Hut Bhayangkara

Kisah Ipda Ahmad, Polisi yang Buta dan Kehilangan Kaki Karena Serangan Bom Gereja di Surabaya

Saat itu, ia tengah menjalankan tugas rutin menjaga keamanan jemaat yang hendak beribadah, tanpa pernah tahu bahwa pagi itu akan mengubah hidupnya sel

Editor: Eko Setiawan
TribunJatimTimur.com/Toni Hermawan
SEMANGAT: Ipda Ahmad Nurhadi ditemui di kediamannya di Semampir AWS menunjukkan hobinya gemar melatih otot tangan dengan dumbbell. Tujuh tahun silam, ia menjadi korban bom bunuh diri di Gereja Santa Maria Tak Bercela. 

TRIBUNBATAM.id, Surabaya – Di tengah gegap gempita perayaan Hari Bhayangkara ke-79, kisah Ipda Ahmad Nurhadi hadir sebagai pengingat bahwa menjadi polisi bukan sekadar soal pangkat dan seragam, tapi tentang pengabdian yang tak kenal batas bahkan ketika nyawa dan tubuh dipertaruhkan.

Ipda Ahmad adalah satu dari sedikit anggota Korps Bhayangkara yang menjadi korban tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Surabaya bom bunuh diri Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela pada 13 Mei 2018.

Saat itu, ia tengah menjalankan tugas rutin menjaga keamanan jemaat yang hendak beribadah, tanpa pernah tahu bahwa pagi itu akan mengubah hidupnya selamanya.

“Saya tidak dengar ledakannya. Tahu-tahu gelap. Saya terkapar, kaki saya panas, mata saya hilang penglihatan,” kenang Ahmad dengan suara tenang, menyimpan luka dalam yang tak tampak oleh mata biasa.

Serpihan bom menghantam matanya, merenggut penglihatannya secara permanen. Kaki kirinya luka parah, tak bisa pulih.

Tapi bukan luka yang membuatnya terpuruk melainkan semangat untuk terus mengabdi yang membuatnya tetap tegak meski tak lagi berdiri kokoh.

Prajurit Tanpa Mata, Tapi Penuh Cinta

Selama bertugas, Ahmad dikenal sebagai sosok polisi yang aktif dan berdedikasi tinggi. Dari unit Reskrim hingga SPKT, ia pernah menangani kasus-kasus besar jambret, curanmor, penipuan. Tapi tragedi bom mengubah semua itu.

Kini ia menyandang status cuti sakit jangka panjang.

Namun, di balik keterbatasan fisiknya, semangat Bhayangkara dalam dirinya tidak pernah padam. Ia tetap berolahraga, tetap tersenyum, tetap bangga sebagai anggota Polri.

“Saya tetap latihan pakai dumbbell. Bukan karena ingin kuat secara fisik, tapi supaya saya tetap semangat,” ujarnya sambil tersenyum.

Dumbbell itu adalah pemberian langsung dari Kapolrestabes Surabaya, Kombes Pol Luthfie Sulistiawan. Yang membuatnya semakin bangga, sang putri kini mengikuti jejaknya menjadi anggota Polri.

Sebuah pencapaian yang baginya jauh lebih berharga dari kenaikan pangkat atau penghargaan.

Pengorbanan yang Tak Pernah Disesali

“Saya tidak pernah menyesal menjadi polisi. Saya terkena bom bukan karena sakit, tapi karena menjaga warga yang sedang beribadah,” ucapnya tegas.

Ahmad adalah wajah nyata Bhayangkara, tulus, kuat, dan tidak menuntut balas. Ia masih aktif sebagai anggota Polsek Gubeng, dan institusi Polri terus memberikan perhatian penuh, termasuk pengobatan hingga ke Singapura.

Dalam peringatan Hari Bhayangkara ke-79 ini, Ipda Ahmad punya pesan untuk seluruh anggota kepolisian:

“Tetap waspada. Berikan yang terbaik. Jadilah polisi yang dicintai rakyat.”

Artikel ini telah tayang di Tribunjatim-timur.com 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved