata, kata Anggie, negara ini seperti yang sering kita saksikan di televisi yang sering perang, tanah gersang dan suhu udaranya panas.
"180 derajat berbeda dari kehidupan kita di Indonesia," kata Anggie singkat.
Cuacanya tropis, suhu udara waktu itu sampai 40 derajat celcius.
"Awalnya saya juga kaget tiba di sana, waktu kita sampai di sana saat itu ada pemberontakan dan perang antar saudara sesama warga negara mereka. Dan yang paling mengagetkan saya kehidupan masyarakat di sana penuh dengan senjata. Bahkan anak-anak yang masih kecil berjalan keluar rumah itu sudah pegang senjata," katanya.
Dia bahkan sempat berpikir, kalau anak ini lepas kendali lalu peluru senjata nyasar kemana-mana bisa tewas.
Tidak hanya itu, warga Afrika Tengah termasuk orang yang sulit menerima pendatang.
"Di suatu waktu saya mengabadikan momen foto, saya memotret lalu mereka lihat, mereka langsung marah dan berontak minta dihapus. Tindakan mereka langsung refresif. Mereka sangat anti dengan lensa kamera. Nah itu baru pengalaman hari pertama, sementara saya melewati penugasan 1,3 tahun lamanya. Sangat banyak lah bang," ujarnya Anggie.
Waktu tak terasa, perbincangan Tribun Batam bersama Anggie sudah 90 menit. Dahaga mulai terasa haus, Anggie pun siang itu memesan segelas air putih hangat.
Sementara wawancara terus berlanjut, tepat di samping Anggie sang ibunda terus mendengarkan kisah sang anaknya.
Anggie mengakui, warga negara kota Bangui Negara Afrika Tengah sulit diajak berdialog. Selain mereka anti dengan pendatang orang juga terkendala bahasa saat akan berkomunikasi dengan mereka.
Bahasa yang dominan digunakan di sana itu bahasa Prancis, namun tidak semua warga Afrika Tengah ini mengerti bahasa Prancis, mereka lebih dominan menguasai bahasa lokal mereka.
Kehidupan masyarakat disana jauh dari kata kehidupan layak. Makannya terancam, air bersih sulit didapat, penerangan minim dan terbatas ditambah angka penyakit tinggi.
"Jadi selama di sana saya selalu membangun dialog bersama anak-anak kecil, para ib-ibu. Mereka itu sangat antusias menyambut kita, hanya saja ada kelompok-kelompok pemberontak yang kerap melakukan pembantaian. Perang perbedaan, agama menjadi sala satu faktor utama pemicunya," ujar Anggie.
Anggie mengaku dalam hatinya kasihan melihat anak-anak sulit mendapat makan, badannya kurus, kerempeng dan kadang tidak terlalu diperhatikan.
"Kita ini kan pasukan penjaga perdamaian, tugas kita menjaga perdamaiaan di negara ini. Kita memiliki tanggungjawab internasional untuk memastikan stabilitas keamanan di negara rawan konflik pembrontakan dapat tetap terkendali," kata Anggie.
Jadi yang mereka lakukan di sana itu, patroli dan patroli. Setiap hari mereka turun operasi pengamanan ketika ada terjadi pemberontakan dan pembantaian.
Karena di sana ada kelompok pemberontak, lengkap dengan susunan personil hingga pimpinannya.
"Untuk menjaga diri, setiap kita keluar dari markas camp kita wajib mengenakan rompi dan wajib senjata serta lengkap dengan peluru. Misi kita menjaga perdamaian dan menjamin stabilitas keamanan negara rawan konflik ini. Jadi Alhamdulliah selama 1,3 tahun bertugas tidak pernah menembak dan membunuh warga," sebutnya.
Anggi mengatakan pihaknya sering dicibir dan diledek oleh warga negara Afrika ketika setiap petugas yang melakukan patroli.
Namun kita harus selalu sabar dan memberikan pemahaman kepada mereka.
Anggie mengakui banyak kisah menarik di sana, mulai dari kami tidur satu tenda 14 orang, listrik susah, sinyal pun sulit ditambah penyakit malaria tinggi.
Disana itu, kata Anggie yang kerap membuatnya menangis saat di kala ia rindu bersama sang ibunda.
Bukan tanpa alasan, Anggi merupakan anak cewek paling sulung dari dua bersaudara.
"Kadang di sana itu sulit sinyal, harga paket kuota mahal. 10 Gb harga 300 ribu, kadang ini hanya satu minggu," kata Anggie.
Peliknya perjuangan banyak dirasakan Anggie selama bertugas di Kota Nagui Afrika Tengah itu.
Bahkan Anggie pernah terseang penyakit malaria dua kali.
Akibatnya Anggie harus minum obat dua kali satu minggu.
Selain itu, permasalahan air untuk mandi terbengkalai lantaran kesulitan air, kalau pun ada kadang harus nimba.
Udara di sana cukup panas, hingga 40 derajat celcius.
Apalagi sebagai wanita, dia dituntut harus mampu bertahan dalam kondisi apapun, mau itu buang air kecil dan buang air besar.
Dalam misi pernah buang air kecil harus membentuk formasi melingkar oleh timnya lalu ia 'pipis' di tengah lingkaran.
Komplit lah cerita disana, Alhamdulliah sudah kembali ke tanah air saat ini.
"Sudah ketemu bang Beres, langsung diwawancara," kata Anggie.
Pulang penugasan baru dua minggu lalu, kini masih menunggu panggilan menghadap dan akan segera kembali berdinas.
Atas perjuangan Anggi, ia pun akhirnya menerima penghargaan satya lancana bhakti buana. (Tribunbatam.id/Beres Lumbantobing)