HUMAN INTEREST
Kisah Wahidin, Penakluk Buaya Anak Sungai Toca, Berjuang Hidup dari Budidaya Ikan
Penakluk buaya anak Sungai Toca, Wahidin pertama datang dan memnbuka lahan dan bercocok tanam sejak usia 19 tahun.
Penulis: Novenri Halomoan Simanjuntak | Editor: Septyan Mulia Rohman
TANJUNGPINANG, TRIBUNBATAM.id - Nama Kampung Bangun sari, Jalan Kepodang, Kelurahan Batu IX, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepri mendadak tenar.
Itu setelah aksi heroik Wahidin menjinakkan buaya sepanjang dua meter, Kamis (17/12) sekira pukul 01.00 WIB dini hari.
Wahidin tinggal di pondok sederhana tepat di area sepanjang anak Sungai Toca.
Akses menuju bangunan kecil permanen itu masih tanah merah. Kondisinya licin dan becek jika turun hujan.
Walau suasana ditempat itu terasa sepi karena jauhnya jarak rumah antar warga, namun pemandangan yang ada terkesan asri karena banyaknya tanaman yang menghiasi berupa tanaman muda maupun tua milik si empunya lahan.
Di sekitar lahan tersebut juga terdapat tiga kolam ikan galian, berbentuk persegi dengan ukuran kira-kira 9x12 meter tepat menghadap anak Sungai Toca.

Wahidin yang tak lagi muda, kini berusia 69 tahun, kulitnya tampak keriput dan gerakannya mulai melambat.
Tak seperti awal pertama kali Ia datang membuka lahan di Kampung Bangun Sari namun akibat tuntutan hidup Ia mesti menjalani pilihan tersebut.
"Kami transmigran dari Jawa, ibu saya seorang janda dan kami hanya hidup berdua saat masuk ke Tembeling, Bintan Tahun 1963.
Sehari-hari Saya bekerja mencari kayu bakar dan membantu ibu menoreh getah pohon karet, di samping itu ibu juga menjadi pembantu di rumah orang," kata Wahidin kepada TribunBatam.id, Sabtu (19/12).
Wahidin mengaku sempat mengenyam bangku pendidikan di sekolah berdikari, namun tidak kembali melanjutkan sekolah di jenjang berikutnya akibat terkendala biaya.

Akibat kondisi hidup, Akhirnya tahun 1970 saat usianya masih 19 tahun, ia memutuskan menikah dan tahun 1976 masuk ke wilayah Bangun Sari membuka lahan untuk bercocok tanam.
Bakat bercocok tani sepertinya sudah mengalir dalam dirinya.
Karena dari orang tua juga sudah buruh tani dan terbiasa mengandalkan hasil sumber daya alam untuk hidup.
Namun hasil penjualan kebun menurutnya tidak cukup untuk membiayai kebutuhan isteri dan anak-anaknya.