HUMAN INTEREST
HIDUP di Sampan sebagai Suku Laut, Junia: Saya Kecil Hati, Diejek Orang 'Mantang' atau 'Orang Barok'
Hal inilah yang membuat anak-anak Suku Laut sering diejek sebagai orang “mantang” (berkulit hitam kumal) dan orang “barok” (kulit seperti monyet)
Penulis: Febriyuanda | Editor: Thom Limahekin
Editor: Thomm Limahekin
TRIBUNBATAM.id, LINGGA - Orang-orang Suku Laut pernah tinggal terpencil. Mereka tidak berbaur dengan warga lainnya. Mereka tinggal dan bertahan hidup di atas sampan. Karena itu, orang sering menyebut mereka dengan Komunitas Adat Terpencil (KAT).
Kini sebagian dari mereka sudah turun ke darat. Mereka mulai perlahan-lahan beradabtasi dengan kehidupan selain di laut.
Kampung Baru, Desa Sungai Buluh, Kecamatan Singkep Barat misalnya jadi tempat tinggal mereka saat ini.
Seorang tokoh Suku Laut, Aspira (67) menuturkan orang-orang Suku Laut sebelumnya tinggal di sampan (perahu dayung).
Mereka melakukan segala sesuatu di atas sampan, baik memasak, tidur, mandi maupun kegiatan sehari-hari lainnya.
Baca juga: Profil Singkat Deb Haaland, Wanita Suku Asli Amerika yang Ditunjuk Biden jadi Mendagri AS

Sekitar sekitar tahun 1990-an, pemerintah perlahan-lahan mengajark mereka untuk tingkat di darat. Pemerintah membangun rumah-rumah bagi mereka di Desa Sungai Buluh.
Namun, mereka masih tertutup dan belum berbaur dengan warga lain. Kehidupan ekonomi pun masih belum membaik. Mereka hanya menafkahi hidup dengan mengandalkan hasil laut.
Toko Suku Laut lainnya, Agus (64) mengatakan dia mulai pindah ke rumah, Kampung Baru, Desa Sungai Buluh sejak tahun 1980-an.
"Seingat saya 80-an kalau tak salah. Dulu saya tinggal di Pulau Pilang (rumah kayu di atas laut)," ucap Agus kepada Tribun Batam, Senin (4/1/2021) siang.
Semua orang Suku Laut di Kampung Baru, Desa Sungai Buluh ini hidup secara bersama. Mereka memiliki pertalian darah yang erat dan sangat kompak antara satu dengan yang lain.
Suku Laut memiliki tubuh dengan kulit hitam agak bersisik dan rambut ikal.
Baca juga: PROFIL Nanaia Mahuta, Menteri Luar Negeri Wanita Bertato di Wajah, Penduduk Asli Suku Maori

Hal inilah yang membuat anak-anak Suku Laut sering diejek dengan sebutan orang “mantang” (berkulit hitam kumal) dan orang “barok” yang artinya (kulit hitam gelap seperti kulit monyet).
Ketua RT 01 Kampung Baru, Indra Kardi (33) mengungkapkan semenjak pindah ke Desa Sungai Buluh, Dia merasa orang-orang Suku Laut sering terasing dari warga setempat.
"Saya dulunya tinggal di pancur (Lingga Utara).
Dulu memang ada yang bilang terasing.
Saat nikah saya pindah ke sini, tempat istri.
Jujur saya merasa masyarakat di sini sering diasingkan di desa," ungkap Kardi.
Senada dengan Kardi, Junia (28) yang pernah putus sekolah, akhirnya hanya tamat sekolah dasar karena merasa terkucilkan.
"Saya besar di sini jadi saya tahu, saat SD dulu sering dikatain kawan-kawan "orang laut".
Setiap hari, saya kecil hati dan malu diejek seperti itu.
Hingga sekarang anak-anak yang masuk SMP, SMA malu sering dikucilkan dan diejek.
Akhirnya banyak putus sekolah dan pilih melaut," ungkap Junia.
Baca juga: Hidup di Atas Sampan, Begini Kesederhanaan Hidup Masyarakat Suku Laut Asli Kepulauan Riau
Dulu Hidup di Sampan Saja, Kini Punya Motor
BERDASARKAN data dari Kantor Desa Sungai Buluh, selama tahun 2018, ada 18 orang putus sekolah, 9 orang tidak bersekolah sama sekali, 5 orang hanya tamat SD, dan mereka yang masih aktif SD, SMP dan SMA sebanyak 38 orang dan terus berkembang sampai sekarang.
"Kalau untuk pendidikan, orang tua sangat menyokong pendidikan sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Tapi kehendak anak beda, merasa tidak semangat," ucap Kardi.
Sejalan perkembangan zaman, orang-orang Suku Laut sudah mengalami perubahan.
Dari ekonomi misalnya, sekarang ini mereka sudah banyak memiliki perkerjaan sampingan antara lain buruh barang di pelabuhan dan buruh bangunan rumah.
Dari pekerjaan ini, mereka bisa menambah penghasilan ekonomi keluarga.

Kini mereka bisa memperbaiki rumah, membeli handphone, sepeda motor, menyekolahkan anaknya dan memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Mereka juga sudah mau berinterksi dengan masyarakat lainnya.
" Alhamdulillah sekarang sudah beda.
Rasa terasing itu mulai kurang.
Karena orang-orang kami sudah mulai berbaur dengan masyarakat kampung lain.
Ada yang sudah kerja di kantor desa dan lain-lain.
Walaupun sedikit ada rasa dibedakan, tapi lebih baik daripada dulu," terang Julia.
Kardi menambahkan orang-orang Suku Laut di Kampung Baru merasa Kepala Desa Sungai Buluh, Agus Setiawan sudah paling bagus di antara kades-kades sebelumnya.
Sebab, aspirasi mereka didengar oleh kepada desa yang satu itu. Mereka berharap agar kepala-kepala desa ke depan bisa bersikap seperti Agus.
"Karena dia kampung kami mulai berkembang.
Alhamdulillah, 2 bulan ini kami terima bantuan kaisar yang telah kami ajukan untuk mengantar anak-anak sekolah.
Dengan ini, anak-anak tidak pernah bolos lagi, biasanya jalan kaki," terang Kardi.
Kardi juga berharap agar pemerintah desa atau kecamatan mengalokasikan anggaran untuk biaya antar jemput anak sekolah.
Baca juga: Sejarah Suku Laut di Kepri dan Cara Mereka Bertahan Hidup di Laut Sepanjang Hidupnya
"Karena memang ini tidak dibayar.
Setiap hari saya antar jemput anak sekolah Kampung Baru.
Saya utang ongkos bensin dulu.
Jadi, tiap bulan terpaksa saya harus minta tarikan Rp 20 ribu dari anak-anak.
Ya mau gimana lagi," ungkap ayah dari dua anak itu.
Di tempat yang sama, Linmas Kantor Desa Sungai Buluh, Ali yang sudah bekerja belasan tahun, merasa bersyukur dan tidak merasa diasingkan lagi.
"Sekarang satu orang laut sudah menjadi pegawai, guru di Setawar.
Ada juga bekerja di Puskesmas Raya.
Alhamdulillah sekarang sudah ada perubahan, tidak seperti dulu," kata Ali. (TRIBUNBATAM.id/Febriyuanda)