BATAM, TRIBUNBATAM.id - Kisah Masita, Rintis Usaha Warung Makan dari Nol hingga Pernah Ditipu Pelanggan di Batam.
Masita (45), bangun pagi-pagi sekali pukul enam untuk mengolah bahan masakan yang dibeli suaminya dari Pasar Jodoh Batam.
Di tangannya, bahan-bahan masakan seperti ayam, ikan, daging sapi dan sayur-sayuran yang berlimpah itu disulapnya menjadi ragam masakan khas Jawa Medan sebanyak ratusan porsi.
Berbagai varian menu masakan yang diolahnya sendiri itu kemudian dijajakannya di sebuah lapak dagangan kecil di suatu sudut Pujasera Golden Land, Taman Baloi, Kecamatan Batam Kota.
Bangun subuh dan tidur larut malam untuk berdagang sudah menjadi rutinitas Masita, atau yang kerap disapa Ita, bersama sang suami. Bahkan terkadang, untuk memperoleh bahan masakan berkualitas baik dengan harga terjangkau, Ita dan suami rela bangun pukul 4:00 WIB.
Baca juga: Kisah Atina Sebatang Kara Tinggal di Batam, Bertahan Hidup Jadi Penjual Bumbu Dapur Keliling
Baca juga: Kisah Irianto, 29 Tahun Jadi ASN di Tanjungpinang, Senang Bisa Bantu Warga sesuai Amanah
"Sekarang sih mungkin sudah agak senggang, bangunnya pukul 6, langsung masak. Kalau dulu, sedari Subuh kami sudah di warung, bahkan salat subuh pun di sini," ujar Ita ketika ditemui di warungnya, Senin (15/2/2021).
Perempuan keturunan Jawa Medan ini sudah malang melintang berdagang makanan dan lauk pauk selama kurang lebih 16 tahun di Batam. Mulanya, ia merantau dari Medan ke Batam atas panggilan kerabatnya yang juga berjualan makanan.
Ita pun melihat peluang keuntungan yang cukup besar dalam usaha makanan di Batam. Setelahnya, ia memboyong seluruh keluarganya, untuk ikut serta dalam perantauan.
Awal mula merintis usaha mandiri di Batam tentu tidak semudah yang dibayangkan Ita. Pahit manis telah dirasakannya, mulai dari kesulitan ekonomi hingga ditipu pelanggan.
"Dulu saya sempat buka di daerah Legenda, dulu usaha makanan seperti ini lumayan menguntungkan, tapi ada juga pahit manisnya. Pernah saya tidak dapat untung sama sekali dan pemasukan nol," tutur Ita.
Setelah itu, sejak tujuh tahun yang lalu, Ita berpindah tempat jualan di kawasan Pujasera Golden Land. Keputusannya berpindah lokasi dagang mengakibatkan pasangan suami istri ini harus memulai segala sesuatunya dari nol.
Pertama membuka warung dagangan di tempat yang baru, hanya sedikit orang sudi mampir di lapak Ita. Bahkan ia sempat pernah tidak menerima pelanggan sama sekali.
Tidak hanya itu, ketika awal berdagang, Ita juga pernah ditipu oleh salah satu pelanggannya. Kala itu, sang pelanggan telah memesan ratusan nasi bungkus di warung Ita untuk sebuah hajatan.
Dengan penuh pengharapan memperoleh laba yang besar, Ita pun mulai memasak dengan serius lauk-lauk pesanan tersebut, kemudian membungkusnya dengan rapi satu per satu. Jika dihitung, nilai ratusan bungkus nasi itu mencapai jutaan rupiah.
Namun apa mau dikata, sang pembeli diketahui kabur tanpa bisa dihubungi ketika ratusan nasi bungkus itu siap diambil. Alhasil, Ita hanya mengantongi uang muka Rp 100.000 yang sama sekali tak cukup untuk menutupi kerugian usahanya.
"Sampai sekarang saya membayangkannya sedih sekali. Waktu itu, nasi-nasi bungkus itu sudah mubazir, sudah basi, dan saya pun rugi, orang yang memesan tidak bisa dihubungi," kenang Ita.
Namun, Ita menganggap kemalangannya itu hanya serupa kerikil kecil dalam perjalanan usahanya. Ita tetap giat berjualan, bangun dan tidur di jam yang sama setiap hari, demi memberi makan keluarganya serta membayar cicilan kebutuhan sehari-hari.
Menurutnya, berjualan di Batam dulu dan sekarang terasa berbeda. Terutama ketika pandemi Covid-19 bermula, usaha Ita ikut terimbas sepi pengunjung. Pada pertengahan bulan puasa lalu, keuntungan usaha makanan Ita bahkan mencapai minus.
Ia terpaksa harus menutupi kerugian dari hari ke hari dengan uang tabungannya. Padahal, harga varian menu yang ditawarkan Warung Ibu Ita tidak mahal, yaitu mulai dari Rp 10.000 per porsi.
Warung tersebut memang biasanya banyak digandrungi oleh para pekerja PT di sekitar kawasan industri area Simpang Kara. Namun, sejak pandemi menghantam kegiatan usaha bahkan industri di Batam, pengurangan tenaga kerja pun mau tak mau ikut berdampak pada kelangsungan usaha Ita.
"Biasanya yang makan di sini para pekerja PT. Tapi dulu waktu awal-awal pandemi banyak yang berkurang, mungkin karena banyak yang di-PHK, jadinya warung saya juga ikut sepi," jelas Ita.
Di balik terjalnya kehidupan usaha makanan yang digeluti Ita, perempuan ini tidak pernah putus asa. Berjualan makanan adalah satu-satunya sumber pencaharian bagi keluarga Ita selama belasan tahun.
Berkat berjualan makanan hingga kini, keluarga Ita akhirnya dapat terbebas dari kesukaran hidup yang dulu sempat membebaninya. Saat ini, ia berhasil menyekolahkan kedua anaknya, bahkan salah satunya kini sudah berumahtangga.
"Kalau diingat-ingat dulu menyedihkan sekali. Dulu kami nggak punya apa-apa. Bahkan anak saya yang paling kecil saja dulu mau nonton tivi harus numpang di rumah orang, sampai diusir tetangga," curhat Ita dengan mata berair.
Ita bersyukur, usaha kerasnya saat ini telah membuahkan hasil. Kini ia dapat memenuhi kebutuhan keluarganya tanpa kesulitan, serta bahkan dapat menyicil sebuah mobil hasil keuntungan usahanya.
Sebagai pedagang makanan, harapan Ita terhadap pemerintah justru sangat visioner. Ia berharap, pemerintah dapat membuka serta memperluas akses lapangan pekerjaan bagi masyarakat Batam, khususnya para penganggur.
Sebab baginya, tanpa adanya pekerjaan, masyarakat tidak akan memperoleh pendapatan. Hal tersebut dapat membuat daya beli masyarakat menurun, sehingga tak pelak juga akan berdampak pada sepinya pembeli di warung yang telah ia rintis bertahun-tahun ini.
"Saya, beserta para pedagang lainnya, tentu juga berharap pemerintah dapat mengupayakan agar pandemi Covid-19 ini segera berakhir," harap Ita.
(TRIBUNBATAM.id/Hening Sekar Utami)
baca berita terbaru di google news