TRIBUNBATAM.ID, JAKARTA - Masalah keuangan yang melanda Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tak kunjung selesai-selesai.
Di tengah ancaman defisit sebesar Rp 7 triliun, BPJS Kesehatan juga menanggung denda tunggakan tagihan rumah sakit yang menumpuk.
Akibat keterlambatan tersebut, menurut Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan Maya A. Rusady, BPJS harus membayar denda 1% dari setiap keterlambatan klaim.
"Kami belum bisa membayar secara tepat waktu. Posisi gagal bayar sampai Juni 2019 sekitar Rp 7 triliun. Kalau dananya ada, tentu akan dibayarkan," kata Maya dalam rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi I DPR.
Itu berarti, potensi denda yang membayangi BPJS sekitar Rp 70 miliar sampai Juni lalu.
• BPJS Kesehatan Defisit Lagi Rp 28 Triliun, Menkeu Sri Mulyani Tak Mau Lagi Jor-joran Suntik Dana
• Bright PLN Batam Klaim Pernah Berikan Kompensasi ke Pelanggan Atas Ketidakpuasan Konsumen
• Smartphone Lemot saat Main Game? Catet Cara Mengatasinya
Kondisi tersebut membuat BPJS Kesehatan semakin terbebani karena defisit tahun lalu saja belum tertutupi.
Diperkirakan total defisit perseroan akan menembus di angka Rp 28 triliun jika pemerintah tidak menyuntikkan dana talangan sampai akhir 2019.
Ancaman terbaru, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menegaskan bakal memonoter kinerja BPJS Kesehatan dalam beberapa bulan ke depan.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengatakan, pemerintah tidak ingin hanya sekadar membantu mendorong kinerja BPJS Kesehatan dengan menyuntikkan dana talangan.
Ia meminta harus ada perbaikan sistem agar lembaga tersebut bisa memiliki kinerja yang berkelanjutan sehingga tidak hanya bergantung pada APBN.
“Karena kita tidak ingin hanya melakukan pembayaran defisit tapi lebih kepada secara fundamental ada perbaikan sistem jaminan kesehatan nasional yang bisa menciptakan suatu sistem sustainable,” kata dia di Jakarta, Senin (22/4/2019) lalu.
Salah satu upaya untuk memperbaiki sistem yaitu melalui data-data audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Data BPKP tersebut menjadi landasan pemerintah memperbaiki kinerja BPJS Kesehatan ke depan.
"Ya kan kita sudah dapat audit BPKP secara total yang menjadi basis kita menangani masalah BPJS Kesehatan itu,” tuturnya.
Sri Mulyani menambahkan, selain melihat dari pencapaian kinerja BPJS Kesehatan selama 6 bulan ke depan, pihaknya juga akan melakukan identifikasi koordinasi antara kementerian dan lembaga.
Termasuk di dalamnya tatakelola tagihan, dari sisi penerimaan, dan peserta BPJS.
“Terutama dari peserta yang bukan penerima upah reguler, itu menjadi salah satu yang perlu untuk ditingkatkan, dan juga dari sisi hubungan antara BPJS dengan Kemenkes di dalam mendefinisikan berbagai policy,” ujar dia.
Sebelumnya perseroan ini telah beberapa kali mendapatkan suntikan dana dari pemerintah.
Empat Tahun Disuntik Terus
Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Maaruf mengaku bahwa BPJS Kesehatan mendapatkan dana dari pemerintah sejak tahun 2015 hingga 2018.
Mengantisipasi defisit lebih tinggi, pihaknya berupaya menekan biaya yang ada.
"Kami sebenarnya tetap berusaha mengendalikan biaya, misalnya menindaklajuti hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang sedang kami kerjakan. Sehingga bisa memastikan sistem rujukan bisa berjalan," terang Iqbal.
Langkah lain adalah dengan mendorong supply chain financing (SCF), yaitu program pembiayaan kepada fasilitas kesehatan (faskes) agar mempercepat penerimaan pembayaran klaim.
Melalui skema tersebut, pembayaran klaim ditanggung dulu oleh bank kemudian dibayarkan BPJS Kesehatan.
Skema ini sendiri telah dilaksanakan sejak tahun lalu. "Tapi skema ini belum banyak yang memanfaatkan sehingga sosialisasi tentu perlu disampaikan, termasuk melalui media," tambahnya.
Upaya lain, dengan mendorong kepatuhan untuk membayar iuran.
Hal ini sudah tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 87/2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial.
Dalam aturan ini ada opsi ke pemerintah apakah menyesuaikan iuran, menyesuaikan manfaat atau memberikan suntikan dana.
Pada tahun lalu Kemenkeu telah mencairkan dana Rp 5,6 triliun untuk menutup defisit, namun realisasi suntikan dana pemerintah hanya sebesar Rp 5,2 triliun.
Sri Mulyani meminta BPJS Kesehatan untuk melakukan beberapa hal menyusul temuan defisit Rp 9,1 triliun pada 2018.
Data tersebut merupakan temuan atau hasil audit dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Pertama, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu meminta BPJS Kesehatan memperbaiki data kepesertaan dan penerimaan iuran.
"Mengacu pada hasil Audit BPKP, BPJS Kesehatan perlu melaksanakan perbaikan," ujarnya di Jakarta, Selasa (28/5/2019).
Menurut Sri Mulyani, BPKP menemukan jumlah kepesertaan yang belum memiliki NIK, maupun NIK ganda, dan yang sudah meninggal dunia.
Hal ini dinilai perlu dilakukan untuk menjaga kredibilitas program.
Kedua, Sri Mulyani meminta BPJS Kesehatan untuk memperbaiki biaya manfaat jaminan kesehatan. Ketiga, BPJS Kesehatan diminta melakukan strategic purchasing.
Pada 2018, pemerintah, imbuh Sri Mulyani, telah menunaikan seluruh kewajiban terkait JKN, yang meliputi pembayaran bantuan iuran untuk PBI sebesar Rp 25,5 triliun.
Juga pembayaran porsi pemerintah untuk Peserta Penerima Upah (PPU Pemerintah) yang terdiri dari ASN, TNI, Polri, dan pensiunan sebesar Rp 5,4 triliun.
Adapun untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan, pemerintah, ucap dia, telah memberikan bantuan sebesar Rp 10,2 triliun, yang dicairkan berdasarkan hasil review oleh BPKP.
Ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara mengatakan, ada 9-10 item hasil kesimpulan rapat kerja pemerintah dengan DPR terkait hasil audit BPJS Kesehatan.
"Ada juga perintah untuk melihat sistem asuransinya termasuk tentang iuran. Ada itu perintahnya satu per satu," jelas Suahasil.