52 Tahun Jadi Terpidana Mati Karena Ngaku Membunuh Saat Interogasi Brutal, Kini Sidang Ulang
Iwao Hakamada yang kini sudah berusia 84 tahun itu di vonis hukuman mati tahun 1968, namun hingga kini tidak pernah dieksekusi
Penulis: Mairi Nandarson | Editor: Mairi Nandarson
TOKYO, TRIBUNBATAM.id - Iwao Hakamada bisa dikatakan sebagai terpidana mati terlama di dunia.
Iwao Hakamada yang kini sudah berusia 84 tahun itu di vonis hukuman mati tahun 1968, namun hingga kini tidak pernah dieksekusi.
Artinya sudah 52 tahun Iwao Hakamada menyandang status terpidana mati.
Kini banding yang diajukannya ke Mahkamah Agung Jepang memutuskan untuk persidangan ulang kasus pembunuhan yang dituduhkan kepada dirinya.
Baca juga: Gara-gara Anjing, Ayah dan Anak Saling Tembak, Keduanya Tewas
Baca juga: Rumor Transfer Inter Milan - Lepas Christian Eriksen, Inter Milan Incar Pemain Atalanta Papu Gomez
Sebelumnya Iwao Hakamada (83 tahun) di vonis mati dalam kasus perampokan dan pembunuhan terhadap bos, istri bos dan dua anak bosnya.
Iwao Hakamada adalah mantan atlet tinju.
Dia dan orang terdekatnya pernah menyatakan bahwa Iwao Hakamada mengaku melakukan kejahatan dalam sebuah interogasi yang brutal dilakukan pihak kepolisian saat itu.
Orang terdekatnya berusaha mencabut laporan pengakuan tersebut, namun keputusan pengadilan keburu dijatuhkan kepadanya.
Iwao Hakamada divonis hukuman mati pada tahun 1968 itu.
Mahkamah Agung kemudian menguatkan putusan itu pada tahun 1980.
Baca juga: Korea Selatan Pakai Vaksin Pfizer Order 20 Juta Dosis, PM: Kami Tak Akan Suntikan Kecuali Yakin Aman
Baca juga: Manchester United 3 Besar Klasemen Liga Inggris, Ole Tolak Bicara Peluang Juara: Fokus Kami Performa
Namun, dalam kasus yang jarang terjadi pada sistem peradilan Jepang yang kaku, pengadilan distrik di pusat kota Shizuoka pada tahun 2014 mengabulkan permintaannya untuk persidangan ulang.
Pengadilan Distrik mengatakan penyelidik bisa saja menanam bukti dan memerintahkan pembebasan mantan petinju itu.
Pengadilan Distrik menambahkan "sangat tidak adil" untuk menahannya menunggu persidangan baru.
Jaksa mengajukan banding atas putusan pengadilan distrik itu, dan menang di Pengadilan Tinggi Tokyo.
Keputusan Pengadilan Tinggi Tokyo mendorong Hakamada mengajukan kasus tersebut ke Mahkamah Agung, yang pada Rabu (23/12/2020) diputuskan menguntungkannya, mendukung persidangan ulang.
"Mahkamah Agung membuat keputusan untuk menegakkan pengadilan ulang dengan membatalkan keputusan Pengadilan Tinggi Tokyo untuk menolak permintaan pengadilan ulang," tulis pengacara Hakamada Yoshiyuki Todate di blognya.
Baca juga: Malaysia Pakai Vaksin Covid-19 Pfizer, PM Malaysia Muhyiddin Yassin Siap Disuntik Pertama
Baca juga: Singapura Konfirmasi 1 Orang Terinfeksi B117, Varian Baru Covid-19 yang Menyebar Cepat di Inggris
"Sangat disambut baik bahwa jalur untuk dimulainya kembali sidang ulang tidak terputus."
"Tangan saya masih gemetar setelah mendengar ini. Saya sangat, sangat senang."
Pendukung mengatakan hampir 50 tahun penahanan, sebagian besar di sel isolasi dengan ancaman eksekusi yang selalu membayangi dirinya, berdampak besar pada kesehatan mental Hakamada.
Dalam sebuah wawancara dengan AFP pada 2018, mantan petinju itu mengatakan dia merasa "berjuang setiap hari".
Jepang adalah satu-satunya negara industri demokrasi besar selain Amerika Serikat yang melaksanakan hukuman mati, yang masih mendapat dukungan publik yang luas, meskipun perdebatan tentang masalah ini jarang terjadi. ( afp/japantoday)
Baca juga: Jadwal Liga Italia Pekan 15: Inter Milan vs Crotone, Benevento vs AC Milan, Juventus vs Udinese
Di Indonesia Ada 538 Terpidana Menunggu Dihukum Mati
Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) mencatat ada 538 terpidana mati yang sedang menunggu untuk dieksekusi.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kemenkumham, Sri Puguh Budi Utami, mengatakan para terpidana mati itu terdiri dari macam variasi umur.
Rinciannya, 16-20 tahun sebanyak 16 orang, 11-15 tahun (37 orang), 6-10 tahun (97 orang), dan 8 bulan-5 tahun (204 orang).
"Dari 538 terpidana tersebut, 4 orang di antaranya tengah menunggu waktu eksekusi selama lebih dari 20 tahun," ucap Sri dalam webinar Peluncuran Laporan Hukuman Mati 2020: Fenomena Deret Tunggu Terpidana Mati di Indonesia lewat saluran Youtube ICJR, Kamis (8/10/2020) lalu.
Sri mengatakan bahwa waktu menunggu untuk dieksekusi tersebut membikin para terpidana mati mengalami gangguan psikis juga mental.
"Banyak sekali mereka yang saat ini dijatuhi pidana mati ini beberapa kali melukai dirinya, mungkin sudah tekanan psikologis yang sangat luar biasa," katanya.
Menurut Sri, hal itu juga membuat hukuman mati dan hukuman seumur hidup seakan tak ada bedanya.
"Pidana mati itu kan pidana sampai mati, biarkan lah saja saya di lapas di sini sampai mati, kan sampai mati juga," tutur Sri menirukan ucapan terpidana mati.
Makanya, ia mengusulkan agar ada skema komutasi di mana terpidana mati yang 10 tahun menjalani masa pidana dan berkelakuan baik dapat diubah hukumannya menjadi seumur hidup.
Sebab, menurut Sri, tidak sedikit terpidana mati yang sikapnya telah berubah menjadi baik selama menunggu eksekusi mati tersebut.
"Ada satu cerita saudara kita yang sudah menjalani pidana 15 tahun menunjukkan perubahan sikap yang sangat baik, tidak sekadar sadar tapi juga produktif karena sudah menghasilkan secara ekonomi untuk mendukung kehidupan keluarganya, eh ndilalah harus menjalani eksekusi mati," tutur Sri.
.
.
.
sumber: japantoday.com, Tribunnews.com, baca berita lainnya di google news