TRIBUNBATAM.ID, JAKARTA - Wewenang fiskus atau petugas pajak untuk memakai metode lain dalam menghitung peredaran bruto atau omset wajib pajak membuat pengusaha resah.
Sebab, aturan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15/PMK.03/2018 itu membuka ruang penyimpangan lebih luas bagi fiskus.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, penerapan PMK 15 Tahun 2018 perlu diawasi dan jangan sampai disalahgunakan.
Apalagi pada pasal 1 ada ketentuan yang bisa memberi ruang penyimpangan bagi petugas pajak.
"Peraturan itu perlu diperjelas supaya tidak ditafsirkan berbeda dan menjadi celah bagi pemeriksa memaksakan penggunaan cara lain tersebut. Padahal, wajib pajak sudah membuat pembukuan atau pencatatan," jelas Yustinus seperti dilansir KONTAN.
Baca: Petugas Pajak Berhak Tentukan Omset Wajib Pajak Nakal. Ini 8 Jurus Menghitungnya
Baca: Aturan Pajak yang Baru Bikin Resah Pengusaha, Terutama yang Punya Bisnis Sampingan
Baca: Coba Tebak, Apa Jawaban Mahfud MD Soal Isu Dirinya Jadi Cawapres
Selain itu, PMK 15/2018 juga jangan sampai menutup hak WP untuk melakukan sanggahan saat pemeriksaan.
"Untuk memitigasi risiko, sebaiknya tetap diberi kesempatan wajib pajak, untuk menjelaskan atau tidak setuju dengan metode yang digunakan," katanya.
Namun WP yang sudah patuh bayar pajak tidak perlu khawatir karena fiskus seharusnya tak menggunakan cara ini.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan WP:
1. Simpan seluruh dokumen atau bukti. Hitung pajak dengan benar dan bayar sesuai perhitungan, laporkan ke kantor pajak.
2. Pelajari bisnis Anda dengan sungguh-sungguh, termasuk arus barang terkait bisnis yang Anda geluti.
3. Laporkan seluruh penghasilan, termasuk di luar bisnis Anda.
"Dengan kata lain, sepanjang wajib pajak menyelenggarakan pembukuan/pencatatan dan menyerahkan kepada pemeriksa, maka kewajiban pajaknya tidak akan dihitung dengan cara lain ini," kata Yustinus.
4. Susun pembukuan dengan benar dan jelas sesuai dengan standar akuntansi.
PMK Nomor 15 Tahun 2018 merupakan pelaksanaan Pasal 14 ayat (5) Undang-Undang PPh, yang memerintahkan Menteri Keuangan untuk menetapkan cara lain menghitung peredaran bruto terhadap WP yang tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, atau tidak memperlihatkan pencatatan/bukti-bukti pendukungnya secara lengkap.
"Prinsipnya, tanpa pembukuan/pencatatan/penyerahan bukti pendukung, peredaran bruto atau omset dan laba bersih akan sulit diketahui. Ini yang menjadi pertimbangan kenapa peredaran bruto harus dihitung dengan cara lain," tutur dia.
5. Gaya hidup bisa menjebak
Salah satu cara yang digunakan fiskus untuk melihat apakah WP jujur atau tidak adalah dari biaya hidup wajib pajak, termasuk data perbankan.
Banyak masyarakat Indonesia memiliki penghasilan di luar penghasilan utamanya. Apalagi, dengan menjamurnya bisnis reseller secara online saat ini, membuat seseorang bisa memilik usaha sampingan yang menjanjikan.
Penghasilan tambahan itu kadang kala digunakan untuk memenuhi gaya hidup yang bisa menimbulkan kecurigaan fiskus. Mulai dari cicilan rumah, mobil, dan pengeluaran lain.
6. Hati-hati harta warisan
Harta warisan tidak menjadi objek pajak, tetapi Anda harus melaporkan dalam SPT.
Sebab, jika warisan itu tidak dilaporkan, maka penghitungan pajak Anda bisa dicurigai oleh fiskus karena tidak sesuai dengan profil WP.
7. Harta tax amnesty harus dilaporkan
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Suryo Utomo menjelaskan, peserta tax amnesty yang masuk dalam kategori pelaku usaha UMKM tidak diwajibkan melaporkan hartanya.
Tetapi mereka harus mencantumkan harta yang sudah didaftarkan dalam tax amnesty dalam SPT.
"Di SPT itu ada lampiran penempatan harta. Bagi yang ikut tax amnesty wajib menyertakan laporan penempatan harta," katanya.
Begitu juga peserta tax amnesty yang hanya mendeklarasikan hartanya di luar negeri diwajibkan untuk melaporkan penempatan hartanya.
"Tujuannya kita hanya pastikan agar duit yang masuk dan dideklarasikan tidak lari lagi ke luar negeri. Kan awalnya uang itu agar dimanfaatkan di dalam negeri," tuturnya.
Tidak ada sanksi khusus yang disiapkan bagi peserta tax amnesty yang tidak melaporkan penempatan hartanya.
Ditjen Pajak hanya akan melakukan peneguran, jika tidak ada klarifikasi maka Ditjen Pajak akan melakukan pemeriksaan.
8. Kalau jujur kenapa takut?
Inti dari PMK 15/2018 ini adalah agar wajib pajak tidak mencari berbagai cara untuk menghindari kewajiban pajak.
Setelah tax amnesty diterapkan, semestinya hal itu menjadi momentum bagi para wajib pajak untuk jujur dan tidak berupaya mengemplang pajak lagi.
Karena itu, kata Yustinus Prastowo, jika WP jujur dengan penghasilannya, kenapa harus takut?
Aturan abu-abu
Beleid baru yang diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani ini memang menimbulkan pro dan kontra serta meresahkan para pengusaha.
Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) bidang Tax Center Ajib Hamdani mengingatkan, aturan PMK terbaru ini sepatutnya hanya bersifat alternatif atau data sekunder.
Dia meminta dalam penetapan berapa besaran peredaran bruto atau omset, data primer yakni laporan keuangan harus menjadi rujukan utama.
"Agak kurang fair bila hanya mengandalkan analisis hitungan secara matematika. Soalnya, jika metode yang digunakan kurang pas, maka malah berpotensi menghasilkan output yang tidak pas pula, atau malah tidak mencerminkan keadaan sebenarnya," jelas Ajib.
Dia mencontohkan, perihal benchmarking, data pembanding yang dijadikan rujukan, belum tentu sama serata atau apple to apple dengan kondisi wajib pajak yang ada.
"Banyak faktor bisa menjadi pembeda, seperti skala bisnis, jumlah produksi, harga jual, harga beli, dan lain-lain," jelas Ajib.
Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kadin Indonesia Herman Juwono mengatakan, aturan ini merupakan lahan yang abu-abu.
"Ini bisa pro dan kontra. Antara self assessment versus tax official assessment. Itu dari falsafah perpajakan. Dari segi legal, itu tidak legal," kata Herman.