TRIBUNBATAM.id, JAKARTA - Pada pekan ini rupiah berhasil masuk dalam tren penguatan, yang disokong sentimen eksternal dan internal.
Dipekan ini, rupiah berhasil menguat 0,74% setelah ditutup di level Rp 14.289 per dolar Amerika Serikat (AS) pada Jumat (11/6).
Dengan hasil itu, rupiah pun menjadi mata uang dengan penguatan terbesar di kawasan pada minggu ini. Berdasarkan data Bloomberg, ringgit Malaysia berada satu tingkat di bawah rupiah setelah menguat 0,48%.
Berikutnya, won Korea Selatan yang terkerek 0,47% dalam sepekan. Kemudian, dolar Taiwan terlihat terapresiasi 0,36% hingga akhir pekan ini.
Selanjutnya, baht Thailand menanjak 0,17% dan peso Filipina menguat tipis 0,08% terhadap the greenback.
Sementara itu, yen Jepang menjadi mata uang dengan pelemahan terdalam di Asia dalam sepekan terakhir. Pada periode ini, yen terlihat koreksi 0,13%.
Disusul, dolar Singapura yang tertekan 0,11% serta rupee India yang terdepresiasi 0,10%. Lalu dolar Hong Kong dan yuan China yang sama-sama melemah 0,06% terhadap dolar AS pada minggu ini.
Penguatan rupiah di pekan ini terjadi setelah investor kembali melirik aset berisiko setelah kekhawatiran lonjakan inflasi AS mereda.
Selain itu dari dalam negeri, data indeks keyakinan konsumen (IKK) yang terus membaik ikut menambah keyakinan ekonomi Indonesia membaik di kuartal II-2021.
Rupiah terhadap dolar AS selama pekan ini menguat, baik di pasar spot maupun Jisdor.
Kurs rupiah Jisdor menguat 0,24% ke Rp 14.206 per dolar Amerika Serikat (AS) pada Jumat (11/6). Dalam sepekan, kurs rupiah Jisdor menguat 0,77% ke Rp 14.316 per dolar AS.
Penguatan Jisdor ini sejalan dengan rupiah di pasar spot. Kurs rupiah spot menguat 0,41% ke Rp 14.189 per dolar AS hari ini. Dalam sepekan, kurs rupiah menguat 0,74%.
Menurut Head of Economics and Research Pefindo Fikri C. Permana, pergerakan global mendukung rupiah menguat di minggu ini.
Misalnya dari klaim tunjangan pengangguran di AS yang masih jauh berada di level pra Covid-19, walaupun angkanya sesuai perkiraan.
“Hal ini mengurangi kekhawatiran kepada para pelaku pasar mengenai taper tantrum dalam waktu dekat, atau kenaikan suku bunga The Fed dalam waktu dekat,” kata Fikri, Jumat (11/6).
Fikri menambahkan bahwa hal ini membuat yield US Treasury yang turun di minggu ini, dan dibarengi dengan indeks dolar yang ikut menurun.
Data dari AS tersebut menurutnya membuat rupiah terapresiasi dengan baik.
Senada, Analis Global Kapital Investama Alwi Assegaf menilai data klaim pengangguran juga turut mempengaruhi rupiah.
Selain itu, ia melihat bahwa harga konsumen (CPI) AS naik sebanyak 5% secara year on year (yoy), yang menandakan kenaikan tahunan terbesar sejak Agustus 2008.
“Meski CPI AS naik melebihi perkiraan, namun melihat bahwa data tersebut cukup untuk meyakinkan the Fed, yang tetap berpandangan bahwa inflasi hanya bersifat sementara,” ujar Alwi.
Sebaliknya, dia melihat bahwa data tersebut membuktikan bahwa ekonomi AS berada dalam pemulihan yang cepat, yang kemudian mengangkat sentimen risk-on, dan mengangkat aset-aset berisiko termasuk rupiah terdorong di tengah optimisme pertumbuhan ekonomi global.
Selain itu, untuk dari dalam negeri Alwi melihat bahwa data-data ekonomi yang dirilis cukup optimis, misalnya saja dari indeks keyakinan konsumen (IKK) yang naik ke level 104,4 dari bulan sebelumnya di angka 101,5.
“Kemudian retail sales tumbuh untuk pertama kalinya setelah mengalami kontraksi dalam 16 bulan. Retail sales di April tumbuh 15,6%, setelah bulan sebelumnya terkontraksi 14,6%,” pungkas Alwi. (*)