Polemik Revisi UU KPK, Abraham Samad Tentang Adanya Dewan Pengawas, Makhluk Apalagi?

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KPK TERKINI - Tolak Revisi UU KPK, Abraham Samad Kritik Dewan Pengawas, Makhluk Apalagi?

#Polemik Revisi UU KPK, Abraham Samad Tentang Adanya Dewan Pengawas, Makhluk Apalagi?

TRIBUNBATAM.id - Isu KPK hendak dilumpuhkan mengemuka dan jadi sorotan banyak pihak. 

Sejumlah pihak angkat bicara.

Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad misalnya menyoroti point adanya Dewan Pengawas dalam draf revisi UU KPK.

Point mengenai itu ditentang Abraham Samad.

 

"Soal Dewan Pengawas, makhluk apalagi? Jangan-jangan makhluk turun dari luar angkasa. Kan sebenarnya semangat Dewan Pengawas yang saya baca ingin lakukan pengawasan yang ketat," ucap Abraham Samad dalam sebuah dikusi bertema : KPK adalah Koentji, Sabtu (7/9/2019) di Jakarta Pusat.

Abraham Samad menilai selama ini KPK sudah memiliki sistem pengawas internal melalui Direktorat Pengawas Internal atau PI.

Kinerja PI, dipandang Samad sudah berjalan baik.

KPK Dilahirkan oleh Megawati, Mati di Tangan Jokowi?

DPR Lakukan Operasi Senyap dan Kejar Tayang, Tiba-tiba Sahkan Revisi UU KPK

Dia bahkan menyinggung soal dirinya yang sempat disidang oleh PI dengan disaksikan langsung oleh seluruh rakyat Indonesia karena disiarkan langsung oleh seluruh media.

"‎Bayangkan, zaman saya, ada gak seorang kepala lembaga disidang etik. Walau saya Ketua KPK tapi saya bisa diperiksa PI yang statusnya setingkat direktorat," tegas Samad.

Senada dengan Samad, ‎Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana juga memandang unsur Dewan Pengawas tidak diperlukan KPK.

Ini karena menurut Kurnia, selama ini selain sudah memiliki PI. KPK juga diawasi oleh banyak lembaga termasuk publik.

Khusus untuk keuangan KPK bertanggung jawab ke BPK. Untuk kinerja KPK selalu hadir jika diundang Rapat Dengar Pendapat (RDP) oleh DPR.

"Soal kinerja, KPK juga melapor ke presiden dan dipantau publik. Kinerja KPK juga diawasi oleh institusi kehakiman. Orang kalau jadi tersangka, kalau tidak tepat ada ranah praperadilan. Lalu pembuktian materi dakwaan ada pengadilan‎," ungkap Kurnia.

Terakhir, Kurnia menyampaikan selama KPK berdiri hingga 2019 belum ada satupun perkara dakwaan KPK yang tidak terbukti.

Tidak ada terdakwa yang divonis bebas.

"Kalau untuk kasus BLBI, Syafruddin Arsya Temenggung atau SAT bukan vonis bebas tapi lepas. Ini menandakan dakwaan KPK masih terbukti," singkat dia.

Penolakan Revisi UU KPK Terkini, Golkar Kaji Masukan, Laode M Syarif Bantah Fahri Hamzah soal Revisi.

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menyatakan, partainya akan mengkaji lebih lanjut revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Melalui fraksinya di DPR, Partai Golkar akan mengkaji masukan sekaligus penolakan yang muncul dalam proses revisi Undang-undang KPK.

"Ya nanti kami lihat karena itu kan inisiatif dari Baleg (Badan Legislasi) dan itu kan seluruh fraksi sudah memberikan pandangan fraksinya," ujar Airlangga di kediaman Ketua Dewan Pakar Golkar Agung Laksono, Kampung Melayu, Jakarta, Jumat (6/9/2019).

"Nanti kami akan adakan cek masukan-masukan apa yang dimasukkan di sana," kata Airlangga.

Ia menambahkan, setiap revisi undang-undang selalu memunculkan pro dan kontra di masyarakat.

Demikian pula dengan revisi Undang-Undang KPK yang mendapat kritik dari publik. Ia pun mempersilakan masyarakat menyampaikan masukan kepada Partai Golkar terkait revisi Undang-Undang KPK.

"Ya semua undang-undang kan ada periode untuk konsultasi publik. Dan publik selalu mempunyai kesempatan untuk memberikan masukan," kata dia.

 

Diberitakan sebelumnya, seluruh fraksi di DPR setuju revisi UU KPK yang diusulkan Badan Legislasi (Baleg) DPR.

Persetujuan seluruh fraksi disampaikan dalam rapat paripurna DPR yang digelar pada Kamis siang.

Baleg bertekad mengebut pembahasan revisi itu sehingga bisa selesai sebelum masa jabatan DPR periode 2019-2024 habis pada 30 September mendatang.

BEDA, Laode M Syarif Sasar Fahri Hamzah Sampai Bilang Pembohongan Publik soal Revisi UU KPK.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode Muhammad Syarif meminta Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah membuktikan ucapannya bahwa usulan revisi Undang-Undang KPK berasal dari internal KPK.

"Minta Pak Fahri Hamzah tunjukan saja surat permintaan internal KPK tersebut," ujar Laode kepada wartawan, Jumat (6/9/2019).

Menurut Laode, Fahri Hamzah telah membohongi publik bila tak bisa menunjukan surat permintaan tersebut.

"Kalau dia tidak bisa menunjukan surat permintaan itu, berarti dia melakukan pembohongan publik, dan memutarbalikan fakta," katanya.

Laode mengatakan pimpinan DPR harus bicara berdasarkan fakta dan tidak menyebarkan kebohongan.

"Kasihan masyarakat," tandasnya.

Sebelumnya, Fahri Hamzah mengatakan persetujuan merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah lama disampaikan Presiden Joko Widodo.

Fahri Hamzah juga mengatakan, pimpinan KPK sudah lama menyetujui revisi UU KPK karena merasa ada yang salah dalam UU yang berlaku saat ini.

Pernyataan Fahri Hamzah

Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah menepis tuduhan sejumlah pihak yang menyebut revisi Undang-Undang Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dikerjakan senyap oleh DPR.

Menurut Fahri, revisi tersebut datang juga dari pimpinan KPK itu sendiri.

Bahkan, ia menyebut jika pembahasan revisi UU KPK dilakukan atas dasar permintaan dari sejumlah pihak.

Ia pun menegaskan perubahan UU tersebut bukan merupakan kemauan anggota dewan semata.

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, (27/8/2019). (Fransiskus Adhiyuda/Tribunnews.com)

"Permintaan revisi ini sudah datang dari banyak pihak, termasuk dan terutama itu dari pimpinan KPK. Orang-orang KPK sekarang sudah merasa ada masalah di UU KPK ini," kata Fahri Hamzah kepada wartawan, Jumat (6/9/2019).

Fahri juga mengungkapkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah memberikan lampu hijau kepada DPR untuk mengubah UU KPK ini.

 

"Nah, DPR saya kira tidak pernah berhenti karena saya sendiri pernah menghadiri rapat konsultasi dengan presiden. Dan presiden sebetulnya sudah setuju dengan pikiran mengubah UU KPK ini sesuai dengan permintaan banyak pihak. Termasuk pimpinan KPK, para akademisi, dan sebagainya," tuturnya.

Fahri mengatakan, sekarang ini waktunya DPR melakukan revisi atas UU KPK tersebut.

Terlebih, pembahasan perubahan ini sudah dilakukan beberapa tahun silam.

"Apabila pemerintah setuju, maka ini bisa segera menjadi revisi yang ditunggu-tunggu sudah 15 tahun ini," jelasnya.

Sebelumnya, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo menolak revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

Agus menegaskan bahwa saat ini KPK tidak membutuhkan perubahan undang-undang tersebut untuk menjalankan fungsinya memberantas korupsi.

Agus bahkan menilai RUU KPK tersebut justru sangat berpotensi melemahkan KPK.

“Kami tidak membutuhkan revisi undang-undang untuk menjalankan pemberantasan korupsi,” kata Agus dalam konferensi pers, Kamis (5/9/2019).

9 poin jadi sorotan KPK

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menyatakan KPK sedang berada di ujung tanduk.

Penyataan tersebut menyikapi munculnya inisiatif DPR terkait revisi Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.

Agus membeberkan 9 poin dalam draf revisi UU tersebut yang bakal melemahkan dan bahkan melumpuhkan KPK secara lembaga dan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Ketua KPK Agus Rahardjo (Tribunnews.com/Fahdi Fahlevi)

Sembilan poin tersbut di antaranya terancamnya independensi KPK, dibatasinya penyadapan dipersulit dan dibatasi, pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR, dibatasinya sumber penyelidik dan penyidik, dan penuntutan perkara korupsi yang harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung.

Poin lainnya yang dinilai akan melumpuhkan kerja KPK adalah tidak adanya kriteria perhatian publik sebagai perkara yang dapat ditangani KPK, dipangkasnya kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan serta dihilangkannya kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan.

"Sembilan Persoalan di draf RUU KPK berisiiko melumpuhkan Kerja KPK," ujar Agus Rahardjo di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (5/9/2019).

Berikut 9 poin dalam draf RUU KPK yang berisiko melumpuhkan kerja KPK:

 1. Independensi KPK Terancam

• KPK tidak disebut lagi sebagai lembaga Independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun

• KPK dijadikan lembaga Pemerintah Pusat

• Pegawai KPK dimasukan dalam kategori ASN sehingga hal ini akan beresiko terhadap independensi pegawai yang menangani kasus korupsi di instansi pemerintahan

2. Penyadapan dipersulit dan dibatasi

Penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Dewan Pengawas. Sementara itu, Dewan Pengawas dipilih oleh DPR dan menyampaikan laporannya pada DPR setiap tahunnyaSelama ini penyadapan seringkali menjadi sasaran yang ingin diperlemah melalui berbagai upaya, mulai dari jalur pengujian UU hingga upaya revisi UU KPK

• Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan dilakukan secara tertutup. Sehingga bukti-bukti dari Penyadapan sangat berpengaruh signifikan dalam membongkar skandal korupsi

• Penyadapan diberikan batas waktu 3 bulan. Padahal dari pengalaman KPK menangani kasus korupsi, proses korupsi yang canggih akan membutuhkan waktu yang lama dengan persiapan yang matang. Aturan ini tidak melihat kecanggihan dan kerumitan kasus korupsi yang terus berkembang

• Polemik tentang Penyadapan ini semestinya dibahas secara komprehensif karena tidak hanya KPK yang memiliki kewenangan melakukan Penyadapan

3. Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR

• DPR memperbesar kekuasaannya yang tidak hanya memilih Pimpinan KPK tetapi juga memilih Dewan Pengawas

• Dewan pengawas menambah panjang birokrasi penanganan perkara karena sejumlah kebutuhan penanganan perkara harus izin Dewan Pengawas, seperti: penyadapan, penggeledahan dan penyitaan

4. Sumber Penyelidik dan Penyidik dibatasi

• Penyelidik KPK hanya berasal dari Polri, sedangkan Penyidik KPK berasal dari Polri dan PPNS

• Hal ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat dasar hukum bagi KPK dapat mengangkat Penyelidik dan Penyidik sendiri

• Lembaga-lembaga KPK di beberapa negara di dunia telah menerapkan sumber terbuka Penyidik yang tidak harus dari kepolisian, seperti: CPIB di Singapura, ICAC di Hongkong, MACC di Malaysia, Anticorruption Commision di Timor Leste, dan lembaga antikorupsi di Sierra Lone

• Selama ini proses Penyelidikan dan Penyidikan yang dilakukan KPK sudah berjalan efektif dengan proses rekruitmen yang terbuka yang dapat berasal dari berbagai sumber

5. Penuntutan Perkara Korupsi Harus Koordinasi dengan Kejaksaan Agung

• KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan Penuntutan Korupsi

• Hal ini beresiko mereduksi independensi KPK dalam menangani perkara dan akan berdampak pada semakin banyaknya prosedur yang harus ditempuh sehingga akan memperlambat penanganan perkara

6. Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria

• Ketentuan yang sebelumnya diatur di Pasal 11 huruf b UU KPK tidak lagi tercantum, yaitu: mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat

• Padahal pemberantasan korupsi dilakukan karena korupsi merugikan dan meresahkan masyarakat dan diperlukan peran masyarakat jika ingin pemberantasan korupsi berhasil

7. Kewenangan Pengambilalihan Perkara di Penuntutan Dipangkas

• Pengambilalihan perkara hanya bisa dilakukan untuk proses Penyelidikan

• KPK tidak lagi bisa mengambil alih Penuntutan sebagaimana sekarang diatur di Pasal 9 UU KPK

8. Kewenangan-kewenangan strategis pada proses Penuntutan dihilangkan

• Pelarangan ke luar negeri

• Meminta keterangan perbankan

• Menghentikan transaksi keuangan yang terkait korupsi

• Meminta bantuan Polri dan Interpol

9. Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas

• Pelaporan LHKPN dilakukan di masing-masing instansi, sehingga hal ini akan mempersulit melihat data kepatuhan pelaporan dan kewajaran kekayaan Penyelenggara Negara

• Posisi KPK direduksi hanya melakukan kooordinasi dan supervisi.

• Selama ini KPK telah membangun sistem dan KPK juga menemukan sejumlah ketidakpatuhan pelaporan LHKPN di sejumlah institusi.

#Polemik Revisi UU KPK, Abraham Samad Tentang Adanya Dewan Pengawas, Makhluk Apalagi?

Artikel ini telah tayang di tribun-medan.com dengan judul KPK TERKINI - Tolak Revisi UU KPK, Abraham Samad Kritik Dewan Pengawas, Makhluk Apalagi?

Berita Terkini