Beberapa contohnya yakni saat Presiden Soekarno dijadwalkan untuk berpidato di Makassar pada Januari 1962.
Juga, penembakan ketika presiden soekarno sedang shalat Iduladha di Istana Negara.
Dalam dua peristiwa itu, sejumlah personel DKP mengorbankan diri mereka sebagai perisai hidup Presiden.
Tahun 1962, kesatuan pengawal presiden berubah menjadi Resimen Tjakrabirawa.
Nama Tjakrabirawa diambil dari nama senjata pamungkas milik Batara Kresna yang dalam lakon wayang purwa digunakan sebagai senjata penumpas semua kejahatan.
Tjakrabirawa menjadi satuan yang dipilih dari anggota-anggota terbaik dari empat angkatan, yakni Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian yang masing-masing terdiri dari satu batalyon.
Saat itu, Resimen Tjakrabirawa dipimpin oleh Komandan Brigadir Jenderal Moh Sabur dengan wakilnya, Kolonel CPM Maulwi Salean.
Setelah peristiwa G30S/PKI, Resimen Tjakrabirawa dibubarkan, dan dibentuklah Satuan Tugas Polisi Militer AD, atau Pomad Para.
Lalu, tahun 1970, kesatuan pengawal presiden menjadi Paswalpres di bawah rezim Soeharto.
Lalu, masih di era Soeharto, nama Paswalpres diganti menjadi Paspampres, dengan alasan kata pengamanan lebih tepat dari pengawalan.
Syarat Berat
Dikutip dar VIK Kompas.com, perekrutan Paspampres dilakukan dengan sangat hati-hati.
Pihak Paspampres akan datang ke berbagai satuan hingga pusat pendidikan TNI untuk mencari prajurit-prajurit terbaik.
Bagi mereka yang memiliki keahlian menembak atau pun bela diri, apalagi memilki prestasi tertentu, maka akan diprioritaskan masuk ke Paspampres.
“Jadi bisa dibilang Paspampres ini adalah etalase, karena berisikan prajurit-prajurit dari berbagai satuan elite seperti Kopassus, Kostrad, Marinir, Paskhas, dan lain-lain,” kata Fauzi.