Komnas HAM Ungkap Kekerasan Oknum Polisi saat Proses Hukum Penganiayaan Anak DPRD

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Komnas HAM mengungkap adanya oknum polisi yang diduga berbuat kekerasan dalam proses hukum dalam menangani kasus penganiayaan berujung tewasnya anak anggota DPRD.

YOGYAKARTA, TRIBUNBATAM.id - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengungkap aksi kekerasan oknum polisi dalam penanganan kasus penganiayaan berujung tewasnya anak anggota DPRD Kebumen.

Temuan Komnas HAM terkait adanya oknum polisi ini disampaikan Wakapolda Yogyakarta, Brigjen Pol Raden Slamet Santoso kepda mereka.

Kepala Divisi Hukum Kontras Andi Rezaldy mengatakan, melalui surat rekomendasi Komnas HAM, secaa eksplisit Wakapolda Yogyakarta membenarkan jika terdapat praktik kekerasan dalam penanganan hukum dalam kasus tersebut.

Kasus penganiayaan hingga tewasnya Dafa Adzin Albasith, anak anggota DPRD Kebumen terjadi di daerah Gedongkuning, Yogyakarta pada Minggu (13/4/2022).

Ditreskrimum Polda DIY Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi mengatakan, korban dihantam gir motor di bagian kepala yang menyebabkan luka fatal sehingga meninggal dunia.

Baca juga: Oknum Polisi Kena Periksa Propam Gegara Rencana Pembangunan TPU di Bintan

Polisi kemudian merilis penangkapan lima orang perlaku yang disebut terlibat dalam kasus itu, yaitu Ryan Nanda Syahputra (19), Fernandito Aldrian Saputra (18), Muhammad Musyaffa Affandi (21), Hanif Aqil Amrulloh (20), dan Andi Muhammad Husein Mazhahiri (20).

Dugaan salah tangkap dan disiksa polisi terkait penyiksaan aparat kepolisian dalam kasus klitih ini diketahui Komnas HAM dari aduan keluarga tersangka pada 8 Juni 2022.

Keluarga merasa ada kejanggalan dari penetapan tersangka karena dinilai ada dugaan kekerasan dan pemaksaan agar para tersangka mengaku sebagai pelaku.

Beberapa kejanggalan diungkap oleh orang tua Andi yang bernama Aan.

Ia mengatakan, anaknya bukanlah pelaku klitih di Gedongkuning yang menewaskan satu orang pelajar SMA Muhammadiyah 2 sekaligus anak anggota DPRD Kebumen.

Baca juga: Alasan Komnas HAM Minta Presiden Jokowi dan FIFA Bekukan Sepak Bola Indonesia

Aan yang ditemui di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Jumat lalu (3/11/2022) menceritakan, dugaan salah tangkap dan rekayasa kasus bermula saat anaknya dan empat rekannya melakukan perang sarung di daerah Druwo, Jalan Prangtritis.

Perang sarung dilakukan oleh anaknya yang berinisial AD dengan kawan lainnya pada pukul 02.30 WIB.

"Pada saat yang bersamaan terjadi penganiayaan di Gedongkuning yang waktu itu viral pada tanggal 3 April 2022. Apalagi, di Gedongkuning berjarak sekitar 8 km," ucap dia.

Anaknya itu kemudian dijemput oleh polisi seminggu setelah kejadian penganiayaan di Gedongkuning, Kota Yogyakarta.

Namun, saat penjemputan, Aan merasa ada kejanggalan yakni dia tidak diperbolehkan untuk momotret surat penangkapan dari pihak kepolisian.

Kejanggalan lain, menurut dia, yakni sang anak dibawa oleh polisi, dia diperbolehkan menyusul oleh polisi yang membawa anaknya.

Satu jam setelahnya, Aan menyusul ke kantor polisi.

Baca juga: Polda DIY Bongkar Sindikat Eksploitasi Anak Lewat Ajakan Video Asusila di Medsos

Namun, saat dia menyusul justru diminta untuk pulang.

Ia mengungkap jika anaknya ditangkap polisi pada 9 April 2022 malam.

Dia menyusul keesokan harinya ke kantor polisi dan kembali diminta untuk pulang.

Namun, sesampainya di rumah, dia diberi 3 surat oleh polisi.

Surat itu di antaranya surat pemeriksaan, surat penangkapan dan surat penetapan tersangka dan penahanan.

Di Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta, kelima terdakwa divonis 6-10 tahun penjara pada 8 November 2022.

Kini kelima terdakwa masih menempuh upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung setelah banding ditolak di Pengadilan Tinggi Yogyakarta.

"Melalui surat rekomendasi Komnas HAM, disebutkan pada intinya secara eksplisit Wakapolda Yogyakarta telah membenarkan bahwa dalam melaksanakan penyelidikan dan penyidikan peristiwa klitih di Gedongkuning, terjadi sebuah praktik kekerasan yang diduga dilakukan oleh anggotanya," ujar Andi dalam keterangan tertulis, Jumat (10/3/2023).

Baca juga: Anggota Polisi Alami Penganiayaan Hingga Jari Tangannya Putus, Pelakunya Masih Remaja

Andi mengatakan, praktik kekerasan tersebut dilakukan oleh penyidik di dalam ruang Unit Reskrim Polsek Sewon terhadap lima pelaku.
Tidak hanya itu, Andi juga membeberkan kesimpulan yang diberikan Ombudsman terkait kasus klitih Gedongkuning ini.

Ombudsman mencatat, kepolisian melakukan maladministrasi karena mengabaikan akses penasihat hukum untuk bertemu dengan para tersangka.

"Melalui Kedua temuan tersebut seharusnya dapat menjadi pintu masuk bagi Polda Yogyakarta untuk segera mengungkap dugaan praktik rekayasa kasus, dan melakukan pengusutan serta penghukuman secara transparan dan maksimal bagi anggotanya yang bertugas di lapangan pada saat melakukan rangkaian penyelidikan dan penyidikan peristiwa klitih di Gedongkuning," imbuh Andi.

Andi juga menilai, proses pengusutan dugaan praktik kekerasan yang dialami para terdakwa sangat lamban.

"Sebab hingga saat ini kami belum menerima informasi terkait langkah konkrit kepolisian untuk mengungkap praktik keji tersebut," tutur Andi. (TribunBatam.id) (Kompas.com/Singgih Wiryono)

Sumber: Kompas.com

Berita Terkini