China Usik Laut Natuna Utara Kepri, Desak Indonesia Stop Pengeboran Migas

China semakin ngotot jika Laut Natuna Utara merupakan wilayahnya. Mereka juga meminta Indonesia untuk menghentikan aktivitas migas di sana.

TRIBUNBATAM.ID/ISTIMEWA
China mengklaim Laut Natuna Utara sebagai wilayahnya. Ia juga meminta Indonesia untuk menghentikan aktivitas pengeboran migas di sana. Foto kapal Coast Guard China 5204 akhirnya bergerak keluar ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara, Senin (14/9/2020). 

TRIBUNBATAM.id - China kembali mengklaim jika Laut Natuna Utara bagian terdepan Indonesia dekat Provinsi Kepri adalah wilayah mereka.

Mereka bahkan meminta kepada pemerintah Indonesia untuk menghentikan aktivitas pengeboran minyak dan gas (migas) di sana.

Permintaan itu dipertegas dengan surat dari Diplomat China ke Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Republik Indonesia.

Menurut mereka, lokasi tempat pengeboram minyak lepas pantai itu merupakan wilayahnya.

China juga keberatan dengan perubahan nama dari Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara.

Mereka beranggapan jalur air itu masih berada dalam klaim teritorialnya yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus berbentuk U atau yang dikenal dengan dash nine line.

Sementara Indonesia mengatakan ujung selatan Laut Cina Selatan adalah zona ekonomi eksklusifnya di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut.

Klaim China akan Laut Natuna Utara sebelumnya terungkap saat kapal militer mreka terlihat oleh nelayan lokal di Kabupaten Natuna, Kepri masuk wilayah Indonesia pada September 2021.

Militer laut Indonesia pun bereaksi dengan mengerahkan sejumlah armadanya untuk menjaga wilayah terdepan. 

Baca juga: Petenis China Buat Gempar, WTA Sampai Tangguhkan Turnamen Akibat Pengakuannya

Baca juga: China Buat AS hingga Inggris Cemas, Kembangkan Senjata Mematikan sampai Kecerdasan Buatan

Indonesia menamai wilayah tersebut dengan Laut Natuna Utara pada 2017.

Berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (Unclos), Indonesia memiliki hak berdaulat untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam di ZEE dan landas kontinennya.

Seperti dilansir Kontan, Kamis (2/12), Unclos Pasal 73 juga memberikan kewenangan kepada Indonesia untuk menegakkan hukum dan peraturan nasionalnya terhadap kapal asing yang menangkap ikan secara ilegal di ZEE Indonesia tanpa persetujuan Indonesia.

Pemerintah Indonesia sendiri telah mencoba terus meningkatkan keberadaan kapal nelayan penangkap ikan lokal di Natuna Utara.

Kehadiran warga sipil di Natuna Utara, dalam hal ini nelayan lokal, akan menguatkan klaim Indonesia atas kepemilikan perairan yang rawan sengketa itu.

Namun, sebagian besar nelayan lokal di Natuna adalah operator skala kecil, sehingga berlayar hingga 200 mil laut di zona ekonomi eksklusif tetap menjadi tantangan.

Pemerintah juga punya rencana untuk mengirim kapal penangkap ikan yang lebih besar dari Jawa untuk menangkap ikan di Laut Natuna Utara.

Namun, tampaknya rencana itu menimbulkan gesekan dengan nelayan lokal di Natuna.

Sementara itu dilansir dari media terkemuka Malaysia, The Star, China menuntut Indonesia menghentikan kegiatan pengeboran minyak dalam nota diplomatik dengan alasan bahwa itu terjadi di wilayah yang diklaim Beijing sebagai bagian dari perairan tradisional milik mereka.

Baca juga: Janji China Bantu Negara di Afrika Terkait Covid-19, Vaksin hingga Investasi Fantastis

Baca juga: KSAL Laksamana Yudo Margono Perintahkan Prajuritnya Patroli Udara di Laut Natuna Utara

Nota protes China dikirim beberapa bulan lalu saat kapal penelitiannya melintasi bagian Laut China Selatan yang menurut Indonesia adalah bagian dari zona ekonomi eksklusifnya di lepas pantai Kepulauan Natuna.

"Argumen (China) mereka adalah bahwa lokasi pengeboran melanggar batas Nine-Dash Line," kata anggota DPR Muhammad Farhan, merujuk pada jalur yang digunakan China untuk mengklaim sebagian besar Laut China Selatan.

"Tentu saja pemerintah Indonesia menolak (klaim) itu karena kami berpegang pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut," katanya.

Indonesia tidak melihat dirinya sebagai pihak dalam bersengketa di Laut China Selatan, karena menganggap memiliki klaim hak maritim di perairan lepas Kepulauan Natuna. Kapal Indonesia dan China beberapa kali mengalami gesekan di perairan di bagian selatan Laut China Selatan.

Pada tahun 2017, Indonesia mengganti nama wilayah Laut Natuna Utara, memicu protes dari China, yang menyatakan bahwa itu adalah daerah penangkapan ikan tradisionalnya.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, menolak mengomentari hal itu dan mengatakan bahwa catatan diplomatik bersifat rahasia.

Baca juga: Pangkogabwilhan I ke Anambas Setelah Kapal Cina Masuk Laut Natuna Utara

Baca juga: China Kerahkan 27 Jet Tempur Masuk Zona Udara Taiwan Buntut Kunjungan Delegasi AS

Singapura dan Migas Laut Natuna Utara

Tambang migas di Laut Natuna Utara, Provinsi Kepri sebelumnya buat Singapura pusing.

Negeri Singa itu bahkan mengalami krisis energi.

Pasokan gas alam dari perbatasan Indonesia melalui pipa West Natuna yang mengalami gangguan sejak Juli 2021 diketahui menjadi penyebabnya.

Seperti diketahui, Singapura merupakan negara yang bergantung pada gas untuk pembangkit listrik.

Negara ini pun hampir memenuhi semua kebutuhan energinya dengan impor.

Gangguan distribusi dari Indonesia ke Singapura sejak Juli 2021 dibenarkan SKK Migas.

Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno menegaskan jika distribusi sudah kembali normal.

Kondisi ini disebabkan penurunan laju produksi gas akibat penghentian yang tidak direncanakan (unplanned shutdown) di Lapangan Anoa.

Baca juga: Baju Anti Dingin Milik Militer China Diantar Langsung ke Pebatasan India

Baca juga: BPH Migas Sebut Stok BBM Kepri Aman hingga Akhir Tahun: Jangan Panic Buying

Selain itu, sempat ada pengurangan pasokan gas karena pemeliharaan terencana (planned shutdown) di Lapangan Gajah Baru.

Produksi kedua lapangan migas yang terletak di Natuna itu telah menyebabkan produksi gas di Natuna turun 27,5 persen dari puncak sebelumnya menjadi 370 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd).

"Memang terjadi unplanned shutdown di salah satu produsen gas kita.

Tetapi hanya beberapa hari saja dan sekarang sudah kembali normal operation," ungkapnya seperti dikutip Kompas.com, Kamis (21/10/2021).

Kendati distribusi ke Singapura sudah kembali normal, tetapi pasokan gas dari Indonesia belum sepenuhnya bisa memenuhi permintaan Singapura.

"Sekarang sudah normal tetapi masih di batas bawah, jadi kalau ada demand (permintaan) lebih ke buyer (pihak pembeli) belum bisa terpenuhi," kata Julius.

Mengutip Channel News Asia (CNA), Kamis (21/10/2021), regulator energi Singapura, Energy Market Authority (EMA) menyatakan, pasokan gas yang lebih rendah dari Indonesia dan dibarengi tingginya permintaan listrik dari biasanya, telah membuat harga listrik di negara itu melonjak.

Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yakni permintaan listrik yang lebih tinggi dari biasanya di dalam negeri dan pengurangan pasokan gas alam perpipaan dari Indonesia.

Di sisi lain, harga gas alam cair (LNG) di global yang meningkat pesat saat ini, turut menjadi penyebab krisis energi.

Hal itu membuat perusahaan pembangkit listrik di Singapura sulit beralih ke pembelian LNG untuk menutupi kekurangan pasokan gas pipa dari Indonesia.

Tingginya harga gas yang berimbas pada lonjakan harga listrik di Singapura, setidaknya telah membuat tiga perusahaan listrik menyetop usaha mereka.

Ketiganya yakni Best Electricity Supply, Ohm Energy, dan iSwitch Energy.

Sementara, salah satu perusahaan energi listrik lainnya, Union Power menyatakan, pada awal pekan bahwa mereka mengurangi 850 akun pelanggan terutama komersial di tengah tarif listrik yang tinggi.

Langkah ini diambil sebagai bagian dari reorganisasi bisnis.(TribunBatam.id) (Kompas.com/Muhammad Idris/Yohana Artha Uly)

Baca juga Berita Tribun Batam lainnya di Google

Berita Tentang China

Sumber: Kompas.com

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved