Singapura Pernah Jadi Habitat Burung Pelatuk Terbesar di Dunia, Kini Punah Secara Lokal

Singapura Pernah Jadi Habitat Burung Pelatuk Terbesar di Dunia, Kini Punah Secara Lokal

Penulis: Mairi Nandarson | Editor: Mairi Nandarson
kolase tribunbatam.id foto tribunbatam.id + foto nus.edu.sg
TAKSIDERMI - Taksidermi burung langka dalam pameran dalam Dinosaurs | Extinctions | Us di Science Centre Singapore. (Inzet) Foto Burung Pelatuk yang pernah hidup di Singapura yang kini disebut punah secara lokal. 

Di berbagai titik pameran, pengunjung juga dapat mengumpulkan cap dari stamping stations, yang secara bertahap akan mengungkapkan sebuah ilustrasi prasejarah penuh warna.

"Melalui fosil-fosil menakjubkan dan pengalaman imersif, kami berupaya membangkitkan rasa ingin tahu sekaligus mendorong tindakan nyata dalam menghadapi krisis keanekaragaman hayati masa kini."

"Kami merasa terhormat dapat bekerja sama dengan Lee Kong Chian Natural History Museum dalam menghadirkan pengalaman STEM kelas dunia untuk semua kalangan,” ujar Ms Tham Mun See, Chief Executive, Science Centre Board.

Pada saat yang sama, Lee Kong Chian Natural History Museum menghadirkan perspektif khas Singapura dalam Dinosaurs | Extinctions | Us, dengan menyoroti spesies-spesies asli yang telah hilang dalam Kepunahan Massal Keenam, di mana manusia menjadi bagian dari penyebab sekaligus bagian dari solusi.

Lee Kong Chian Natural History Museum menampilkan metode penelitian mutakhir untuk mempelajari spesimen dan menelusuri peristiwa kepunahan masa lalu, menunjukkan pendekatan berbasis sains yang dapat membantu mencegah hilangnya keanekaragaman hayati di masa depan, sekaligus menyoroti upaya yang tengah dilakukan Singapura di bidang ini.

"Kemitraan dengan Science Centre Singapore memungkinkan kami memperluas edukasi dan penyuluhan museum, menjadikan ilmu tentang kepunahan dan konservasi lebih dekat dan lebih mendesak bagi seluruh masyarakat Singapura,” ujar Associate Professor Darren Yeo, Kepala Lee Kong Chian Natural History Museum.

“Setiap fosil menyimpan kisah tentang penemuan dan ketekunan. Melalui Dinosaurs of Patagonia, yang menjadi bagian dari Dinosaurs | Extinctions | Us, kami mengajak dunia melihat bagaimana sains menghubungkan kita dengan masa lalu dan dengan planet yang kita tinggali bersama," kata Dr Rubén Cúneo, Direktur Museo Paleontológico Egidio Feruglio.

Ditampilkan secara internasional oleh Akrom Pty Ltd (Australia), Dinosaurs of Patagonia merayakan puluhan tahun riset perintis dan kepemimpinan ilmiah Museo Paleontológico Egidio Feruglio, sekaligus membagikan warisan paleontologi Argentina kepada publik global.

“Sebagai bagian dari Dinosaurs | Extinctions | Us, Six Extinctions akan membawa pengunjung menyusuri momen-momen paling dramatis dalam sejarah Bumi, masa ketika sebagian besar kehidupan musnah, namun justru membentuk planet yang kita kenal hari ini."

"Dengan mengeksplorasi penyebab dan dampak dari lima peristiwa kepunahan massal, serta peran manusia dalam kepunahan keenam yang sedang berlangsung, pameran ini menghubungkan masa lalu dengan kondisi masa kini, menunjukkan bahwa kepunahan adalah kisah tentang kehilangan sekaligus pembaruan."

"Melalui koleksi besar fosil langka, model, kerangka dinosaurus, dan narasi ilmiah, kami mengajak pengunjung merenungkan dampak manusia terhadap Bumi — dan kekuatan kita dalam menentukan apa yang akan bertahan di masa depan,” ujar Peter Norton, Direktur Gondwana Studios.

[ tribunbatam.id/son ]

Sumber: Tribun Batam
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved