TRIBUN BATAM PODCAST

Tribun Podcast, Strategi BKKBN RI Turunkan Angka Stunting hingga 14 Persen pada 2024

Drs Tavip Agus Rayanto, Sekretaris Utama BKKBN RI hadir sebagai narasumber dalam program Tribun Batam Podcast bahas akselerasi program tekan stunting

Penulis: Febriyuanda | Editor: Dewi Haryati
tribunbatam.id/istimewa
Tribun Batam Podcast dengan narasumber Drs Tavip Agus Rayanto, Sekretaris Utama BKKBN RI 

LINGGA, TRIBUNBATAM.id - Tribun Batam menghadirkan Drs Tavip Agus Rayanto, Sekretaris Utama BKKBN RI sebagai narasumber dalam program Tribun Batam Podcast. Topik yang diangkat "Akselerasi Program Percepatan Penurunan Stunting Tahun 2024 Menuju 14 Persen"

Simak wawancara eksklusifnya, keterangan: Tribun Batam = TB, Tavip Agus Rayanto = TAR

TB: Bisa dijelaskan apa kira-kira strateginya agar angka stunting ini bisa turun hingga 14 persen?

TAR: Jadi sebetulnya kalau bicara angka stunting Indonesia di mata negara-negara ASEAN sebetulnya tidak buruk-buruk amat, karena angka di Asean itu masih pada berkisar 25,4 persen, sekarang Indonesia di tahun 2023 sumber sementaranya adalah data SKI, Survei Lesehatan Indonesia itu adalah 21,5 persen, artinya kita sudah di bawah itu.

Kemudian bicara kenapa tahun 2024 ini dalam target untuk menuju 14 persen, tentu ini adalah terkait dengan kebijakan politik. Karena di perencanaan itu ada namanya kebijakan teknokratis dan kebijakan politik. Kebijakan teknokratis itu biasanya dokumen perencanaan dan target yang disiapkan oleh Bappenas.

Baca juga: Penanganan Stunting di Kepri Termasuk Batam, Pemprov Alokasikan Rp 4 Miliar

Nah, kemudian dari dokumen yang ada akan direview oleh presiden terpilih. Kebetulan tahun terakhir pemerintahan Pak Jokowi, inilah yang kemudian kenapa yang saya sebutkan rancangan teknokratis yang sebelumnya 18,5 yang sudah disiapkan Bappenas, tapi komitmen Pak Jokowi maunya 14 persen, maka akhirnya rancangan itu politik itu masuk ke dunia teknokratis, akhirnya draft Bappenas yang targetnya 18,5 persen dirubah 14 persen.

Kalau kita melihat tahun 2007 itu agak stunting kita itu kan masih pada angka 37, 2 persen secara apa nasional sekarang pada posisi sudah 21,5 kalau kita melihat trend penurunan mulai tahun 2007 sampai sekarang sebetulnya itu trend turunnya sudah dalam track baik.

Artinya trend itu karena di negara-negara seperti ini, saya punya referensi ya yang jadi rujukan akademisi untuk belajar stunting itu, ada Peru ada Thailand, Brazil, Vietnam itu turun yang normal itu ya sekitar 4 poin 4 digit gitu. Padahal kita kalau lihat dari 37 menuju 21 sebelumnya kan sudah cukup banyak penurunan.

Oleh karena itu yang sudah baik secara internasional tetapi karena Pak Presiden punya semangat lebih makanya effort nya lebih besar. Ini kemudian kita perlu men strategikan baik dalam konteks jangka pendek maupun yang sifatnya jangka menengah.

Dalam konteks jangka pendek ini ada dua hal hal yang sifatnya metodologis, maupun hal yang sifatnya strategi operasional di lapangan. Hal yang sifatnya metodologis bahwa angka stunting selama ini kan didapat dari dua sumber satu sumber itu adalah survei, sampel langsung ke lapangan, itulah yang kemudian sekarang digunakan untuk mengukur kinerja Indonesia, dulu namanya SSGBI, berubah menjadi SSGI, berubah lagi menjadi SKI. Tapi itu semuanya adalah hanya sampel. Nah itulah yang kemudian jadi rujukan menentukan angka stunting kita berapa, baik oleh Kementerian Bappenas baik oleh KL, maupun untuk dunia internasional.

Yang kedua ada data yang sifatnya pencatatan real time, orang datang ke Posyandu ngukur kemudian terupdate melalui sebuah aplikasinya Kemenkes e-PPGBM, nah itulah yang kemudian real time.

Sayangnya dua data ini gate nya jauh, yang e-PPGBM cenderung rendah refalensi rendah stunting nya, sementara SKI 21,5 untuk nasional.

Nah terkait itu kemudian banyak kepala daerah ya nggak percaya terhadap sampel yang dilaksanakan gitu, sudah kerja keras, kok hasilnya nggak turun malah naik termasuk di Provinsi Kepri. Oleh karena itulah ketika rapat dengan Pak wakil presiden gitu kemarin, kemudian secara metodologis yang tadi saya katakan adalah kita diberi waktu 2 bulan untuk melakukan koreksi perbaikan, kalau bahasanya Pak kepala bisa BKKBN menyepadankan.

Cara menyepadankan gimana, agar kemudian bisa diterima baik akademisi, baik diterima dunia, karena ini kan menyangkut metodologi yang harusnya memang betul-betul diakui. Maka caranya adalah bagaimana mendorong masyarakat itu berbondong-bondong datang ke posyandu untuk memperluas cakupan pengukuran dan penimbangan lagi. Itulah kenapa sekarang ini e-PPGBM untuk kinerja itu tidak diakui. Karena cakupan antar daerah itu masih bervariasi, misalnya di Jawa itu sudah di atas 8 persen, tapi bagi saudara-saudara kita di Indonesia Timur itu masih ada di bawah 40 persen. Artinya kemudian angka yang ada di Indonesia timur, barat, tengah tidak bisa perbandingkan.

Baca juga: BKKBN Kepri Gelar Forum Koordinasi Daerah, Bahas Rumusan Penurunan Stunting di Kepri

Sumber: Tribun Batam
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved