Meski begitu, Zuraida tidak menyerah dan menyarankan penasehat hukumnya mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Medan atas putusan pidana mati tersebut.
Sebelumnya, penasihat hukum Zuraida Hanum, Onan Purba, menyatakan sudah diskusi dengan kliennya dan menyatakan banding.
"Kami sudah berkomunikasi dengan klien kami, kami langsung mengambil sikap banding," katanya kepada Tribun Medan, Rabu(1/7/2020) sore.
Menurut dia, pertimbangan Majelis Hakim melanggar hak asasi manusia (HAM).
"Saya menilai putusan majelis hakim ini tidak tepat dalam mengambil sikap, menurut saya hakim bersikap melanggar hak asasi manusia," ujar Onan.
Dikatakan Onan, majelis hakim tidak mempertimbangkan bahwa Zuraida Hanum adalah seorang ibu dari anak yang masih kecil.
Anak berinisial K tersebut, sambung dia, masih berumur 7 tahun.
"Anaknya itu masih kecil kali, bagaimana bisa dia mendapatkan kasih sayang orang tua kalau orang tuanya divonis mati," ujarnya.
Dikatakannya, putusan hukum seharusnya tidak berdampak hukum lainnya.
"Jangan sampai, karena putusan hukum menjadi akibat hukum lainnya," katanya.
Saat dikonfirmasi Tribun Medan soal sidang hak asuh anak, Onan membenarkan.
Ia menyebutkan masalah itu wewenang Pengadilan Agama dan tidak ada sangkut pautnya dengan putusan di Pengadilan Negeri Medan.
"Iya ada, tapi di situ tidak ada hubungannya antara putusan PN Medan," ujarnya.
Dijelaskannya, di Pengadilan Agama hanyalah memperebutkan hak wali anak.
"Itukan hanya untuk hak wali anak, bukan pidana, jadi kami katakan ini tidak ada hubungan dan pengaruhnya di Pengadilan Agama," katanya.
Diketahui, hakim Erintuah Damanik menjatuhkan hukuman pidana mati kepada Zuraida Hanum dalam sidang online (video conference) di Ruang Cakra VIII Pengadilan Negeri (Medan, Rabu (1/7/2020).
Dalam perkara ini, dua terdakwa lain yang berperan sebagai eksekutor yakni M Jefri Pratama alias Jepri (42) dan M Reza Fahlevi (28) divonis berbeda.