"Kami sudah empat tahun begini. Kami berharap, pemerintah daerah dan presiden, membantu kami secepatnya, agar pindah dari sini.
Boleh membangun perkampungan atau boleh juga mencarikan rumah untuk kami. Kami khawatir, kalau di sini terus, pertumbuhan anak-anak terganggu. Bagaimana tidak? Mereka sudah mulai besar-besar," kata Rasmita.
Sebanyak 104 keluarga ditampung di tempat itu.
Mereka semua berasal dari Desa Sigaranggarang, Kecamatan Namantran, yang posisinya terletak di bawah lereng Gunung Sinabung, lokasi terdampak langsung letusan yang berlangsung tahun 2013.
Rasmita mengaku, ia masuk pengungsian saat putra sulungnya duduk di kelas dua SD.
Sampai kini jelang anaknya kenaikan kelas lima SD, ia masih tinggal di tempat serupa.
Di sanalah, warga mendapatkan jatah hidup berupa pasokan makanan tiga kali sehari, yang disajikan untuk makan pagi, siang, dan sore.
"Bagaimana menu makanan, enak?" tanya Tribun.
"Buat kami bukan enak atau tidak enak, yang penting bisa makan. Syukur alhamdulillah, kalau soal enak, bagaimana bapak bisa tengok nasi kami, begitulah yang kami makan saban hari, kebanyakan mi instan," katanya.
Pengharapan senada disampaikan Alfarida.
Warga yang kampungnya membutuhkan waktu tempuh kurang lebih satu jam menggunakan kendaraan ke lokasi pengungsian, merasakan kesulitan membiayai pendidikan anak.
Semula, ia hidup lumayan mencukupi dari hasil bertani di lereng Sinabung.
Tapi kini, ia lebih banyak bekerja serabut, antara lain buruh tani.
"Permintaan saya, kalau bisa, kami segera dapat hunian tetap. Kemudian, anak-anak sekolah ini, bisa terus dibantu Bapak Presiden Jokowi, biaya sekolahnya," katanya.
Rasmita maupun Alfarida sama-sama mengaku tidak nyaman tinggal di pengungsian.