BATAM TERKINI
Ombudsman Kepri Ungkap Fakta, TPS dan Insenerator di Batam dan Tanjungpinang Tak Berizin
Ombudsman Kepri menemukan beberapa masalah sebagai hasil dari kajian sistemik yang dilakukan di Batam dan Tanjungpinang serta mengungkap fakta ini.
BATAM, TRIBUNBATAM.id - Ombudsman RI Perwakilan Kepulauan Riau melakukan kajian sistemik Pengelolaan dan Pengawasan Limbah Medis di Indonesia dengan mengambil sampel Fasyankes di Batam dan Tanjungpinang tahun 2020.
Kajian sistemik ini dimaksudkan untuk mendorong perbaikan tata kelola dan pengawasan pengelolaan limbah medis.
"Yang bertujuan memberikan saran kepada pemerintah guna perbaikan prosedur pelayanan publik, sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia," ujar Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Kepri, Lagat Parroha Patar Siadari, Selasa (9/2/2021).
Diakuinya, Ombudsman Kepri menemukan beberapa masalah sebagai hasil dari kajian sistemik yang dilakukan.
Pertama, semua Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) dan Insenerator tidak memiliki Izin.
Hal tersebut dikarenakan besarnya biaya pengurusan izin dan persyaratan yang harus dipenuhi penyelenggara.
Kedua, petugas penyelenggara fasyankes dan petugas pengelola limbah tidak menggunakan alat pelindung diri yang memadai.
Ketiga, tidak adanya SOP sebagai panduan dalam pemilahan dan pewadahan.
• TPA Sudah Penuh, DLH Batam Cari Kapal Angkut Sampah dari Belakangpadang ke TPA Punggur
Keempat, Puskesmas tidak memiliki manifest limbah medis dan tidak memiliki TPS yang memadai.
Kelima, lanjut Lagat, proses penyimpanan yang melebihi waktu maksimal dikarenakan volume yang belum memenuhi batas minimum untuk diangkut oleh transporter, dengan waktu pengangkutan yang tidak terjadwal. Keenam, alat pengangkut tidak sesuai standar alat transportasi pengangkut limbah.
"Ketujuh, besarnya biaya pengolahan akhir limbah, dikarenakan hanya terdapat satu badan usaha penimbun yaitu PT. PPLI yang berlokasi di Jawa Barat, sehingga mengakibatkan biaya transportasi yang besar apabila dilakukan pengiriman limbah akhir dari badan usaha di luar pulau Jawa," papar Lagat.
Terakhir, katanya, kurang maksimalnya peran pengawas dari Pemerintah daerah dalam mengawasi pengelolaan limbah medis yang ada diwilayahnya yang disebabkan oleh minimnya anggaran, Sumber Daya Manusia, sarana dan prasarana.
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, Ombudsman RI Perwakilan Kepulauan Riau memberikan beberapa saran, baik untuk Pemerintah, Fasyankes (penghasil limbah) dan kepada Badan Usaha Pengelola Limbah.
Adapun saran kepada Pemerintah di antaranya:
1. Agar melengkapi peraturan perundangan yang belum mengakomodir kebutuhan dalam proses pengelolaan limbah medis, khususnya SOP dan/atau juknis yang belum disusun.
