TRIBUNBATAM.id, BATAM - Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) ternyata punya perlakuan berbeda soal pajak pertambahan nilai atau PPN yang bakal naik 12 persen pada awal tahun 2025.
Tak seperti daerah lain di Indonesia yang keberatan akan rencana pemerintah menaikkan PPN 12 persen pada awal tahun 2025, Batam yang dikenal sebagai daerah industri serta bertetangga dengan Singapura diketahui tak terpengaruh dengan kebijakan itu.
Batam sebagai kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas atau Free Trade Zone (FTZ) jadi pembeda dengan daerah lain di Indonesia untuk urusan pajak, termasuk PPN yang bakal berlaku 12 persen pada awal tahun 2025.
Mengapa Batam Bisa Bebas PPN 12 Persen?
Batam adalah Zona Perdagangan Bebas (FTZ) pertama yang dibuka di Indonesia (Sejak 1973) dan mencakup pulau Batam, Tonton, Setokok, Nipah, Rempang, Galang, dan Galang Baru dan terletak di salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia antara Sumatera dan Singapura.
Dalam perkembangannya, kawasan Bebas atau biasa disebut Free Trade Zone (FTZ) di Indonesia terdiri dari 4 (empat), yakni di Sabang, Batam, Bintan, dan Karimun.
Pada Kawasan Bebas, masuknya barang dari luar daerah pabean mendapatkan pembebasan bea masuk, pembebasan PPN, serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Untuk ketentuan perlakuan perpajakan dan insentif yang diberikan untuk Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) tertuang dalam PMK 34/PMK.04/2021 tentang Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan Yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (berlaku mulai 1 Juni 2021).
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 34 /PMK.04/2021 Tentang Pemasukan Dan Pengeluaran Barang Ke Dan Dari Kawasan Yang Telah Ditetapkan Sebagal Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas.
Undang-undang (UU) Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Menjadi Undang-Undang.
Baca juga: Batam Bebas PPN 12 Persen, Heboh Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai Berlaku Awal Tahun 2025
Status FTZ Batam ini menjadi pembeda dibanding daerah lain di Indonesia.
Keberadaan kawasan tersebut dilatarbelakangi oleh adanya industri-industri yang berorientasi untuk ekspor ke luar negeri.
Pada dasarnya, pemberlakuan kawasan ini mengacu kepada pembebasan pajak ataupun cukai.
Dengan peniadaan pajak, cukai, dan biaya lainnya diharapkan akan mampu meningkatkan perekonomian di sektor jasa, manufaktur, serta perdagangan.
Fungsi lainnya adalah untuk meningkatkan daya saing ekspor Indonesia dengan negara-negara lainnya.
Secara lebih khusus, kawasan perdagangan bebas diatur dalam PP Nomor 48 Tahun 2007.
Baca juga: Daftar 7 Berita Populer Batam Hari Ini, Bullying di Sekolah Ternama Hingga Seputar Libur Nataru
Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) adalah lembaga/instansi pemerintah pusat yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2007 dengan tugas dan wewenang melaksanakan pengelolaan, pengembangan dan pembangunan kawasan sesuai dengan fungsi-fungsi kawasan.
Dalam peraturan perundangan tersebut pemerintah memberlakukan ketentuan khusus mengenai kepabeanan, perpajakan, keimigrasian, perizinan, dan juga ketenagakerjaan melansir laman BP Batam.
FTZ Batam masih berada dalam kerangka kepentingan nasional dalam rangka meningkatkan perekonomian Indonesia di tengah globalisasi ekonomi dunia.
Bagi Batam, kawasan perdagangan bebas akan memiliki dampak positif.
Investor akan menjadi semakin nyaman dengan adanya penyederhanaan sistem birokrasi, meluasnya penciptaan lapangan kerja, dan pastinya peningkatan perekonomian.
PPN 12 Persen Berlaku Mulai Awal Tahun 2025
Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen per 1 Januari 2025 sebelumnya muncul ketika Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang menjadi dasar kenaikan PPN tersebut dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Presiden Jokowi ketika itu mengirimkan surat presiden bernomor R-21/Pres/05/2021 pada 5 Mei 2021.
Surat itu kemudian ditindaklanjuti oleh pimpinan DPR RI dengan menerbitkan surat nomor PW/08529/DPR RI/VI/2021 tanggal 22 Juni 2021.
Saat itu, UU HPP masih menggunakan nomenklatur Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Baca juga: Inilah Daftar Barang Bebas PPN, Baru Diumumkan Airlangga Hartarto
Sebab, UU HPP merupakan revisi kelima dari UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP.
Pada 28 Juni 2021, Komisi XI memulai pembahasan Revisi UU KUP bersama Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan HAM dengan agenda membentuk panitia kerja (panja).
Setelahnya, Komisi XI DPR RI melanjutkan pendalaman, perumusan, dan sinkronisasi terkaiu RUU itu.
Dari berbagai rapat itu, disepakati perubahan nomenklatur menjadi Harmonisasi Peraturan Perpajakan serta memuat aturan yang membuat PPN naik 12 persen tahun 2025.
Pada 29 September 2021, ditetapkan bahwa RUU HPP akan dibawa ke rapat paripurna untuk diketok menjadi undang-undang.
Tercatat sebanyak delapan dari sembilan fraksi di DPR setuju dengan revisi UU HPP yakni PDI-P, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat, PAN, PPP. Hanya PKS yang menolak revisi tersebut.
RUU HPP pun resmi ditetapkan DPR menjadi Undang-Undang dalam Sidang Paripurna pada 7 Oktober 2021.
Baca juga: Benarkah Biaya Umroh ke Tanah Suci Kena PPN? Ini Jawaban Ditjen Pajak
Melansir Kompas.com, rapat saat itu dihadiri 120 anggota dan 327 anggota secara virtual.
Tujuan
UU HPP bertujuan mengubah dan menambah regulasi terkait perpajakan.
Beberapa di antaranya yakni mengubah UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), UU Pajak Penghasilan (UU PPh).
Kemudian, mengubah UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN).
Lalu, mengatur program pengungkapan sukarela Wajib Pajak, mengatur pajak karbon, dan mengubah UU terkait cukai.
Tujuan pembentukan UU ini diklaim untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan ekonomi, mengoptimalkan penerimaan negara.
Selanjutnya diklaim akan mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum, mereformasi administrasi, konsolidasi perpajakan, perluasan basis perpajakan, dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak.
Berdasarkan UU HPP, kenaikan tarif PPN diatur dalam Pasal 7 yang menyebut PPN sebesar 12 persen yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
Dalam UU HPP Pasal 4A, barang yang tidak terkena pajak meliputi makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya, uang, emas batangan, hingga barang kebutuhan pokok.
Sejumlah jasa juga dibebaskan dari PPN 12 persen yaitu jasa keagamaan, kesenian dan hiburan, perhotelan, penyediaan tempat parkir, katering, keuangan, hingga pendidikan.
Sejumlah jasa juga dibebaskan dari PPN 12 persen yaitu jasa keagamaan, kesenian dan hiburan, perhotelan, penyediaan tempat parkir, katering, keuangan, hingga pendidikan.
Di sisi lain, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pemerintah akan menerapkan kenaikan tarif PPN 12 persen khusus untuk barang dan jasa mewah.
Menurutnya, barang dan jasa mewah ini dikonsumsi oleh penduduk terkaya dengan pengeluaran menengah ke atas yang masuk dalam kategori desil 9-10.
"Kami akan menyisir untuk kelompok harga barang dan jasa yang masuk kategori barang dan jasa premium tersebut," terangnya dalam konferensi pers, Senin (16/12/2024).
Barang dan jasa mewah yang akan dikenai PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025 adalah Rumah Sakit kelas VIP atau pelayanan kesehatan premium lainnya; Pendidikan standar internasional berbayar mahal atau pelayanan pendidikan premium lainnya; Listrik pelanggan rumah tangga dengan daya 3600-6600 VA.
Kemudian, beras premium; buah-buahan premium; ikan premium, seperti salmon dan tuna udang dan crustasea premium seperti king crab; daging premium, seperti wagyu atau kobe yang harganya jutaan.
Sedangkan barang yang tidak kena PPN 12 persen yaitu beras, daging ayam ras, daging sapi, ikan bandeng/ikan bolu, ikan cakalang/ikan sisik, ikan kembung/ikan gembung/ikan banyar/ikan gembolo/ikan aso-aso, ikan tongkol/ikan ambu-ambu, ikan tuna.
Kemudian telur ayam ras, cabai hijau, cabai merah, cabai rawit, bawang merah serta gula pasir. (TribunBatam.id/*) (Kompas.com)
Baca juga Berita TribunBatam.id lainnya di Google News