Dimas Kanjeng Ditahan

Bukan Soal Uang. Ternyata Ini yang Membuat Pengikut Dimas Kanjeng Tetap Bertahan di Padepokan

Mereka bergerombol jadi satu, meski antar pengikut tidak saling mengenal. Tenda mereka berdekatan.

Editor: Mairi Nandarson
SURYA/GALIH LINTARTIKA
Puluhan pengikut Dimas Kanjeng masih mendirikan tenda-tenda di sekitar padepokan di Probolinggo, Jawa Timur, Senin (03/10/2016). 

“Saya ingin tahu sebenarnya apa sih yang terjadi. Apa benar yang mulia itu sejahat itu, sampai nekat membunuh dan sebagainya,” imbuhnya kepada Surya (TRIBUNnews.com Network).

Oleh karena itu, dikatakan dia, ingin menyaksikan langsung kebenarannya seperti apa.

Selama ini, ia mengaku mengenal Taat Pribadi merupakan sosok yang berwibawa dan selalu memberikan nasehat positif kepada para santrinya.

“Saya kok tidak percaya yang mulia sekejam itu. Ini pasti akan ada kejelasannya, seperti yang disampaikan yang mulia melalui pengacarannya di media beberapa waktu lalu, kita lihat saja nanti di persidangan,” ungkapnya.

Ia berjanji akan pulang ke Bali, setelah semuanya jelas.
Artinya, jika sudah ada keputusan dalam persidangan, ia akan pulang kampung dan melanjutkan usahannya yakni salon.

“Saya tetap akan pulang, setelah mengetahui ada jawabannya,” ungkapnya kepada Surya (TRIBUNnews.com Network).

Dia mengaku, sempat melihat langsung kebaikan hati yang mulia dihadapan para pengikutnya.

Saat itu, ia dan beberapa temannya diajak ke rumah yang mulia.

Di rumah, ia diminta yang mulia menyebutkan nominal uang yang dibutuhkannya.Ia yakin bahwa Taat Pribadi ini adalah orang yang jujur.

“Dari tangannya itu, saya dikasih uang pecahan Rp 100.000 dan Rp 50.000. Ada juga pecahan uang asing, dan itu semua asli,” imbuhnya.

Pengikut lainnya, AR menambahkan, alasannya bertahan di padepokan ini karena ingin memperdalam ilmu agama.
Di padepokan, ia mengaku mendapatkan hidayah dan
pencerahan tentang islam yang sesungguhnya. Bahkan, ia pun terkadang sempat mendapatkan masukan positif dari pengikut lainnya.

“Di sini saya lebih pintar, dan istiqomah. Saya belajar banyak tentang arti kejujuran, dan ikhlas,” katanya.

Selain itu, dikatakan dia, di padepokan itu mendapatkan teman yang banyak.

Ia bisa mendapatkan saudara seperjuangan, karena di padepokan banyak pengikut yang berasal dari luar daerah dan sebagainya.

“Saya mendapatkan banyak teman di sini. Di sini itu bukan hanya pengikut yang beragama Islam, tapi ada yang Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha.

Semuanya akur menjadi satu, saya kira ini adalah arti kerukunan antar umat agama sesungguhnya,” paparnya.

Ia mengaku tidak ingin pulang ke rumahnya yang ada di Bali.

Ia merasa lebih nyaman tinggal di padepokan.

Padahal, anak dan istrinya berada di Bali. Namun, ia berdalih sudah mendapatkan izin dan restu dari anak dan istrinya.

“Saya tetap akan pulang, tapi tidak sekarang. Saat ini saya sedang belajar agama yang sesungguhnya,” jelasnya.

AR pun sedikit tersinggung ketika dianggap tidak memiliki biaya untuk pulang.

Ia merasa memiliki uang untuk pulang, tanpa harus menunggu bantuan pemerintah. Ia terkadang merasa kesal dan marah, ketika dipaksa untuk pulang ke rumah.

“Ini adalah hak saya, jangan paksa saya untuk pulang. Toh saya juga masih pulang ke rumah kok selama ini, entah itu satu bulan sekali atau dua bulan sekali,” tegasnya.

Ditanya soal uang mahar, dan penggandaan atau lainnya, ketiga orang ini kompak mengaku tidak ada sistem seperti itu di padepokan.

Menurut AR, wajar ketika seseorang mau bergabung dengan padepokan itu ada biaya masuk atau pendaftarannya.

“Wajar toh kalau ada biaya masuknya, toh itupun tidak mahal. Saya dulu hanya membayar Rp 1 juta untuk masuk ini, selebihnya hanya sumbangan untuk pembangunan masjid, jalan, dan lainnya. Itu sifatnya tidak wajib, hanya sukarela,” katanya.(*)

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved