TRIBUNBATAM.id - Saya percaya bahwa toleransi bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul saat kita dewasa.
Ia tumbuh, perlahan, dari hal-hal kecil. Dari bermain bersama, saling menghormati, dan terbuka terhadap perbedaan. Dan saya cukup beruntung karena sudah mengenalnya sejak kecil.
Sejak TK hingga SMP, saya punya sahabat dekat yang berbeda keyakinan dan berasal dari suku Batak. Ia non-Muslim, tapi perbedaan itu tak pernah membuat kami menjaga jarak. Justru sebaliknya, kami seperti saudara.
Kami bermain bersama, belajar bersama, saling menasihati, dan saling mendukung di setiap fase masa kecil kami.
Momen yang paling saya ingat adalah ketika perayaan hari besar keagamaan datang. Saat Natal tiba, saya datang ke rumahnya, ikut menikmati kebersamaan, dan disambut dengan hangat oleh keluarganya.
Saat Ramadan dan Idul Fitri, giliran dia yang datang memberi ucapan dan menghormati ibadah saya. T
ak ada rasa canggung. Semua berjalan alami, seperti air yang mengalir.
Orang tua kami juga luar biasa.
Mereka tidak pernah melarang kami berteman hanya karena berbeda keyakinan.
Guru-guru di sekolah pun mengajarkan kami pentingnya saling menghargai dalam keberagaman.
Kami tumbuh dalam lingkungan yang memberi ruang untuk mengenal dan mencintai perbedaan.
Pengalaman masa kecil saya dalam menjalin persahabatan lintas agama dan budaya dapat dijelaskan melalui Contact Hypothesis dari Gordon Allport.
Teori ini menyatakan bahwa interaksi yang intensif dan setara antar kelompok yang berbeda dapat mengurangi prasangka jika dilakukan dalam konteks kerja sama, dukungan norma sosial, dan status yang setara.
Saya dan sahabat saya berteman bukan dalam situasi penuh tekanan, tetapi dalam suasana yang alami dan saling mendukung sehingga pengalaman ini secara tidak langsung menumbuhkan sikap toleran sejak dini.
Selain itu, teori Acculturation dari John W. Berry juga relevan.