Warga Batam ini Gusar, Tanam Mangrove Sejak 2022 Rusak Gegara Penimbunan, Akar Bhumi Surati KLHK
Organisasi lingkungan Akar Bhumi Indonesia mengirim surat resmi kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mendesak pemerintah pus
Penulis: Pertanian Sitanggang | Editor: Septyan Mulia Rohman
Ringkasan Berita:
- Sejumlah nelayan tradisional di Tanjung Piayu, Kecamatan Sei Beduk, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) mengeluhkan hasil tangkapan mereka yang menurun drastis.
- Aktivitas penimbunan yang merusak hutan mangrove disebut-sebut jadi pemicunya. Air laut jadi kotor.
- Ketua Rumpun Bakau Indah, Yadi bahkan gusar karena aktivitas penanaman mangrove sejak 2022 rusak gegara penimbunan itu.
- Organisasi Lingkungan, Akar Bhumi Indonesia berkirim suat ke Kementerian terkait, ungkap temuan di lapangan.
TRIBUNBATAM.id, BATAM - Sejumlah nelayan Batam yang biasa mencari ikan di perairan Piayu Laut, Kecamatan Sei Beduk, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) mengeluhkan hasil tangkapan mereka yang menurun drastis.
Salma, seorang nelayan setempat, mengatakan saat ini pihaknya susah cari ikan karena airnya keruh, kelong nelayan juga tidak menghasilkan karena kondisi kotor.
Hal senada disampaikan Jaelani, nelayan lainnya dimana hasil tangkapan mereka jauh menurun bahkan tidak bisa untuk dijual, karena jumlahnya sedikit.
Putra, pemuda Kampung Setengar berusia 21 tahun, menambahkan sekitar 12 kelong terdampak langsung dari aktivitas penimbunan di Kampung Stenggar, Piayu Laut.
“Kalau hujan dua atau tiga hari saja, air berubah jadi lumpur. Ikan hilang. Kelong banyak tak bisa dipakai,” ungkapnya, Minggu (23/11/2025).
Ketua Rumpun Bakau Indah, Yadi, yang telah menanam mangrove di kawasan itu sejak 2022 melalui program BRGM, turut menyesalkan dampak sedimentasi dari kegiatan reklamasi.
“Lumpur dari penimbunan mengalir ke laut dan merusak area tanam. Kami meminta agar mangrove yang ditimbun dipulihkan. Kalau benar masuk kawasan hutan lindung, pemerintah harus tegas,” ujarnya.
Pesan Tegas Akar Bhumi Indonesia
Organisasi lingkungan Akar Bhumi Indonesia merespons keluhan warga terkait kerusakan lingkungan di kawasan mangrove Tanjung Piayu itu.
Mereka mengirim surat ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Mereka mendesak pemerintah pusat turun tangan mengusut dugaan kerusakan lingkungan di kawasan mangrove Tanjung Piayu, Kecamatan Sei Beduk, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
Aktivitas pematangan lahan dan reklamasi yang diduga ilegal itu terjadi di Kampung Stenggar, Piayu Laut.
Pantauan Akar Bumi di lapangan adanya penimbunan hutan bakau, hilangnya alur sungai estuari serta perataan lahan berskala besar yang disinyalir dilakukan tanpa izin lingkungan.
Founder Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan mengungkap, dugaan pelanggaran berada di titik koordinat 0°59'30.1"N 104°04'55.2"E, berdasarkan pemantauan langsung pada 15 November 2025.
“Ada penimbunan mangrove, dua alur sungai ditutup, dan pematangan lahan mencapai hampir 10 hektare. Kami tidak menemukan indikasi izin lingkungan yang seharusnya menjadi syarat utama,” kata Hendrik, Minggu (22/11/2025).
Hendrik menyebut sekitar 2–3 Hektare ekosistem mangrove telah tertimbun.
Sementara pematangan lahan mencapai 8–10 Hektare.
Dua alur sungai estuari, Sungai Sabi dan Sungai Perbat hilang akibat penimbunan hutan mangrove di lokasi tersebut.
“Penghilangan alur sungai ini pelanggaran berat. Ia mengubah bentang alam, memutus aliran air, dan memperburuk kondisi bio-ekologis yang berdampak langsung pada masyarakat setempat,” beber Hendrik.
Lokasi itu disebut berbatasan langsung dengan Hutan Lindung Sei Beduk II.
Ia khawatir kegiatan ini dapat merambah kawasan hutan yang dilindungi.
Selain itu dampak dari penimbunan tersebut masyarakat juga tidak mendapat komunikasi yang baik dari perusahaan.
Hendrik juga menemukan kerusakan pada padang lamun dan terumbu karang di sekitar lokasi.
“Padang lamun dan karang itu habitat ikan. Jika ditimbun, otomatis ekosistem laut rusak,” jelasnya.
Akar Bhumi Indonesia menilai dugaan pelanggaran terkait aktivitas yang ada di Tanjung Piayu.
Di antaranya UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
UU 27/2007 jo. UU 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, UU 5/1990 jo. UU 32/2024 tentang Konservasi SDA Hayati.
PP 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Lingkungan, PP 27/2025 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
Akar Bhumi menilai momentum transisi kewenangan berdasarkan PP 25/2025 dan PP 28/2025 tidak boleh dimanfaatkan pihak tertentu untuk melakukan ekspansi yang merusak lingkungan.
Hendrik menegaskan kerusakan mangrove yang terjadi memperburuk degradasi lingkungan yang berlangsung selama lima tahun terakhir di Sei Beduk.
“Mangrove adalah benteng alami Batam yang merupakan pulau kecil dan rentan terhadap perubahan iklim. Kami mendesak pemerintah pusat, daerah, dan penegak hukum untuk segera turun tangan,” tegas Hendrik.
Akar Bhumi Indonesia meminta agar KLHK, pemerintah provinsi, dan instansi terkait melakukan investigasi menyeluruh, menghentikan aktivitas yang merusak, dan memastikan pemulihan lingkungan sesuai prosedur. (TribunBatam.id/Pertanian Sitanggang)
| Seloroh Ketua Harian DPP PSI Depan Mantan Walikota Batam: Masa Kader Sebaik Pak Rudi Tak Kita Terima |
|
|---|
| Erlita Amsakar Sebut Tablig Akbar Momentum Perkuat Silaturahmi dan Kepekaan Sosial |
|
|---|
| Jadwal Kapal Roro dari Bintan ke Batam dan Batam ke Bintan Minggu 23 November 2025 |
|
|---|
| Daftar 7 Berita Populer Hari Ini, Terjadi Antrean Panjang Truk Sampah di TPA Telaga Punggur |
|
|---|
| Toteles: UMKM Kuliner Pesisir Batam yang Berhasil Naik Kelas dan Tembus Pasar Singapura |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/batam/foto/bank/originals/Akar-bumi-kerusakan-mangrove.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.