TRIBUNBATAM.id, NATUNA - Dibalik masih terdengarnya kesenian Tari Tupeng di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), ada sosok sederhana yang berjuang keras agar budaya langka ini tak punah ditelan zaman.
Ia adalah Dermawan (67), maestro sekaligus pegiat budaya asal Desa Tanjung, Kecamatan Bunguran Timur Laut.
Ia mengaku, Tari Tupeng adalah warisan yang ia terima dari mendiang sang ayah.
“Asal kesenian ini memang turun-temurun dari nenek moyang kami. Dari ayah, budaya ini diturunkan dan diwariskan ke saya,” ujarnya kepada tribunbatam.id.
Tari Tupeng merupakan kesenian khas Natuna yang memiliki akar di Desa Tanjung, Kecamatan Bunguran Timur Laut.
Menurut cerita, tarian ini dulunya berfungsi sebagai media penyembuhan untuk seorang putri raja yang jatuh sakit.
Dalam pementasannya, para penari mengenakan 'tupeng' atau topeng, dengan gerakan yang terbagi menjadi tiga pola, meliputi tari piring, tari tangan, dan tari selendang.
Tarian ini diiringi alat musik tradisional seperti limpung, gong, dan gendang.
Kini, fungsi Tari Tupeng bergeser dari media pengobatan menjadi hiburan rakyat, sekaligus simbol budaya yang sarat nilai kekompakan, olahraga, dan keceriaan.
Bagi Dermawan, Tari Tupeng bukan sekadar hiburan, tapi identitas Natuna yang penuh makna.
“Satu yang saya pegang, sebagaimana pepatah mengatakan ‘tak lapuk di hujan, tak lekang di panas’. Artinya kami pewaris budaya ini tetap memperjuangkan tradisi ini hidup di Natuna, walau apapun rintangannya,” tuturnya penuh semangat.
Untuk memastikan Tari Tupeng tetap hidup, ia mengajarkan tarian itu mulai dari keluarga.
Istri, anak, cucu, hingga kerabat dekat menjadi murid pertamanya, sebelum akhirnya warga sekitar ikut belajar.
“Motivasi saya tentu karena ini budaya dan warisan leluhur. Saya berkomitmen mempertahankannya sampai akhir hayat,” katanya.
Meski menjadi jantung dari lestarinya Tari Tupeng, kehidupan Dermawan jauh dari kata mewah.