BERITA MALAYSIA
Mahathir Mohamad Enggan Jadi Perdana Menteri Malaysia, Berjuang di Dewan Pemulihan Nasional
Mahathir Mohamad menegaskan dirinya tidak ingin menjadi Perdana Menteri Malaysia. Namun ia ingin menjadi dewan pemulihan nasional
MALAYSIA, TRIBUNBATAM.id - Mahathir Mohamad menegaskan dirinya tidak ingin menjadi Perdana Menteri Malaysia.
Namun ia ingin menjadi ujung tombak Dewan Operasi Nasional (NOC), atau Dewan Pemulihan Nasional.
Penegasan Mahathir Mohamad menjawab siapa yang akan menjabat Perdana Menteri Malaysia ke-9.
Kisruh politik di Malaysia di tengah pandemi Covid-19 menjadikan Muhyiddin Yassin mundur dari Perdana Menteri.
Raja Malaysia tengah meminta partai politik mengusulkan nama-nama. Raja Malaysia dijadwalkan hari ini bertemu dengan parlemen.
Nama-nama calon Perdana Menteri Malaysia yang mencuat adalah Anwar Ibrahim dan Ismail Sabri Yaakob.
Baca juga: 4 Sosok Ini Digadangkan Jadi PM Malaysia, Ada Nama Arwan Ibrahim, Siapa Ditunjuk Raja Malaysia?
Mahathir Mohamad berbicara di Bernama TV mengatakan dirinya tidak tertarik menjadi Perdana Menteri.
Namun ingin berkiprah dalam NOC, yang lebih dikenal dengan akronim bahasa Melayu Mageran.
"Saya tidak ingin menjadi perdana menteri. Saya ingin memimpin Mageran atau Dewan Pemulihan Nasional. Tapi apapun keputusan dewan, pemerintah harus menerima.
“Kami khawatir… orang-orang menderita, banyak yang sakit, banyak yang meninggal, dan banyak yang bunuh diri.
"Tidak penting jadi perdana menteri, yang penting menangani masalah yang kita hadapi, yaitu pandemi Covid-19," katanya seperti dilansir News Strait Times.
Ditanya kapan batas waktu berakhirnya Mageran, Mahathir mengatakan dia tidak bisa memprediksi kapan Covid-19 akan berakhir.
Dia mengatakan telah mengusulkan gagasan Mageran atau dewan pemulihan kepada pemerintah sebelum jumlah kasus tinggi.
“Waktu itu baru sekitar 2.000 kasus, jadi lebih mudah penanganannya. Kami punya banyak ide, tapi (pemerintah) tidak mengizinkan saya, mereka ingin melakukannya sendiri.
"Sejak saat itu jumlah kasus naik menjadi 6.000, lalu 9.000, 14.000, sekarang 22.000. Ini yang dilakukan pemerintah.