Citizen Jurnalismen Lusia Efriani alias Lusi Pembina UKM
Dari Michigan, saya berkunjung ke Chicago dan
berkesempatan diterima di Kantor Pusat Boeing. Di sini saya mempelajari
bagaimana perusahaan besar sekelas BOEING menyalurkan dana CSR nya.
Sebelum
kami melakukan diskusi, saya ditemani Direktur CSR BOEING Company untuk
berkeliling melihat proyek proyek Boeing bekerjasama dengan NAZA,
sungguh fantastis. Melihat project project luar angkasa yang biasanya
hanya saya lihat di film. Lagi lagi saya dilarang mengabadikan dalam
kamera alias dilarang memotretnya.
Dalam kesempatan ini saya
bertemu dengan Direktur CSR bernama Tracey Hall. Dia menjelaskan bahwa
Boeing menyalurkan dana CSR nya dengan cara mendirikan pabrik di negara
miskin. Dia memberikan contoh salah satunya yaitu Boeing mendirikan
pabriknya di India.
Alasan kenapa Boeing memilih India karena di
India masih banyak orang miskin namun juga banyak orang pintar di sana
dan yang terpenting masyarakatnya bisa berbahasa
Inggris. Boeing bekerjasama dengan TATA Group perusahaan yang besar di
India untuk membangun pabrik Boeing di sana. Jadi mereka bisa membantu
masyarakat India namun juga tetap bisa mendapatkan keuntungan bagi
perusahaan Boeing. Amerika sangat menyadari kepintaran orang orang
India. Dan saya bertemu banyak orang-orang India di Amerika.
Di
Kantor ini saya banyak tahu bagaimana mahalnya sebuah waktu. Karena
begitu berartinya waktu hampir semua CEO di BOEING mempunyai koki
sendiri yang bertugas menyiapkan makanan untuk para CEO di BOEING dan
memiliki lift sendiri. Karena waktu mereka sangat berharga dan mereka
terkadang tidak sempat keluar kantor hanya untuk sekadar makan atau
antre turun ke bawah. Sungguh luar biasa.
Ada kejadian lucu
ketika berkunjung di kantor Boeing. Memang kita sudah diperingatkan
untuk tidak boleh foto tapi saya bandel. Saya mencoba sembunyi sembunyi
mengambil foto dan akhirnya ketahuan sampai
satpamnya bilang Nona sekali lagi Anda mengambil foto, saya sita kamera
anda.
Tapi saya tidak putus asa, saya coba melobi Tracey, saya
bilang Tracey, saya benar benar ingin foto project project Boeing dan
Naza. Tracey menjawab kalau saya sih sebenarnya nggak masalah kamu ambil
foto tapi coba lihat dimana mana ada CCTV nanti kamera kamu disita.
Mungkin karena memang saya pantang menyerah mau ambil foto, sampai
sampai ada satpam yang mbuntuti kemanapun saya pergi soalnya dia tahu
tamu yang satu ini super bandel.
Ongkos Pijat Seharga Kamera Sony
Di
Negara Paman Sam ini tenaga kerja manusia benar-benar sangat mahal.
Saya sangat terkejut pada saat mencoba menanyakan ke pihak hotel bahwa
saya mencari tukang pijat. Di Chicago saya sudah merasakan punggung saya
sakit sekali. Kebetulan di salon tempat hotel saya menginap tidak ada
layanan spa, mereka hanya melayani salon saja.
Lalu saya
iseng bertanya kepada resepsionis. Berapa biaya tukang pijat per jam
jika dia datang ke hotel. Resepsionis ini menjawab bahwa ongkos tukang
pijat per jam nya US$ 130. Dalam hati saya, busyet mahal amat ya ongkos
pijat di sini. Kebetulan saya sempat membeli kamera Sony di Portland,
Maine. Untuk kamera Sony cybershot 14,1 megapixel saya harus merogoh
kocek US$ 130. Bisa dibayangkan biaya pijet satu jam di Chicago setara
dengan kamera Sony cybershot.
Pemuda Bangga Jadi Petani dan Nelayan
Kemudian
saya berkunjung ke Portland Maine untuk melihat bagimana sector
pertanian dan perikanan di sana. Saya sangat heran bahwa di kota ini
banyak sekali anak muda yang bangga menjadi petani dan nelayan. Mereka
rata-rata punya penghasilan yang cukup baik, berbeda dengan di negaraku
ini.
Mulai usia dini mereka belajar tentang pertanian dan
perikanan. Jika untuk dunia pertanian, usia 15 tahun mereka sudah
dipersiapkan jika memang mau menjadi petani . Anak-anak disana dengan
bangganya berkata “I want to be a farmer”. Beda sekali dengan di
negaraku, anak-anak Indonesia sedikit sekali yang mau jadi petani dan
nelayan.
Sektor perikanan di Maine lebih gila lagi,
nelayan-nelayan muda sangat kaya disana. Anak-anak muda yang berprofesi
sebagai nelayan sudah memiliki kapal sendiri. Kapal yang sangat bagus
memunjang mereka untuk menangkap lobster.
Pemerintah State Maine
malah pusing karena anak-anak muda di Portland tak mau sekolah karena
mereka sudah kaya dan mereka bilang kenapa saya harus sekolah kalau saya
lebih kaya dari guru saya. Sangat sia-sia pergi ke sekolah, lebih baik
mereka menangkap lobster.
Sungguh sangat lucu mendengar komentar
itu. Betapa majunya negara kita jika banyak pemuda-pemuda di Indonesia
mau menjadi petani dan nelayan. Namun sayang ahli-ahli pertanian dan
perikanan di Negara kita malah tidak
dihargai maka tidak heran jika anak-anak pintar Indonesia lebih memilih
mengabdi di negara lain daripada di negaranya sendiri.
Saya
bertemu dan berdiskusi dengan ketua Asosiasi Nelayan Lobster di
Portland, Maine. Sebelum bertemu dengan dia, pada saat membaca jadwal
kegiatan saya. Saya menggambarkan pasti Ketua asosiasi Lobster seorang
laki, tinggi besar dan hitam. Ternyata tebakan saya salah, saya begitu
kaget waktu bertemu dengan Anne.
Ternyata Anne adalah ketua
Assosiasi nelayan Lobster di Portland, Maine adalah seorang gadis muda
yang sangat cantik dan modis. Ternyata di Portland banyak sekali
nelayan-nelayan wanita dan rata rata masih usia muda.
CSR Boeing Hingga Ongkos Pijat Seharga Kamera Sony
Baca Selanjutnya:
Sampah Warga Batam Capai 1.000 Ton/ Hari, StartUp Mounthrash Gagas Recyling Center
AA
Text Sizes
Medium
Large
Larger