BATAM. TRIBUNNEWS.COM-Jadi tentara ternyata tak gampang. Apalagi kalau ditempuh lewat jalur wajib militer.
Dr. S. Sabaruddin menuliskan peagalamannya yang menarik dan terkadang lucu ketika ia memilih menfadi dokter tentara lalu ditugaskan dalam misi trikora, merebut Irian Barat dari tangan Belanda.
Baca: Sederhana! Beginilah Cara Presiden Jokowi Ngemong Cucu. Netizen Berikan Pujian!
Baca: Beredar Tulisan Biodata Kasino Warkop Semasa Hidup, Isinya Bikin Gemas dan Ngakak!
Baca: Bikin Merinding! Detik-detik Jelang Eksekusi: Permintaan Terakhir Terpidana Mati Bikin Kuduk Berdiri
Baca: Heboh! Razia Gabungan TNI-Polri Sisir Karaoke Batam, Ini Targetnya di Tempat Hiburan Malam!
Baca: Terdengar Tembakan, Pemkab Bangkalan Mencekam: Semua Mobil Dilarang Keluar-Masuk Kantor Pemkab!
Pada Juni 1961 saya lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Waktu itu ada tiga pilihan bagi dokter muda: belajar lagi untuk mengambil spesialisasi, menjadi dokter wajib militer untuk bekerja di daerah, atau menjadi dokter sipil, yang juga bekerja di daerah.
Pikir punya pikir pilihan saya jatuh pada dokter wajib militer (wamil).
Dasar wamil!
Ada 115 orang yang terkena wajib militer Angkatan Darat angkatan kelima itu. Mereka berasal dari seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Ada yang dokter, apoteker atau dokter hewan.
Kami yang terkena wajib militer menerima pendidikan basis-kemiliteran selama enam bulan di Pusat Kesehatan Angkatan Darat di Kramat Jati, Jakarta.
Rambut kami dicukur plontos model crew cut. Kami, yang umumnya kutu buku, sedikit pucat karena kurang terkena sinar matahari. Badan nampak kurus. Pakaian seragam hijau-hijau yang kami kenakan jadi kelonggaran.
Salah seorang sejawat kami selama tiga minggu malah tidak memakai seragam. Sebab tidak ada baju dan sepatu yang cocok dengan badannya yang ekstra tinggi dan besar.