Pajak Jualan Pulsa, Kartu Perdana, dan Token Listrik Bikin Harga Mahal? Ini Penjelasan Pejabat Pajak
Terhitung 1 Februari 2021, pemerintah menarik pajak penghasilan penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucher.
"Perlu ditegaskan bahwa pengenaan pajak (PPN dan PPh) atas penyerahan pulsa/kartu perdana/token listrik/voucher sudah berlaku selama ini, sehingga tidak terdapat jenis dan objek pajak baru," ujar Hestu dalam keterangan, Jumat (29/1).
Hestu lalu menegaskan beberapa hal pokok terkait pemungutan pajak berdasarkan ketentuan baru tersebut.
Pertama, terkait pulsa dan kartu perdana. Pemungutan PPN hanya sampai distributor tingkat II (server).
Sehingga untuk rantai distribusi selanjutnya seperti dari pengecer ke konsumen langsung tidak perlu dipungut PPN lagi.
Distributor pulsa juga dapat menggunakan struk tanda terima pembayaran sebagai Faktur Pajak sehingga tidak perlu membuat lagi Faktur Pajak secara elektronik (eFaktur).
Kedua, terkait token listrik. PPN dikenakan hanya atas jasa penjualan/pembayaran token listrik berupa komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual token, dan bukan atas nilai token listriknya.
Ketiga, terkait voucer, PPN hanya dikenakan atas jasa pemasaran voucer berupa komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual voucher, bukan atas nilai voucher itu sendiri.
"Hal ini disebabkan voucher diperlakukan sebagai alat pembayaran atau setara dengan uang yang memang tidak terutang PPN," tambah Hestu.
Di sisi lain, pemungutan PPh Pasal 22 untuk pembelian pulsa/kartu perdana oleh distributor, dan PPh Pasal 23 untuk jasa pemasaran/penjualan token listrik dan voucher, merupakan pajak yang dipotong di muka dan tidak bersifat final. Nah, atas pajak yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan oleh distributor pulsa atau agen penjualan token listrik dan voucer dalam SPT Tahunan.
Mengurangi Tax Gap
Dilansir Kontan, Pengamat pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam melihat urgensi pengaturan PPN dan PPh ini menjadi bagian dari upaya pemerintah dalam mengurangi tax gap.
Sebelumnya, tax gap memang sedang dialami oleh Indonesia.
Apalagi, dalam kondisi adanya pandemi Covid-19, pemerintah sudah banyak melakukan relaksasi fiskal dan insentif. Di satu sisi, pemerintah juga tengah menjaga penerimaan pajak yang harus menjadi perhatian dalam rangka mengelola risiko fiskal ke depan.
“Oleh karena itu, strategi penerimaan pajak yang cukup jitu ialah mengurangi tax gap, yaitu menutup celah potensi penerimaan pajak yang seharusnya bisa diterima oleh pemerintah,” jelas Darussalam kepada Kontan.co.id, Jumat (29/1).
Menurutnya, dalam praktik selama ini, yang sering terjadi adalah kebingungan dalam hal administrasi pemungutan PPN atas barang-barang tersebut. Dengan adanya peraturan ini, ia yakin bisa memberikan kepastian hukum dan kesederhanaan tata cara pemungutan PPN.